Kupang (Antara NTT) - Para nelayan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur mengeluhkan penggunaan alat tangkap purse seine besar dari kapal-kapal nelayan asal Bali yang beropeasi di perairan wilayah selatan Pulau Timor.
"Penggunaan purse seine besar ini sangat merugikan nelayan lokal kita yang beroperasi di laut selatan dan juga tidak ramah lingkungan," kata Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang Abdul Wahab Sidin di Kupang, Kamis.
Ia mengatakan kapal-kapal yang diketahuinya berjumlah lebih dari 10 buah itu selalu dijumpai nelayan lokal saat melaut di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 di wilayah selatan Pulau Timor.
"Mereka menggunakan pukat cincin besar atau purse seine di titik-titik rumpon yang sudah mereka pasang di perairan tersebut," kata Wahab yang merupakan nelayan yang berbasis di TPI Tenau Kupang.
Wahab mengakui kapal-kapal tersebut memang mendapat izin melaut yang dikeluarkan dari pemerintah pusat namun pemasangan rumpon ditambah penggunaan alat tangkap purse seine besar itu merugikan nelayan kecil.
Rumpon-rumpon tersebut, lanjutnya, telah menghalau migrasi ikan masuk ke wilayah perairan NTT ditambah penggunaan purse seine besar yang bisa meraup berbagai jenis ikan, seperti pelagis besar, tuna, cakalang.
"Jadi migrasi tidak bisa masuk perairan kita karena dipagari dengan rumpon-rumpon itu, hasilnya ikan juga semuanya diraup dengan purse seine besar," katanya.
Koordinator Nelayan asal Buton yang berdomisili di Atapupu, Kabupaen Belu, Syamsudin Ode mengatakan rumpon-rumpon yang dipasang nelayan luar NTT masih banyak ditemuinya maupun rekan nelayan lainnya saat melaut terutama di wilayah selatan Pulau Timor.
"Jumlah banyak sekali yang masih terpasang, sementara nelayan lokal kita tidak tahu apakah rumpon-rumpon itu memiliki izin pemasangan atau tidak," katanya saat dihubungi Antara dari Kupang.
Syamsudin berharap petugas pengawas perikanan melakukan pemeriksaan terhadap keberadaan rumpon di laut selatan tersebut agar tidak mengecewakan nelayan yang rumponnya sudah ditertibkan.
Terkait keberadaan kapal-kapal luar tersebut, Wahab berharap adanya kebijakan dari pemerintah pusat untuk membatasi jumlah kapal yang beroperasi di atas 12 mil di sekitar wilayah NTT.
"Kalau jumlah kapal-kapal luar ini semakin banyak dengan memasang rumpon dan alat tangkap tidak ramah lingkungan maka dampaknya pada hasil tangkapan nelayan lokal kita yang terus berkurang," katanya.
Lebih lanjut, ia berharap agar HNSI bisa mendapatkan data-data daftar kapal-kapal luar NTT yang diizinkan melaut di sekitar wilayah perairan provinsi dengan luas wilayah laut mencapai lebih dari 200 km2 itu.
Daftar tersebut, katanya, penting membantu aparat pengawas perikanan maupun dinas terkait berupa laporan dari nelayan ketika mendapati adanya kapal-kapal luar yang menangkap secara ilegal di perairan.
"Kalau kami mengantongi daftar itu maka akan dibagikan untuk para nelayan kita sehingga ketika bertemu kapal luar di perairan maka bisa langsung diketahui sehingga kalau tidak memiliki izin maka langsung dilaporkan ke pengawas untuk ditindaklanjuti," katanya.
"Penggunaan purse seine besar ini sangat merugikan nelayan lokal kita yang beroperasi di laut selatan dan juga tidak ramah lingkungan," kata Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Kupang Abdul Wahab Sidin di Kupang, Kamis.
Ia mengatakan kapal-kapal yang diketahuinya berjumlah lebih dari 10 buah itu selalu dijumpai nelayan lokal saat melaut di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 di wilayah selatan Pulau Timor.
"Mereka menggunakan pukat cincin besar atau purse seine di titik-titik rumpon yang sudah mereka pasang di perairan tersebut," kata Wahab yang merupakan nelayan yang berbasis di TPI Tenau Kupang.
Wahab mengakui kapal-kapal tersebut memang mendapat izin melaut yang dikeluarkan dari pemerintah pusat namun pemasangan rumpon ditambah penggunaan alat tangkap purse seine besar itu merugikan nelayan kecil.
Rumpon-rumpon tersebut, lanjutnya, telah menghalau migrasi ikan masuk ke wilayah perairan NTT ditambah penggunaan purse seine besar yang bisa meraup berbagai jenis ikan, seperti pelagis besar, tuna, cakalang.
"Jadi migrasi tidak bisa masuk perairan kita karena dipagari dengan rumpon-rumpon itu, hasilnya ikan juga semuanya diraup dengan purse seine besar," katanya.
Koordinator Nelayan asal Buton yang berdomisili di Atapupu, Kabupaen Belu, Syamsudin Ode mengatakan rumpon-rumpon yang dipasang nelayan luar NTT masih banyak ditemuinya maupun rekan nelayan lainnya saat melaut terutama di wilayah selatan Pulau Timor.
"Jumlah banyak sekali yang masih terpasang, sementara nelayan lokal kita tidak tahu apakah rumpon-rumpon itu memiliki izin pemasangan atau tidak," katanya saat dihubungi Antara dari Kupang.
Syamsudin berharap petugas pengawas perikanan melakukan pemeriksaan terhadap keberadaan rumpon di laut selatan tersebut agar tidak mengecewakan nelayan yang rumponnya sudah ditertibkan.
Terkait keberadaan kapal-kapal luar tersebut, Wahab berharap adanya kebijakan dari pemerintah pusat untuk membatasi jumlah kapal yang beroperasi di atas 12 mil di sekitar wilayah NTT.
"Kalau jumlah kapal-kapal luar ini semakin banyak dengan memasang rumpon dan alat tangkap tidak ramah lingkungan maka dampaknya pada hasil tangkapan nelayan lokal kita yang terus berkurang," katanya.
Lebih lanjut, ia berharap agar HNSI bisa mendapatkan data-data daftar kapal-kapal luar NTT yang diizinkan melaut di sekitar wilayah perairan provinsi dengan luas wilayah laut mencapai lebih dari 200 km2 itu.
Daftar tersebut, katanya, penting membantu aparat pengawas perikanan maupun dinas terkait berupa laporan dari nelayan ketika mendapati adanya kapal-kapal luar yang menangkap secara ilegal di perairan.
"Kalau kami mengantongi daftar itu maka akan dibagikan untuk para nelayan kita sehingga ketika bertemu kapal luar di perairan maka bisa langsung diketahui sehingga kalau tidak memiliki izin maka langsung dilaporkan ke pengawas untuk ditindaklanjuti," katanya.