Kupang (Antara NTT) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tubehelan M.Hum berpendapat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak bisa mengajukan uji materi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas ke Mahkamah Konstitusi.
"Kalau objek sengketanya adalah keputusan pembubaran HTI, gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan ke Mahkamah Konstitusi," kata dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu kepada Antara di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi oleh HTI.
Menurut dia, HTI sudah tidak memiliki legal standing untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena ormas itu sendiri sudah dibubarkan dan tidak diakui keberadaannya di Indonesia.
Dia menyarankan agar, jika para mantan anggota HTI ingin menempuh jalur hukum maka jalur yang tepat adalah gugatan ke PTUN dan tidak bisa di peradilan umum.
HTI, kata dia, bisa mengajukan gugatan ke PTUN untuk mendapat kerugian yang timbul sebagai akibat dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Mantan Ketua Ombudsman RI Perwakilan NTB-NTT itu memastikan bahwa MK akan menolak uji materi yang disampaikan HTI, karena organisasi tersebut sudah dibubarkan oleh pemerintah dan tidak memiliki legal standing.
"Gugatan HTI ke MK itu pasti di tolak karena HTI sudah tidak memiliki legal standing, dan bukan lagi terdaftar sebagai Ormas di republik ini" katanya.
HTI melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra menilai ada kewenangan absolut pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak sebagaimana diatur dalam Perppu No 2 Tahun 2017.
"Pembubaran ormas tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum. Alasannya, kebebasan berserikat adalah hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945," kata pakar hukum tata negara itu.
Ia menambahkan norma undang-undang yang mengatur kebebasan itu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD yang lebih tinggi kedudukannya.
"Kalau objek sengketanya adalah keputusan pembubaran HTI, gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan ke Mahkamah Konstitusi," kata dosen Fakultas Hukum Undana Kupang itu kepada Antara di Kupang, Selasa.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan ke Mahkamah Konstitusi oleh HTI.
Menurut dia, HTI sudah tidak memiliki legal standing untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi karena ormas itu sendiri sudah dibubarkan dan tidak diakui keberadaannya di Indonesia.
Dia menyarankan agar, jika para mantan anggota HTI ingin menempuh jalur hukum maka jalur yang tepat adalah gugatan ke PTUN dan tidak bisa di peradilan umum.
HTI, kata dia, bisa mengajukan gugatan ke PTUN untuk mendapat kerugian yang timbul sebagai akibat dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.
Mantan Ketua Ombudsman RI Perwakilan NTB-NTT itu memastikan bahwa MK akan menolak uji materi yang disampaikan HTI, karena organisasi tersebut sudah dibubarkan oleh pemerintah dan tidak memiliki legal standing.
"Gugatan HTI ke MK itu pasti di tolak karena HTI sudah tidak memiliki legal standing, dan bukan lagi terdaftar sebagai Ormas di republik ini" katanya.
HTI melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra menilai ada kewenangan absolut pemerintah untuk membubarkan ormas secara sepihak sebagaimana diatur dalam Perppu No 2 Tahun 2017.
"Pembubaran ormas tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum. Alasannya, kebebasan berserikat adalah hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945," kata pakar hukum tata negara itu.
Ia menambahkan norma undang-undang yang mengatur kebebasan itu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD yang lebih tinggi kedudukannya.