Kupang (ANTARA) - Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF) Shana Fatina mengatakan inovasi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) mampu memperkuat pariwisata berkelanjutan di Nusa Tenggara Timur.
"Provinsi NTT merupakan salah satu di antara beberapa Provinsi di Indonesia yang sangat terberkahi dengan keindahan alam dan potensi sumber energi termasuk potensi pemanfaatan EBT," katanya kepada ANTARA di Kupang, Kamis, (4/2).
Menurut Shana intensitas cahaya matahari di NTT terbilang sangat bagus, dan mau dimanapun di NTT ini cahaya matahari bisa digunakan untuk pengembangan EBT yang tentu saja bermanfaat bagi pariwisata berkelanjutan di NTT.
Ia mengatakan di pulau Timor, Sumba maupun di Flores cahaya mataharinya sangat mendukung pengembangan energi baru terbarukan.Selain itu juga arus laut yang kuat juga ada di NTT yang dapat digunakan untuk pengembangan EBT.
"Kita juga memiliki arus laut seperti di Selat Molo, Selat Boleng, dan Selat di Larantuka,kemudian juga di Pukuafu serta masih banyak sumber tenaga mikrohidro yang kita punyai dan tentu saja untuk geothermal," ujar dia.
Selain itu ujar dia pulau Flores memiliki segudang sumber panas bumi, sebut saja Wae Sano, Ulumbu, dan Soa. Jadi konsep pengembangan energi bersih di NTT khususnya Flores sangat mungkin dioptimalkan.
Shana juga menambahkan, pengembangan EBT sebagai inovasi energi bersih juga sejalan dengan visi pengembangan pariwisata kawasan Labuan Bajo Flores yang mengusung konsep Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism).
Iapun berharap agar kedepannya lebih banyak perusahaan yang bergerak dibidang energi untuk membantu mengembangkan EBT di NTT.
Sementara itu, perwakilan dari anak perusahaan PT. Pertamina yakni Vice President (VP) Bussines Development New Renewable Energy PT. Pertamina Power Indonesia Arif Hardoku menjelaskan, Pertamina selaku BUMN melalui PT. PPI sejauh ini terus mengupayakan transisi menuju penggunaan energi bersih.
"Sampai saat ini, kita sudah mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) terpasang sebesar 672 MW yang tersebar di seluruh Indonesia. Kita juga sedang melakukan inovasi pemasangan pembangkit listrik berbasis tenaga surya dan pembangkit listrik berbasis biogas yang tersebar di beberapa titik di Indonesia," kata dia.
Lebih lanjut, Arif juga menambahkan, potensi EBT suatu wilayah adalah berkah karena merupakan potensi "in situ" yang tidak bisa dipindahkan ke tempat lain, jadi sudah sepantasnya dimanfaatkan.
Konsep pengembangan EBT sendiri merupakan salah satu upaya global untuk mereduksi emisi karbon yang diharapkan bisa berdampak positif bagi perubahan iklim. Upaya global ini dilaksanakan salah satunya melalui Kesepakatan Paris yang memaksa semua negara berkontribusi menekan pemanasan iklim global, baik negara maju maupun negara berkembang.
Untuk mencapai komitmen penurunan emisi 29 persen pada 2030, pemerintah menargetkan pengembangan EBT berkontribusi sebesar 23 persen dari bauran energi Nasional.
Indonesia sendiri memerlukan tambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 9 ribu - 10 ribu MW dalam 4 tahun ke depan. Namun merujuk pada tren 4 tahun terakhir pembangkit baru EBT diperkirakan hanya dapat menambah kapasitas sekitar 2500 MW pada 2025.
Bagi Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan kepulauan terbesar di dunia khususnya, peningkatan emisi pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar fosil untuk energi, industri, dan transportasi dapat mengancam berbagai aspek seperti sektor pertanian, dimana produk-produk pertanian akan mengalami penurunan akibat musim panas yang ekstrim. Selain itu, musim hujan yang singkat dengan intensitas curah hujan yang tinggi akan menimbulkan banjir dan erosi.
"Provinsi NTT merupakan salah satu di antara beberapa Provinsi di Indonesia yang sangat terberkahi dengan keindahan alam dan potensi sumber energi termasuk potensi pemanfaatan EBT," katanya kepada ANTARA di Kupang, Kamis, (4/2).
Menurut Shana intensitas cahaya matahari di NTT terbilang sangat bagus, dan mau dimanapun di NTT ini cahaya matahari bisa digunakan untuk pengembangan EBT yang tentu saja bermanfaat bagi pariwisata berkelanjutan di NTT.
Ia mengatakan di pulau Timor, Sumba maupun di Flores cahaya mataharinya sangat mendukung pengembangan energi baru terbarukan.Selain itu juga arus laut yang kuat juga ada di NTT yang dapat digunakan untuk pengembangan EBT.
"Kita juga memiliki arus laut seperti di Selat Molo, Selat Boleng, dan Selat di Larantuka,kemudian juga di Pukuafu serta masih banyak sumber tenaga mikrohidro yang kita punyai dan tentu saja untuk geothermal," ujar dia.
Selain itu ujar dia pulau Flores memiliki segudang sumber panas bumi, sebut saja Wae Sano, Ulumbu, dan Soa. Jadi konsep pengembangan energi bersih di NTT khususnya Flores sangat mungkin dioptimalkan.
Shana juga menambahkan, pengembangan EBT sebagai inovasi energi bersih juga sejalan dengan visi pengembangan pariwisata kawasan Labuan Bajo Flores yang mengusung konsep Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism).
Iapun berharap agar kedepannya lebih banyak perusahaan yang bergerak dibidang energi untuk membantu mengembangkan EBT di NTT.
Sementara itu, perwakilan dari anak perusahaan PT. Pertamina yakni Vice President (VP) Bussines Development New Renewable Energy PT. Pertamina Power Indonesia Arif Hardoku menjelaskan, Pertamina selaku BUMN melalui PT. PPI sejauh ini terus mengupayakan transisi menuju penggunaan energi bersih.
"Sampai saat ini, kita sudah mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) terpasang sebesar 672 MW yang tersebar di seluruh Indonesia. Kita juga sedang melakukan inovasi pemasangan pembangkit listrik berbasis tenaga surya dan pembangkit listrik berbasis biogas yang tersebar di beberapa titik di Indonesia," kata dia.
Lebih lanjut, Arif juga menambahkan, potensi EBT suatu wilayah adalah berkah karena merupakan potensi "in situ" yang tidak bisa dipindahkan ke tempat lain, jadi sudah sepantasnya dimanfaatkan.
Konsep pengembangan EBT sendiri merupakan salah satu upaya global untuk mereduksi emisi karbon yang diharapkan bisa berdampak positif bagi perubahan iklim. Upaya global ini dilaksanakan salah satunya melalui Kesepakatan Paris yang memaksa semua negara berkontribusi menekan pemanasan iklim global, baik negara maju maupun negara berkembang.
Untuk mencapai komitmen penurunan emisi 29 persen pada 2030, pemerintah menargetkan pengembangan EBT berkontribusi sebesar 23 persen dari bauran energi Nasional.
Indonesia sendiri memerlukan tambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 9 ribu - 10 ribu MW dalam 4 tahun ke depan. Namun merujuk pada tren 4 tahun terakhir pembangkit baru EBT diperkirakan hanya dapat menambah kapasitas sekitar 2500 MW pada 2025.
Bagi Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan kepulauan terbesar di dunia khususnya, peningkatan emisi pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar fosil untuk energi, industri, dan transportasi dapat mengancam berbagai aspek seperti sektor pertanian, dimana produk-produk pertanian akan mengalami penurunan akibat musim panas yang ekstrim. Selain itu, musim hujan yang singkat dengan intensitas curah hujan yang tinggi akan menimbulkan banjir dan erosi.