Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengusulkan agar hasil penelitian Kementerian Kesehatan terhadap efektivitas vaksin Sinovac dipublikasikan melalui jurnal internasional.
"Usul saya adalah agar hasil penelitian Balitbangkes ini di publikasi di peer reviewed international journals karena biasanya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan organisasi ilmiah internasional lainnya akan menggunakan jurnal internasional sebagai dasar pengambilan kebijakan," katanya saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Ahad.
Pria yang juga aktif sebagai anggota Independent Advisory Vaccine Group (IAVG) itu mengatakan vaksin Sinovac hingga saat ini belum memperoleh Emergency Use of Listing (EUL) dari WHO.
EUL, kata Tjandra, penting dimiliki produk vaksin COVID-19 sebab beberapa negara di dunia saat ini menggunakan jenis vaksin yang berbeda.
Salah satu dampaknya dialami oleh dua anak Tjandra yang kini sudah sepekan berada di New York, Amerika Serikat, diminta oleh otoritas setempat untuk diimunisasi ulang menggunakan vaksin yang sudah disetujui Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat.
"Anak saya itu baru sepekan di New York, di Jakarta sudah disuntik Sinovac dua kali, sampai di Amerika Serikat diminta di vaksin yang sudah FDA approved. Bingung juga memutuskannya, nggak ada kepustakaannya yang sudah dapat Sinovac lalu harus dapat Pfizer atau Moderna lagi," katanya.
Dihubungi secara terpisah, Ahli Mikrobiologi yang sekaligus Staf Pengajar Biologi, Universitas Padjadjaran, Mia Miranti, mempertanyakan akurasi metode penelitian yang dilakukan Balitbangkes terhadap efektivitas Sinovac.
"Yang jadi pertanyaan saya dalam metode penelitian Balitbangkes terhadap Sinovac ini apakah setelah tenaga kesehatan ini divaksinasi kemudian dikasih jeda sampai imunnya terbentuk, baru mereka diteliti. Sebab berdasarkan penelitian perlu dua pekan hingga 28 hari sampai imun terbentuk," katanya.
Menurut Mia efektivitas Sinovac yang diklaim Balitbangkes mencapai rata-rata 94 persen merupakan angka yang cukup tinggi, namun tak dimungkiri bahwa terdapat laporan sejumlah penerima vaksin Sinovac yang terinfeksi maupun reinfeksi SARS-CoV-2.
"Sebab saat ini mutasi virus Corona juga kan ada ya di Indonesia," katanya.
Balitbangkes sebelumnya melakukan kajian cepat terhadap efektivitas vaksin COVID-19 Sinovac pada tenaga kesehatan. Hasilnya, dosis lengkap vaksin menurunkan risiko gejala parah hingga 94 persen, 96 persen risiko perawatan, dan 98 persen mencegah kematian.
Ketua Tim Peneliti Efektivitas Vaksin Kemenkes Pandji Dhewantara dalam keterangan tertulis mengatakan kajian cepat dilakukan pada periode 13 Januari sampai 18 Maret 2021 kepada tenaga kesehatan di wilayah DKI Jakarta. Kajian cepat ini menggunakan desain Kohort Retrospektif, yakni menelusuri riwayat setiap individu.
Baca juga: Komnas KIPI - BPOM uji sterilitas vaksin AstraZeneca
Penelitian ini berfokus pada kelompok tenaga kesehatan baik yang belum divaksinasi maupun yang sudah di vaksinasi, baik dosis pertama maupun yang sudah vaksinasi lengkap.
Baca juga: Anies lapor Wamenkes terkait warga meninggal usai vaksinasi AstraZeneca
Kajian melibatkan lebih dari 128 ribu orang dengan usia di atas 18 tahun dan rata-rata dari partisipan yang diikutkan 60 persen perempuan dengan rata-rata berusia 30 tahun.
"Usul saya adalah agar hasil penelitian Balitbangkes ini di publikasi di peer reviewed international journals karena biasanya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan organisasi ilmiah internasional lainnya akan menggunakan jurnal internasional sebagai dasar pengambilan kebijakan," katanya saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Ahad.
Pria yang juga aktif sebagai anggota Independent Advisory Vaccine Group (IAVG) itu mengatakan vaksin Sinovac hingga saat ini belum memperoleh Emergency Use of Listing (EUL) dari WHO.
EUL, kata Tjandra, penting dimiliki produk vaksin COVID-19 sebab beberapa negara di dunia saat ini menggunakan jenis vaksin yang berbeda.
Salah satu dampaknya dialami oleh dua anak Tjandra yang kini sudah sepekan berada di New York, Amerika Serikat, diminta oleh otoritas setempat untuk diimunisasi ulang menggunakan vaksin yang sudah disetujui Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat.
"Anak saya itu baru sepekan di New York, di Jakarta sudah disuntik Sinovac dua kali, sampai di Amerika Serikat diminta di vaksin yang sudah FDA approved. Bingung juga memutuskannya, nggak ada kepustakaannya yang sudah dapat Sinovac lalu harus dapat Pfizer atau Moderna lagi," katanya.
Dihubungi secara terpisah, Ahli Mikrobiologi yang sekaligus Staf Pengajar Biologi, Universitas Padjadjaran, Mia Miranti, mempertanyakan akurasi metode penelitian yang dilakukan Balitbangkes terhadap efektivitas Sinovac.
"Yang jadi pertanyaan saya dalam metode penelitian Balitbangkes terhadap Sinovac ini apakah setelah tenaga kesehatan ini divaksinasi kemudian dikasih jeda sampai imunnya terbentuk, baru mereka diteliti. Sebab berdasarkan penelitian perlu dua pekan hingga 28 hari sampai imun terbentuk," katanya.
Menurut Mia efektivitas Sinovac yang diklaim Balitbangkes mencapai rata-rata 94 persen merupakan angka yang cukup tinggi, namun tak dimungkiri bahwa terdapat laporan sejumlah penerima vaksin Sinovac yang terinfeksi maupun reinfeksi SARS-CoV-2.
"Sebab saat ini mutasi virus Corona juga kan ada ya di Indonesia," katanya.
Balitbangkes sebelumnya melakukan kajian cepat terhadap efektivitas vaksin COVID-19 Sinovac pada tenaga kesehatan. Hasilnya, dosis lengkap vaksin menurunkan risiko gejala parah hingga 94 persen, 96 persen risiko perawatan, dan 98 persen mencegah kematian.
Ketua Tim Peneliti Efektivitas Vaksin Kemenkes Pandji Dhewantara dalam keterangan tertulis mengatakan kajian cepat dilakukan pada periode 13 Januari sampai 18 Maret 2021 kepada tenaga kesehatan di wilayah DKI Jakarta. Kajian cepat ini menggunakan desain Kohort Retrospektif, yakni menelusuri riwayat setiap individu.
Baca juga: Komnas KIPI - BPOM uji sterilitas vaksin AstraZeneca
Penelitian ini berfokus pada kelompok tenaga kesehatan baik yang belum divaksinasi maupun yang sudah di vaksinasi, baik dosis pertama maupun yang sudah vaksinasi lengkap.
Baca juga: Anies lapor Wamenkes terkait warga meninggal usai vaksinasi AstraZeneca
Kajian melibatkan lebih dari 128 ribu orang dengan usia di atas 18 tahun dan rata-rata dari partisipan yang diikutkan 60 persen perempuan dengan rata-rata berusia 30 tahun.