Jakarta (ANTARA) - Ayah bunda terkadang bingung ketika si kecil kembali mengeluhkan rasa lapar yang dialami, padahal sesaat sebelumnya si kecil baru saja menghabiskan makan besarnya.

Namun adakalanya si kecil tidak mau makan sama sekali hingga berhari-hari. Normalkah hal ini terjadi?

Sejatinya para orang tua tidak perlu khawatir pada peningkatan atau penurunan nafsu makan si kecil yang cukup fluktuatif. Peningkatan dan penurunan nafsu makan yang cukup besar pada balita adalah hal yang normal terjadi, karena tumbuh kembang anak dan periode aktivitas fisik yang cukup intens serta pemanjaan orang tua.

Tapi bagaimana dengan si kecil yang tidak bisa berhenti makan atau memiliki nafsu makan yang besar seolah-olah memiliki "perut karet". Sepintas memang tampak menggemaskan, namun normalkah ini?

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan peningkatan rasa lapar atau meningkatnya nafsu makan pada anak.

Ahli nutrisi dan penulis "Real Mom Nutrition" Sally Kuzemchak, menyebutkan bahwa meningkatkan nafsu makan pada anak bisa disebabkan karena balita sedang mengalami growth spurt atau percepatan pertumbuhan.

"Dalam satu waktu anak bisa tidak mau makan sama sekali, namun beberapa hari kemudian dia bisa makan apa saja tanpa merasa kenyang. Itu adalah hal yang normal," jelas Kuzemchak dikutip dari laman Parents.

Hal lain yang menjadikan kondisi ini normal adalah bila panganan yang diberikan kepada anak tidak memenuhi kebutuhan si kecil. Pastikan panganan anak, naik itu makanan utama atau kudapan, mengandung banyak serat dan protein, mineral serta nutrisi sehingga tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi anak namun juga membuatnya merasa kenyang. Hal ini dapat membantu anak untuk mengurangi kudapan manis.

"Anak juga bisa salah mengartikan rasa haus dengan rasa lapar. Coba pastikan si kecil tetap terhidrasi, namun bila dia memang merasa lapar coba berikan kudapan yang sehat," jelas Kuzemchak.

Kuzemchak menyebutkan rasa bosan dan senang juga bisa memicu rasa lapar pada anak. Tidak masalah bila anak meminta kudapan selama panganan yang diberikan adalah panganan sehat dan tidak memicu obesitas pada anak.

Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasi dalam jurnal US National Library of Medicine National Institutes of Health, para ilmuwan menemukan bahwa pola makan anak yang diatur oleh orang tua, aturan waktu makan, dan dinamika di sekitar lingkungan tumbuh kembang anak terkait dengan pemberian makan, rupanya mempengaruhi peningkatan pada nafsu makan anak

Kendati demikian bila kondisi lapar anak terus menerus terjadi dan tidak terkontrol, meskipun pola makan yang diberikan sudah memenuhi seluruh kebutuhan nutrisi dan hidrasi pada anak, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan ahli baik dokter anak atau dokter gizi, apalagi bila bobot tubuh anak sudah jauh di atas rata-rata atau obesitas.

"Obesitas adalah semata-mata kelebihan lemak tubuh. Pada anak, kriteria obesitas dianjurkan menggunakan kurva tumbuh kembang," jelas dokter spesialis gizi dari RSIA Melinda Bandung, Dr Johanes Chandrawinata, SpGK, MND kepada ANTARA.

Menurut pedoman dari Endocrine Society di Amerika Serikat, anak berusia di atas 2 tahun dapat dikatakan mengalami kelebihan berat badan bila bobot tubuhnya berada di persentil 85 sampai 95. Disebut obesitas bila lebih dari persentil ke 95. Disebut obesitas ekstrim bila lebih dari 120 persen dari persentil ke 95 (Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2017).

Johanes menjelaskan bahwa obesitas pada anak harus mendapatkan perhatian serius, karena kondisi ini dapat meningkatkan resistensi insulin. Oleh sebab itu penderita obesitas memerlukan lebih banyak insulin untuk menjaga kadar gula darahnya. Akibatnya, sel-sel beta pancreas penghasil insulin akan dipacu berlebihan memproduksi insulin, dengan konsekuensi kerusakan sel beta sehingga lama-kelamaan produksi insulin menurun sehingga muncul penyakit diabetes tipe 2.

"Tinggi nya kadar insulin dapat diperiksa di laboratorium dengan hasil dibandingkan terhadap usia dan jenis kelamin yang sesuai. Secara klinis, tinggi nya kadar insulin dalam tubuh anak obesitas bisa dilihat dari garis hitam pada lipatan leher yang disebut sebagai pseudo acanthosis nigricans," kata Johanes.

Nafsu makan berlebihan

Ada perbedaan besar yang mendasar antara peningkatan nafsu makan yang besar pada anak, serta adanya rasa lapar berlebihan atau ekstrim yang terjadi sejak bayi.

Bila peningkatan rasa lapar pada anak bisa jadi hanya mencerminkan perubahan normal dalam nafsu makan yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, hal itu jauh berbeda dengan adanya nafsu makan berlebih tanpa ada perubahan pola makan.

"Kasus balita dengan nafsu makan berlebihan sebenarnya agak jarang. Nafsu makan berlebihan mungkin dapat merupakan gejala dari kelainan bawaan seperti gangguan struktural pada area hipotalamus di otak," ujar Johanes.

Kondisi ini dikatakan Johanes bisa juga merupakan gejala penyakit seperti insulinoma dimana kelebihan produksi hormon insulin yang terus memacu balita untuk makan.

Nafsu makan yang berlebihan dan terjadi sejak bayi perlu diperhatikan, karena bisa jadi si kecil mengalami polyphagia, yang juga disebut hyperphagia, yaitu kondisi dimana seseorang terus menerus merasakan adanya rasa lapar yang ekstrim sehingga memiliki nafsu makan yang luar biasa besar.

Nafsu makan anak yang besar dapat dikaitkan dengan kondisi genetik langka seperti sindrom Prader-Willi, yang masing-masing terkait dengan hyperphagia atau polyphagia dan regulasi perilaku makan.

Johanes menjelaskan bahwa nafsu makan diatur oleh mekanisme homeostatic dan hedonic. Mekanisme homeostatic dipengaruhi oleh kebutuhan biologis untuk menjaga cadangan energi tubuh, meningkatkan motivasi untuk makan.

Baca juga: Berdamai dengan kolesterol

Sebaliknya, mekanisme hedonic dipengaruhi oleh “food reward “ (hadiah makanan), meningkatkan rasa ketagihan akan makanan yang sangat enak dan memacu keluarnya hormon dopamine dan serotonin yang menimbulkan rasa puas diri setelah makan.

"Pengaturan sistem nafsu makan pada balita dimulai di dalam kandungan dan ada berbagai determinan yang menyebabkan menurun nya kemampuan pengaturan diri atas asupan makanan," kata Johanes.

Baca juga: Ganti makanan utama anak dengan susu berisiko obesitas

Sebagai contoh adalah faktor genetik, pengalaman pertama indra perasa dan pola makan atau pemberian makan dari lingkungan keluarga sebagai kunci utamanya untuk mengatur sistem nafsu makan tersebut.
 

Pewarta : Maria Rosari Dwi Putri
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024