Kupang (Antara NTT) - Akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Ir Leta Rafael Levis MT.MRur mengatakan anomali iklim yang terjadi saat ini, ikut menghambat produksi pangan di Nusa Tenggara Timur.
"Bagaimana kita bisa meningkatkan produksi pangan dan perikanan di tengah anomali iklim seperti yang sedang terjadi saat ini," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat, menanggapi pengaruh iklim dan cuaca terhadap capaian produksi pangan di NTT.
Produksi pangan selalu dijadikan sebagai tolok ukur kemajuan sebuah daerah dalam upaya pengentasan kemiskinan, menurunkan tingkat ketimpangan keadilan sosial dan membuka lebih banyak lapangan kerja.
Dosen Fakultas Pertanian Lahan Kering Undana Kupang itu mengatakan apabila dilihat dari sisi produksi 30 persen PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) NTT berasal dari pertanian dan perikanan, artinya peningkatan produktivitas pertanian dan perikanan menjadi kunci kesejahteraan rakyat NTT.
Menurut Leta Levis, anomali iklim dan cuaca ekstrem dalam tiga tahun terakhir terus melanda daerah ini, telah ikut menghambat berbagai rencana dan proyek startegis nasional di daerah berbasis kepulauan ini.
Dengan iklim yang seni-arid (sebagian kecil basah dan kering) telah membuat para petani di daerah ini kesulitan untuk mewujudkan keinginan pemerintah dalam meningkatakan produktivitas guna kesejahteraaan bersama.
Dia menyebut produksi padi pada 2015 sebanyak 948.088 ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami peningkatan sekitar 14,82 persen jika dibandingkan dengan produksi padi tahun 2014 yang hanya menghasilkan 825.728 ton GKG.
Sementara produksi jagung tahun 2015 sebanyak 685.081 ton pipilan kering juga meningkat 5,87 persen dari tahun sebelumnya. Sedang, luas tanaman jagung hingga Desember 2016, juga meningkat menjadi 180.824 hektare.
"Kalau dibandingan dengan NTB luas lahannya hanya mencapai 28.679 hektare. Artinya, luas lahan tanam jagung di NTT masih jauh lebih besar, yakni 43.940 hektare," katanya.
Tidak mengganggu
Di sisi lain, ia juga melihat bahwa cuaca ekstrim yang sering melanda saat ini, belum mengganggu stok pangan secara nasional, namun perlu juga diwaspadai agar tidak merusak stabilitas harga.
Di lihat dari ukuran internasional, kata dia, Indonesia masih berada diurutan ke-16 untuk keberlanjutan pertanian. "Kita patut memberi apresiasi kepada pemerintahan Jokowi-JK, karena upaya mereka langsung menyentuh hajat hidup orang banyak," katanya.
Dalam koteks lokal, kata dia, NTT bisa menjadi penyangga jagung karena memiliki lahan pertanian yang cukup untuk mengembangkan tanaman hortikultura tersebut guna memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia.
"Ini bukan tidak beralasan, karena secara nasional luas tanam jagung di NTT per Desember 2016, mencapai 180.824 hektare atau terluas jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Tanah Air," ujarnya.
Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta agar harga pangan tetap stabil, meskipun Indonesia tengah menghadapi cuaca ekstrem dan bencana di beberapa wilayah.