Kupang (AntaraNews NTT) - Gereja Katolik sedunia, termasuk juga gereja-gereja di wilayah Keuskupan Agung Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (14/2), mulai memasuki masa puasa atau dalam liturgi gereja disebut sebagai awal Pra-Paskah.

Awal masa Pra-Paskah pada hari Rabu Abu itu, dihitung 40 hari sebelum perayaan hari raya kebangkitan atau umat Kristiania sedunia menyebutnya sebagai Hari Raya Paskah.

Pada hari Rabu Abu itu, umat Katolik di seluruh dunia datang ke gereja masing-masing untuk menerima tanda salib dalam bentuk olesan abu di dahinya dari seorang imam Katolik atau biarawan ataupun biarawati yang ditugaskan.

Simbol ini mengingatkan umat Kristiani akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan.

Bagi orang Katolik, puasa dan pantang adalah tanda pertobatan, penyangkalan diri, serta mempersatukan sedikit pengorbanan manusia dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa demi keselamatan dunia.

Atas dasar itu, Gereja Katolik selalu menyerukan umatnya untuk terus berpuasa dan berpantang sambil berdoa untuk terus menyebarkan perbuatan amal kasih bersama anggota gereja yang lain.

"Dengan demikian maka berpantang dan berpuasa bagi orang Katolik merupakan latihan rohani untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama," ujar Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang.

Dalam pandangannya, dengan mendekatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan, maka kehendak-Nya menjadi kehendak umat untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan dunia.

Karya penyelamatan ini dapat dilakukan dengan cara yang paling sederhana, yaitu melalui berdoa dan menyatukan pengorbanan umat dengan pengorbanan Yesus di kayu salib.

Berdasarkan hukum Kanonik (Hukum Gereja Katolik) dan Konferensi para Uskup se-Indonesia menyebutkan bahwa yang wajib berpuasa adalah semua orang Katolik yang berusia 18 sampai tahun ke-60, dan yang wajib berpantang adalah semua orang Katolik yang berusia 14 tahun ke atas.

Dalam tradisi Gereja Katolik, puasa dan berpantang itu hanya dilakukan pada setiap hari Rabu dan Jumat sepanjang tahun. Puasa menuntut setiap orang Katolik dewasa untuk makan kenyang hanya sekali dalam sehari, serta menghindari daging atau hal-hal lain sebagai pantangannya.

Pantangan tidak hanya terbatas pada makanan, tetapi juga pada kebiasaan manusia lainnya seperti merokok, mengopi, dan lain-lain. Atas dasar itu, semua orang Katolik di seluruh dunia, begitu antusias menerima abu pada hari Rabu Abu itu sebagai bentuk pertobatan.

"Dalam tradisi Gereja Katolik, upacara pemberian abu pada hari Rabu Abu itu sebagai permulaan masa Pra-Paskah, yakni masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk menyambut kebangkitan Kristus yang dikenang umat sebagai Hari Raya Paskah," kata Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Kupang Romo Gerardus Duka Pr.

Saat memimpin upacara misa Rabu Abu di Geraja St Gregorius Agung Kupang, Romo Gerardus mengatakan masa Pra-Paskah yang diawali dengan puasa dimaknai sebagai kesempatan untuk menahan diri. Berhemat untuk tidak melakukan tindakan dan perbuatan yang salah dan berusaha mendekatkan diri dengan Allah sang pencipta.

Tebar kasih sayang
Dalam pandangan Gereja Katolik, masa Pra-Paskah juga dapat mengubah jiwa yang kering sekaligus mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk seperti mementingkan diri sendiri dan suka marah, boros atau tidak hemat.

"Rabu Abu tahun ini bertepatan dengan Hari Kasih Sayang (Valentine`s Day) sehingga umat Katolik diharapkan selalu menebarkan rasa kasih sayang kepada sesama tanpa memandang suku, ras, warna kulit serta agamanya," kata Romo Gerardus.

Penorehan abu di kening umat itu merupakan sebuah tradisi keagamaan yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya ini bukanlah sebuah seremoni keagamaan semata, tetapi lebih dari itu menyadarkan semua umat untuk bertobat secara total dan berpantang.

Berpantang bagi umat Katolik merupakan kurban silih atas dosa-dosa yang dilakukan dengan tekun belajar untuk mengendalikan diri serta berpantang daging pada setiap hari Jumat dalam masa Pra-Paskah.

Dan, dalam upacara pemberian abu di dahi itu, seorang imam Katolik selalu mengucapkan "Bertobatlah dan percaya pada injil". Banyak orang Katolik menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan seseorang.

Namun, makna sesungguhnya dari Rabu Abu itu adalah untuk memperbaiki, merenung, dan meresapi perjalanan hidup selama ini dan memikul salib kehidupan bersama-sama dengan Kristus.

"Dengan menerima abu di dahi kita, kita telah memasuki masa yang penuh rahmat dan kegembiraan untuk hidup kembali bersama anak Allah," kata Romo Rudy Tjung Lake, Pr, pastor paroki Sta Maria Assumpta Kota Baru Kupang.

Bagi Romo Rudy, puasa merupakan sebuah ret-ret agung, dimana dalam keheningan manusia dapat berefleksi dan membangun satu komunikasi yang lebih baik dengan Tuhan melalui pertobatan.

"Sebagai umat Katolik, kita dituntut untuk selalu berevolusi menjadi lebih baik lagi dari hari-hari kemarin, baik pada masa puasa dan berpantang, namun juga pada saat sesudahnya," ujarnya.

Menurut asal usulnya, penggunaan abu dalam liturgi Rabu Abu ini berasal dari Perjanjian Lama, dimana abu menjadi lambang perkabungan, rasa sesal, berkabung dan juga pertobatan umat.

Masa Rabu Abu ini menjadi awal pembaharuan diri, intropeksi diri serta pertobatan. Namun bukan berarti sesudah masa Paskah, umat bisa berbuat semaunya tanpa ada pertobatan.

Sikap selalu mawas diri dan juga pertobatan menjadi panggilan hidup bagi umat yang percaya seumur hidupnya seperti Valentine`s Day yang selalu memberi rasa kasih sayang kepada sesama manusia, tanpa membedakan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Pewarta : Laurensius Molan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024