Kupang (AntaraNews NTT) - Pemilihan secara langsung para kepala daerah saat ini, telah mencerminkan sebuah prosedural politik bahwa kedaulatan politik itu sudah di tangan rakyat dalam menentukan pemimpin eksekutif di daerahnya tanpa intervensi parlemen lokal.
Namun sejauhmana para kepala daerah hasil pilkada sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, barangkali masih merupakan pertanyaan besar.
Begitu pula, kualitas demokrasi dan tata pemerintahan daerah hasil pilkada, mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.
Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antarpartai dalam mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling menarik di balik penyelenggaraan pilkada di 10 kabupaten se-Nusa Tenggara Timur dan Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023.
Mekanisme pencalonan pilkada yang diatur dalam UU Nomor 32/2004 dan PP Nomor 6 dan Nomor 17 Tahun 2005, hanya mengenal satu jalur, yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik.
Meskipun demikian, pilkada secara langsung ternyata telah membuka peluang berbagai elemen masyarakat untuk menjadi kandidat di luar para politisi yang berasal dari partai-partai politik.
Regulasi pilkada mengatur bahwa proses penyaringan bakal calon oleh partai atau gabungan partai politik dilakukan secara demokratis dan transparan serta terbukanya proses tersebut dari akses publik.
Namun demikian dalam realitasnya, hampir semua proses pencalonan pilkada yang telah berlangsung selama ini mengabaikan urgensi akses publik, sebab masyarakat di daerah pemilihan tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya proses seleksi calon oleh partai atau gabungan partai politik.
Hak politik masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses pencalonan diabaikan karena segenap prosesnya cenderung berlangsung tertutup dan elitis. Hampir tidak ada akses bagi masyarakat untuk sekadar mengetahui, mengapa partai atau gabungan partai tertentu cenderung mencalonkan tokoh tertentu ketimbang yang lain.
Inilah realitas politik yang dihadapi PDI Perjuangan Nusa Tenggara Timur saat berlangsungnya proses pencalonan kepala daerah untuk Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023.
Entah bagaimana kisahnya, DPP PDI Perjuangan tiba-tiba mengumumkan Marianus Sae, Bupati Ngada periode 2016-2021 menjadi calon Gubernur NTT yang akan mendampingi Emilia Nomleni, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai pendampingnya dalam pelaminan politik lima tahunan itu.
Sehari menjelang penetapan menjadi calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Marianus Sae keburu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) di Surabaya, Jawa Timur, atas dugaan menerima suap.
Emilia pun akhirnya berjalan seorang diri memasuki panggung politik tersebut, tanpa didampingi Marianus sebagai calon pendampingnya. "Kita harus menghormati azas praduga tak bersalah terhadap apa yang sedang dialami oleh Marianus Sae," katanya.
"Para pendukung dan simpatisan Marianus-Emi agar tetap tenang, tidak terpancing serta tetap solid dan kompak. Kita akan terus berjuang sampai garis akhir," kata Emilia menenangkan duka hatinya.
Peristiwa buruk yang menimpa Marianus Sae tersebut, telah memberikan pembelajaran mahal untuk berefleksi. "Sebagai pribadi, saya akan tetap berdiri untuk menghadapi semuanya. Saya mengirimkan doa dan semangat agar pak Marianus tetap kuat dalam menghadapi semua persoalan ini," katanya.
Lalu, bagaimana dengan hak politiknya sebagai calon kepala daerah? "Marianus tetap menjadi calon Gubernur NTT meski saat ini sedang menjalani proses hukum di KPK. Dan, penarikan dukungan terhadap Marianus Sae tidak menggugurkan paket calon yang sudah ditetapkan oleh KPU," kata Yosafat Koli, juru bicara KPU NTT.
Langsung Cabut
Setelah menerima kabar buruk tersebut, PDI Perjuangan dan PKB sebagai partai pengusung pasangan Marianus Sae-Emilia Nomleni, langsung mencabut dukungan politiknya kepada Marianus Sae.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dengan tegas mengatakan bahwa partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu tetap mengusung Emilia Nomleni sebagai calon Wakil Gubernur NTT dalam ajang Pilgub NTT 2018, meski tanpa ada calon gubernur yang mendampinginya dalam pelaminan politik lima tahunan itu.
Pascapencabutan dukungan terhadap Marianus Sae, DPP PDI Perjuangan memutuskan untuk tetap mengusung Emilia Nomleni untuk maju dalam ajang Pilgub NTT 2018, sebab partai tampaknya tidak memiliki kans untuk mengganti calon gubernur, sebab mereka sudah sah ditetapkan sebagai Cagub-Cawagub NTT periode 2018-2023.
Atas dasar itulah, PDI Perjuangan secara kelembagaan tetap mendukung Emilia Nomleni sebagai calon Wakil Gubernur NTT sekaligus sebagai representasi partai dalam ajang politik lima tahunan itu, meski berat rasanya untuk tetap terus maju sampai garis terakhir.
"Emilia merupakan sosok seorang ibu yang selalu tampil sabar dan sederhana yang menampilkan karakternya sebagai pemimpin yang baik. Kami tidak akan mundur dan akan terus bertarung dalam menghadapi situasi sulit saat ini bersama ibu Emilia," kata Hasto Kristiyanto.
Apa yang terjadi saat ini, tampaknya menjadi ujian bagi partai untuk terus memberikan dukungan pada Ibu Emilia.
"Apa yang terjadi menunjukkan pentingnya pemimpin yang berkeadaban, pemimpin yang tidak menghalalkan segala cara dan pemimpin yang bertanggung jawab secara moral untuk menjadikan rakyat sebagai sumber inspirasi kepemimpinanya," tambahnya.
Emilia pun sadar bahwa perjalanan politik menuju tangga sukses kepemimpinan NTT ini tidaklah gampang untuk dilalui, namun ia menegaskan bahwa dirinya akan tetap maju walaupun tanpa didampingi oleh seorang calon gubernur.
"Saya akan tetap maju sampai garis akhir. Ini tekad saya dan saya pasti bisa. Saya tetap menghormati proses yang sudah ditetapkan, baik oleh KPU maupun partai pengusung serta proses hukum yang tengah menimpa pasangannya Marianus Sae," kata Emilia sambil meneteskan air mata saat penarikan nomor urut calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Selasa (13/2).
"Ini bukan tangisan perpisahan, tetapi merupakan tangisan bahagia yang terus memotivasi saya untuk terus berjuang sampai garis akhir bersama tiga pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT lainnya dalam ajang Pilgub NTT 2018," katanya.
Ketua DPD PDI Perjuangan Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya juga Gubernur NTT periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu menyadari bahwa pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT yang diusung PDI Perjuangan dan PKB itu memang tidak bisa dibatalkan berdasarkan regulasi KPU yang berlaku.
"Kami akan tetap terus berjalan sampai akhir. Ini konsekuensi politik yang harus kami terima. Kami akan terus maju dan terus berjuang sampai akhir. Kami sudah instruksikan kepada seluruh unsur partai, mulai dari tingkat DPC, ranting, anak ranting hingga ke desa dan dusun-dusun untuk terus bekerja memenangkan pasangan ini," kata Lebu Raya.
Langkah perempuan kelahiran Kupang, 19 September 1966 dalam menghadapi panggung politik Pemilu Gubernur NTT 2018 ini terasa berat dan melelahkan.
Namun Emilia tetap akan terus berjuang sampai garis akhir bersama tiga pasangan calon lainnya, yakni Esthon L Foenay-Christian Rotok, Benny K Harman-Benny A Litelnoni serta pasangan Victor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nai Soi.
Namun sejauhmana para kepala daerah hasil pilkada sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, barangkali masih merupakan pertanyaan besar.
Begitu pula, kualitas demokrasi dan tata pemerintahan daerah hasil pilkada, mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.
Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antarpartai dalam mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling menarik di balik penyelenggaraan pilkada di 10 kabupaten se-Nusa Tenggara Timur dan Pemilu Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023.
Mekanisme pencalonan pilkada yang diatur dalam UU Nomor 32/2004 dan PP Nomor 6 dan Nomor 17 Tahun 2005, hanya mengenal satu jalur, yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik dan atau gabungan partai politik.
Meskipun demikian, pilkada secara langsung ternyata telah membuka peluang berbagai elemen masyarakat untuk menjadi kandidat di luar para politisi yang berasal dari partai-partai politik.
Regulasi pilkada mengatur bahwa proses penyaringan bakal calon oleh partai atau gabungan partai politik dilakukan secara demokratis dan transparan serta terbukanya proses tersebut dari akses publik.
Namun demikian dalam realitasnya, hampir semua proses pencalonan pilkada yang telah berlangsung selama ini mengabaikan urgensi akses publik, sebab masyarakat di daerah pemilihan tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya proses seleksi calon oleh partai atau gabungan partai politik.
Hak politik masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses pencalonan diabaikan karena segenap prosesnya cenderung berlangsung tertutup dan elitis. Hampir tidak ada akses bagi masyarakat untuk sekadar mengetahui, mengapa partai atau gabungan partai tertentu cenderung mencalonkan tokoh tertentu ketimbang yang lain.
Inilah realitas politik yang dihadapi PDI Perjuangan Nusa Tenggara Timur saat berlangsungnya proses pencalonan kepala daerah untuk Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023.
Entah bagaimana kisahnya, DPP PDI Perjuangan tiba-tiba mengumumkan Marianus Sae, Bupati Ngada periode 2016-2021 menjadi calon Gubernur NTT yang akan mendampingi Emilia Nomleni, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai pendampingnya dalam pelaminan politik lima tahunan itu.
Sehari menjelang penetapan menjadi calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, Marianus Sae keburu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) di Surabaya, Jawa Timur, atas dugaan menerima suap.
Emilia pun akhirnya berjalan seorang diri memasuki panggung politik tersebut, tanpa didampingi Marianus sebagai calon pendampingnya. "Kita harus menghormati azas praduga tak bersalah terhadap apa yang sedang dialami oleh Marianus Sae," katanya.
"Para pendukung dan simpatisan Marianus-Emi agar tetap tenang, tidak terpancing serta tetap solid dan kompak. Kita akan terus berjuang sampai garis akhir," kata Emilia menenangkan duka hatinya.
Peristiwa buruk yang menimpa Marianus Sae tersebut, telah memberikan pembelajaran mahal untuk berefleksi. "Sebagai pribadi, saya akan tetap berdiri untuk menghadapi semuanya. Saya mengirimkan doa dan semangat agar pak Marianus tetap kuat dalam menghadapi semua persoalan ini," katanya.
Lalu, bagaimana dengan hak politiknya sebagai calon kepala daerah? "Marianus tetap menjadi calon Gubernur NTT meski saat ini sedang menjalani proses hukum di KPK. Dan, penarikan dukungan terhadap Marianus Sae tidak menggugurkan paket calon yang sudah ditetapkan oleh KPU," kata Yosafat Koli, juru bicara KPU NTT.
Langsung Cabut
Setelah menerima kabar buruk tersebut, PDI Perjuangan dan PKB sebagai partai pengusung pasangan Marianus Sae-Emilia Nomleni, langsung mencabut dukungan politiknya kepada Marianus Sae.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dengan tegas mengatakan bahwa partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu tetap mengusung Emilia Nomleni sebagai calon Wakil Gubernur NTT dalam ajang Pilgub NTT 2018, meski tanpa ada calon gubernur yang mendampinginya dalam pelaminan politik lima tahunan itu.
Pascapencabutan dukungan terhadap Marianus Sae, DPP PDI Perjuangan memutuskan untuk tetap mengusung Emilia Nomleni untuk maju dalam ajang Pilgub NTT 2018, sebab partai tampaknya tidak memiliki kans untuk mengganti calon gubernur, sebab mereka sudah sah ditetapkan sebagai Cagub-Cawagub NTT periode 2018-2023.
Atas dasar itulah, PDI Perjuangan secara kelembagaan tetap mendukung Emilia Nomleni sebagai calon Wakil Gubernur NTT sekaligus sebagai representasi partai dalam ajang politik lima tahunan itu, meski berat rasanya untuk tetap terus maju sampai garis terakhir.
"Emilia merupakan sosok seorang ibu yang selalu tampil sabar dan sederhana yang menampilkan karakternya sebagai pemimpin yang baik. Kami tidak akan mundur dan akan terus bertarung dalam menghadapi situasi sulit saat ini bersama ibu Emilia," kata Hasto Kristiyanto.
Apa yang terjadi saat ini, tampaknya menjadi ujian bagi partai untuk terus memberikan dukungan pada Ibu Emilia.
"Apa yang terjadi menunjukkan pentingnya pemimpin yang berkeadaban, pemimpin yang tidak menghalalkan segala cara dan pemimpin yang bertanggung jawab secara moral untuk menjadikan rakyat sebagai sumber inspirasi kepemimpinanya," tambahnya.
Emilia pun sadar bahwa perjalanan politik menuju tangga sukses kepemimpinan NTT ini tidaklah gampang untuk dilalui, namun ia menegaskan bahwa dirinya akan tetap maju walaupun tanpa didampingi oleh seorang calon gubernur.
"Saya akan tetap maju sampai garis akhir. Ini tekad saya dan saya pasti bisa. Saya tetap menghormati proses yang sudah ditetapkan, baik oleh KPU maupun partai pengusung serta proses hukum yang tengah menimpa pasangannya Marianus Sae," kata Emilia sambil meneteskan air mata saat penarikan nomor urut calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Selasa (13/2).
"Ini bukan tangisan perpisahan, tetapi merupakan tangisan bahagia yang terus memotivasi saya untuk terus berjuang sampai garis akhir bersama tiga pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT lainnya dalam ajang Pilgub NTT 2018," katanya.
Ketua DPD PDI Perjuangan Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya juga Gubernur NTT periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu menyadari bahwa pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT yang diusung PDI Perjuangan dan PKB itu memang tidak bisa dibatalkan berdasarkan regulasi KPU yang berlaku.
"Kami akan tetap terus berjalan sampai akhir. Ini konsekuensi politik yang harus kami terima. Kami akan terus maju dan terus berjuang sampai akhir. Kami sudah instruksikan kepada seluruh unsur partai, mulai dari tingkat DPC, ranting, anak ranting hingga ke desa dan dusun-dusun untuk terus bekerja memenangkan pasangan ini," kata Lebu Raya.
Langkah perempuan kelahiran Kupang, 19 September 1966 dalam menghadapi panggung politik Pemilu Gubernur NTT 2018 ini terasa berat dan melelahkan.
Namun Emilia tetap akan terus berjuang sampai garis akhir bersama tiga pasangan calon lainnya, yakni Esthon L Foenay-Christian Rotok, Benny K Harman-Benny A Litelnoni serta pasangan Victor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nai Soi.