Kota Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi mengingatkan penundaan Pemilu Serentak 2024 ke tahun 2027 dapat menimbulkan risiko politik dan ketidakpastian hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
"Wacana penundaan ini, menurut saya lebih bersifat politis ketimbang kesehatan, karena COVID-19 tidak harus dilihat sebagai hambatan, namun mesti dimaknai sebagai tantangan bagi jalan demokrasi di negeri ini," kata Ahmad Atang, di Kupang, Senin, terkait wacana penundaan Pemilu Serentak 2024.
Wacana Pemilu Serentak 2024 ditunda ke tahun 2027 dengan alasan adanya pandemi COVID-19 yang belum berakhir telah menjadi diskursus publik.
Menurut dia, jika wacana ini benar adanya dan menjadi desain pemerintah dan penyelenggara, maka dapat dipastikan akan terjadi problem ikutan.
Ia menyebutkan, problem yang akan muncul akibat penundaan ini, di antaranya, pertama, adanya inkonsistensi Pemerintah terkait COVID-19 sebagai argumentasi penundaan ini, karena ketika pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah COVID-19, banyak pihak menyarankan agar pilkada ditunda dengan alasan yang sama, namun Pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat.
Apa yang dikhawatirkan bahwa pilkada akan menjadi klaster baru tidak terbukti, katanya pula. Oleh karena itu, ujar dia, jika Pemilu Serentak 2024 ditunda karena alasan COVID-19 tidak dapat diterima secara nalar.
Kedua, ujarnya lagi, Pilkada Serentak Tahun 2022 ditunda karena waktunya terlalu mepet dengan Pilkada Serentak Tahun 2024. Jika ditunda ke 2027, maka Pilkada 2022 sebaiknya digelar agar pejabat kepala daerah tidak terlalu lama menjabat hingga 2027.
Ketiga, ada problem pada kelembagaan negara, yakni posisi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan mengalami kekosongan, karena akan berakhir pada tahun 2024, sehingga fungsi politik selama 3 tahun tidak berjalan, maka penyelenggaraan pemerintahan tanpa dukungan politik dewan.
Keempat, adanya problem ketatanegaraan soal berakhirnya masa jabatan presiden pada tahun 2024, apakah perlu diangkat pejabat presiden untuk menjalankan tugas negara.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kata dia pula, maka wacana penundaan ini akan menimbulkan risiko politik dan ketidakpastian hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, wacana penundaan ini, lebih bersifat politis ketimbang kesehatan, katanya lagi.
Baca juga: Titi sebut Konstitusi tak buka celah penundaan Pemilu 2024
"COVID-19 tidak harus dilihat sebagai hambatan, namun mesti dimaknai sebagai tantangan bagi jalan demokrasi di negeri ini. Demokrasi tidak harus berhenti karena adanya COVID-19," kata dia pula.
Baca juga: CISSReC : e-Voting Pemilu 2024 sangat memungkinkan
Justru momentum politik akan membangkitkan gairah masyarakat untuk beraktivitas di bidang sosial, ekonomi dan politik, kecuali jika COVID-19 ini sebagai alat negara untuk membelenggu hak hidup rakyat, kata pengajar ilmu politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu lagi.
"Wacana penundaan ini, menurut saya lebih bersifat politis ketimbang kesehatan, karena COVID-19 tidak harus dilihat sebagai hambatan, namun mesti dimaknai sebagai tantangan bagi jalan demokrasi di negeri ini," kata Ahmad Atang, di Kupang, Senin, terkait wacana penundaan Pemilu Serentak 2024.
Wacana Pemilu Serentak 2024 ditunda ke tahun 2027 dengan alasan adanya pandemi COVID-19 yang belum berakhir telah menjadi diskursus publik.
Menurut dia, jika wacana ini benar adanya dan menjadi desain pemerintah dan penyelenggara, maka dapat dipastikan akan terjadi problem ikutan.
Ia menyebutkan, problem yang akan muncul akibat penundaan ini, di antaranya, pertama, adanya inkonsistensi Pemerintah terkait COVID-19 sebagai argumentasi penundaan ini, karena ketika pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah COVID-19, banyak pihak menyarankan agar pilkada ditunda dengan alasan yang sama, namun Pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat.
Apa yang dikhawatirkan bahwa pilkada akan menjadi klaster baru tidak terbukti, katanya pula. Oleh karena itu, ujar dia, jika Pemilu Serentak 2024 ditunda karena alasan COVID-19 tidak dapat diterima secara nalar.
Kedua, ujarnya lagi, Pilkada Serentak Tahun 2022 ditunda karena waktunya terlalu mepet dengan Pilkada Serentak Tahun 2024. Jika ditunda ke 2027, maka Pilkada 2022 sebaiknya digelar agar pejabat kepala daerah tidak terlalu lama menjabat hingga 2027.
Ketiga, ada problem pada kelembagaan negara, yakni posisi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan mengalami kekosongan, karena akan berakhir pada tahun 2024, sehingga fungsi politik selama 3 tahun tidak berjalan, maka penyelenggaraan pemerintahan tanpa dukungan politik dewan.
Keempat, adanya problem ketatanegaraan soal berakhirnya masa jabatan presiden pada tahun 2024, apakah perlu diangkat pejabat presiden untuk menjalankan tugas negara.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, kata dia pula, maka wacana penundaan ini akan menimbulkan risiko politik dan ketidakpastian hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, wacana penundaan ini, lebih bersifat politis ketimbang kesehatan, katanya lagi.
Baca juga: Titi sebut Konstitusi tak buka celah penundaan Pemilu 2024
"COVID-19 tidak harus dilihat sebagai hambatan, namun mesti dimaknai sebagai tantangan bagi jalan demokrasi di negeri ini. Demokrasi tidak harus berhenti karena adanya COVID-19," kata dia pula.
Baca juga: CISSReC : e-Voting Pemilu 2024 sangat memungkinkan
Justru momentum politik akan membangkitkan gairah masyarakat untuk beraktivitas di bidang sosial, ekonomi dan politik, kecuali jika COVID-19 ini sebagai alat negara untuk membelenggu hak hidup rakyat, kata pengajar ilmu politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu lagi.