Kairo (ANTARA) - Kelompok ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangkaian pengeboman di Kota Jalalabad di Afghanistan timur, demikian yang disampaikan Kantor Berita Amaaq milik ISIS melalui Telegram pada Minggu (19/9).
"Lebih dari 35 anggota milisi tewas atau terluka dalam serentetan ledakan," kata kelompok itu, merujuk pada ledakan Sabtu (18/9) dan Minggu, (20/9).
Tidak ada pernyataan langsung dari pihak Taliban mengenai jumlah korban tewas.
Sejumlah sumber pada Sabtu mengatakan kepada Reuters bahwa sedikitnya tiga orang tewas dan sekitar 20 orang lainnya terluka akibat ledakan di Jalalabad.
Jalalabad merupakan ibu kota provinsi Nangarhar, markas kelompok ISIS yang aktif sejak Kabul jatuh ke tangan Taliban.
Sumber mengaku mendapat informasi dari pihak rumah sakit dan saksi mata.
Baca juga: Militan ISIS lancarkan serangan, tewaskan 10 polisi Irak
Serangkaian pengeboman di bandara Kabul pada 26 Agustus yang diklaim oleh ISIS menelan lebih dari 180 korban jiwa.
Baca juga: UNHCR ingatkan kemungkinan "penderitaan lebih besar" di Afghanistan
Serangan itu termasuk yang paling mematikan selama dua dekade pendudukan AS di Afghanistan. (Antara/Reuters)
"Lebih dari 35 anggota milisi tewas atau terluka dalam serentetan ledakan," kata kelompok itu, merujuk pada ledakan Sabtu (18/9) dan Minggu, (20/9).
Tidak ada pernyataan langsung dari pihak Taliban mengenai jumlah korban tewas.
Sejumlah sumber pada Sabtu mengatakan kepada Reuters bahwa sedikitnya tiga orang tewas dan sekitar 20 orang lainnya terluka akibat ledakan di Jalalabad.
Jalalabad merupakan ibu kota provinsi Nangarhar, markas kelompok ISIS yang aktif sejak Kabul jatuh ke tangan Taliban.
Sumber mengaku mendapat informasi dari pihak rumah sakit dan saksi mata.
Baca juga: Militan ISIS lancarkan serangan, tewaskan 10 polisi Irak
Serangkaian pengeboman di bandara Kabul pada 26 Agustus yang diklaim oleh ISIS menelan lebih dari 180 korban jiwa.
Baca juga: UNHCR ingatkan kemungkinan "penderitaan lebih besar" di Afghanistan
Serangan itu termasuk yang paling mematikan selama dua dekade pendudukan AS di Afghanistan. (Antara/Reuters)