Hong Kong (ANTARA) - Saham-saham Asia melemah pada perdagangan Rabu, (29/9) pagi, mengikuti penurunan di Wall Street karena investor resah atas ketidakpastian ekonomi yang menyebabkan lonjakan dalam imbal hasil acuan obligasi pemerintah AS dan mendorong dolar ke level tertinggi lebih dari 10 bulan.
Keraguan muncul kembali atas pemulihan global pada saat Federal Reserve (Fed) AS akan mengurangi stimulus dan Pemerintahan Biden terjebak dalam negosiasi plafon utang yang kontroversial, yang dapat menyebabkan penutupan pemerintah.
Suku bunga (imbal hasil) acuan obligasi 10-tahun telah naik 25 basis poin dalam lima sesi dan terakhir di 1,5513 persen, setelah mencapai tertinggi sejak pertengahan Juni sehari sebelumnya, sementara indeks dolar berada di 93,752.
"Kami pikir (imbal hasil obligasi 10-tahun) kemungkinan sekitar 1,5 persen hingga 1,75 persen, jadi mereka jelas masih memiliki ruang untuk bergerak," kata Daniel Lam, Ahli Strategi Lintas Aset Standard Chartered.
Lam mengatakan kenaikan imbal hasil didorong oleh fakta bahwa Amerika Serikat hampir pasti akan mulai mengurangi pembelian aset secara besar-besaran pada akhir tahun ini, dan ini akan mendorong pergeseran dari saham-saham pertumbuhan ke saham-saham yang dinilai rendah (value stocks).
Dia mengatakan perubahan ini tidak akan mungkin secara signifikan membalikkan arus baru-baru ini dari ekuitas Asia ke AS, karena langkah kebijakan umumnya kurang mendukung di Asia daripada Amerika Serikat dan Eropa saat ini, dan dengan demikian "peluang di Asia akan bersifat taktis dan jangka pendek."
Imbal hasil yang lebih tinggi dan dolar yang kuat merugikan ekuitas Asia di awal perdagangan. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang anjlok 1,43 persen dengan Australia merosot 1,5 persen, dan Korea Selatan tergelincir 2,06 persen.
Indeks acuan Hong Kong, Indeks Hang Seng melemah 1,2 persen dan indeks saham unggulan China turun 1,1 persen.
Nikkei Jepang merosot 2,35 persen terpukul sentimen umum ketika partai yang berkuasa di negara itu memilih pemimpin baru yang hampir pasti akan menjadi perdana menteri berikutnya menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan dalam beberapa minggu.
Semalam, ketiga indeks utama saham AS jatuh hampir 2,0 persen atau lebih, dengan saham teknologi yang sensitif suku bunga dan saham yang berdekatan dengan teknologi paling terpukul oleh lonjakan imbal hasil.
Itu adalah persentase penurunan satu hari terbesar indeks S&P 500 sejak Mei, dan terbesar di Nasdaq sejak Maret, tetapi saham berjangka AS, indeks berjangka e-mini S&P 500, naik 0,25 persen di perdagangan Asia.
Juga di benak para pedagang adalah China Evergrande Group yang kekurangan uang, yang sahamnya naik sebanyak 12 persen setelah mengatakan berencana untuk menjual 9,99 miliar yuan (1,5 miliar dolar AS) saham yang dimilikinya di Shengjing Bank Co Ltd.
Evergrande akan melakukan pembayaran bunga obligasi senilai 47,5 juta dolar AS pada obligasi dolar 9,5 persen Maret 2024, setelah melewatkan pembayaran serupa minggu lalu, tetapi perusahaan mengatakan dalam laporannya ke bursa efek bahwa hasil penjualannya akan digunakan untuk menyelesaikan kewajiban keuangannya ke Shengjing Bank.
Baca juga: Saham Prancis berakhir turun tajam
Di pasar mata uang, dolar yang kuat berarti yen diperdagangkan mendekati level terendah sejak awal 2020, sementara euro mencapai level terendah sebulan semalam.
Harga minyak turun setelah menyentuh level tertinggi hampir tiga tahun sehari sebelumnya. Minyak mentah Brent melemah 0,83 persen menjadi 78,25 dolar AS per barel. Minyak mentah AS turun 1,09 persen menjadi 74,47 dolar AS per barel.
Baca juga: IHSG awal pekan ditutup melemah
Emas menguat dengan harga spot di 1.735,6 dolar AS per ounce, naik 0,1 persen dari level terendah tujuh minggu yang dicapai sehari sebelumnya karena imbal hasil yang lebih tinggi mengurangi permintaan untuk aset tanpa bunga.
Keraguan muncul kembali atas pemulihan global pada saat Federal Reserve (Fed) AS akan mengurangi stimulus dan Pemerintahan Biden terjebak dalam negosiasi plafon utang yang kontroversial, yang dapat menyebabkan penutupan pemerintah.
Suku bunga (imbal hasil) acuan obligasi 10-tahun telah naik 25 basis poin dalam lima sesi dan terakhir di 1,5513 persen, setelah mencapai tertinggi sejak pertengahan Juni sehari sebelumnya, sementara indeks dolar berada di 93,752.
"Kami pikir (imbal hasil obligasi 10-tahun) kemungkinan sekitar 1,5 persen hingga 1,75 persen, jadi mereka jelas masih memiliki ruang untuk bergerak," kata Daniel Lam, Ahli Strategi Lintas Aset Standard Chartered.
Lam mengatakan kenaikan imbal hasil didorong oleh fakta bahwa Amerika Serikat hampir pasti akan mulai mengurangi pembelian aset secara besar-besaran pada akhir tahun ini, dan ini akan mendorong pergeseran dari saham-saham pertumbuhan ke saham-saham yang dinilai rendah (value stocks).
Dia mengatakan perubahan ini tidak akan mungkin secara signifikan membalikkan arus baru-baru ini dari ekuitas Asia ke AS, karena langkah kebijakan umumnya kurang mendukung di Asia daripada Amerika Serikat dan Eropa saat ini, dan dengan demikian "peluang di Asia akan bersifat taktis dan jangka pendek."
Imbal hasil yang lebih tinggi dan dolar yang kuat merugikan ekuitas Asia di awal perdagangan. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang anjlok 1,43 persen dengan Australia merosot 1,5 persen, dan Korea Selatan tergelincir 2,06 persen.
Indeks acuan Hong Kong, Indeks Hang Seng melemah 1,2 persen dan indeks saham unggulan China turun 1,1 persen.
Nikkei Jepang merosot 2,35 persen terpukul sentimen umum ketika partai yang berkuasa di negara itu memilih pemimpin baru yang hampir pasti akan menjadi perdana menteri berikutnya menjelang pemilihan umum yang dijadwalkan dalam beberapa minggu.
Semalam, ketiga indeks utama saham AS jatuh hampir 2,0 persen atau lebih, dengan saham teknologi yang sensitif suku bunga dan saham yang berdekatan dengan teknologi paling terpukul oleh lonjakan imbal hasil.
Itu adalah persentase penurunan satu hari terbesar indeks S&P 500 sejak Mei, dan terbesar di Nasdaq sejak Maret, tetapi saham berjangka AS, indeks berjangka e-mini S&P 500, naik 0,25 persen di perdagangan Asia.
Juga di benak para pedagang adalah China Evergrande Group yang kekurangan uang, yang sahamnya naik sebanyak 12 persen setelah mengatakan berencana untuk menjual 9,99 miliar yuan (1,5 miliar dolar AS) saham yang dimilikinya di Shengjing Bank Co Ltd.
Evergrande akan melakukan pembayaran bunga obligasi senilai 47,5 juta dolar AS pada obligasi dolar 9,5 persen Maret 2024, setelah melewatkan pembayaran serupa minggu lalu, tetapi perusahaan mengatakan dalam laporannya ke bursa efek bahwa hasil penjualannya akan digunakan untuk menyelesaikan kewajiban keuangannya ke Shengjing Bank.
Baca juga: Saham Prancis berakhir turun tajam
Di pasar mata uang, dolar yang kuat berarti yen diperdagangkan mendekati level terendah sejak awal 2020, sementara euro mencapai level terendah sebulan semalam.
Harga minyak turun setelah menyentuh level tertinggi hampir tiga tahun sehari sebelumnya. Minyak mentah Brent melemah 0,83 persen menjadi 78,25 dolar AS per barel. Minyak mentah AS turun 1,09 persen menjadi 74,47 dolar AS per barel.
Baca juga: IHSG awal pekan ditutup melemah
Emas menguat dengan harga spot di 1.735,6 dolar AS per ounce, naik 0,1 persen dari level terendah tujuh minggu yang dicapai sehari sebelumnya karena imbal hasil yang lebih tinggi mengurangi permintaan untuk aset tanpa bunga.