Kupang (AntaraNews NTT) - Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya menghendaki agar CSR yang hendak diberikan perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP dan Australia, harus sama nilainya dengan kerugian yang diderita rakyat korban di Nusa Tenggara Timur.
"Boleh-boleh saja PTTEP dan Australia berniat baik membantu rakyat NTT, tetapi nilai CSR-nya harus sebanding dengan tuntutan ganti rugi (kompensasi) dari rakyat korban," kata Gubernur Lebu Raya di Kupang, Selasa (10/4).
Ia mengemukakan hal tersebut ketika menyikapi hasil pertemuan CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai dengan mantan Deputi I Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno di Jakarta, 23 Maret 2018 yang dihadiri pula Ketua Bappeda NTT I Wayan Darmawa.
Pertemuan tertutup itu dilukiskan oleh Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni sebagai bagian dari skenario terselubung yang tengah dimainkan oleh mantan Deputi I Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno untuk memecah belah rakyat NTT dalam menghadapi persoalan Montara.
Indikasi memecah belah itu terlihat jelas dari upaya yang tengah dimainkan oleh Havas Oegroseno untuk memberikan CSR kepada rakyat korban sebagai kompensasi dari pencemaran Laut Timor," katanya.
Hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009, yang ikut membawa dampak terhadap lesunya kehidupan para nelayan serta petani rumput laut yang hidup di wilayah pesisir NTT.
Menurut Tanoni, Arif Havas Oegroseno yang telah dilantik menjadi Dubes Indonesia untuk Jerman itu enggan mengemban tugasnya sebagai Duta Besar karena sedang bermain mata dengan CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai untuk menjalankan misi CSR tersebut.
Baca juga: Rakyat NTT dipecahbelah dalam kasus Montara
Tragedi meledaknya anjungan minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 (Reuters)
Pertemuan tertutup antara CEO PTTEP Bangkok Somporn Vongvuthipornchai dengan Havas Oegroseno untuk mengatur sebuah skenario bagaimana caranya membujuk lebih dari 100.000 rakyat korban di NTT untuk mau menerima dana bantuan sosial (CSR) dari PTTEP dan Australia tersebut.
Menurut Tanoni, untuk mengakhiri kisah panjang penderitaan rakyat NTT akibat tumpahan minyak Montara itu, pemerintah Indonesia dan Australia serta para pemangku kepentingan di NTT, harus duduk bersama untuk membahasnya secara bersama-sama dalam menentukan nilai kompensasi terhadap rakyat korban.
"Ini merupakan pilihan terakhir untuk mengakhiri sebuah drama panjang selama 9 tahun lamanya penderitaan yang dialami oleh rakyat pesisir NTT sejak tragedi tumpahan Montara terjadi pada 21 Agustus 2009," katanya menegaskan.
Tolak CSR
Sementara itu, anggota DPRD NTT dari Fraksi NasDem Wellem Kale meminta masyarakat yang menjadi korban pencemaran Laut Timor agar menolak rencana pemberian CSR dari PTTEP dan Australia tersebut.
Menurut dia, pemerintah harus pro aktif memperjuangkan nasib masyarakat terdampak melalui peradilan yang sedang berlangsung di Pengadilan Federal Australia itu.
"CSR itu adalah bantuan, bukan ganti rugi (kompensasi) dan itu salah sasaran. Kalau mau pakai CSR pun harus sebesar kerugian bukan sesuai kemampuan pemberi CSR. Rakyat jangan diakal-akali dengan hal seperti itu," katanya menegaskan.
Wellem Kale juga menganjurkan rakyat korban Montara untuk tidak menerima bantuan CSR yang sarat dengan muatan kepentingan tersebut, karena rakyat NTT sudah jenuh dengan upaya meninabobokan seperti itu.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Presiden Jokowi bersama PM Australia Malcolm Turnbull
Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) H Faren Mustafa secara tegas menolak bantuan dalam bentuk CSR tersebut dengan mengatakan bahwa kerugian para nelayan dan petani rumput laut sejak tahun 2009 hingga saat ini mencapai triliunan rupiah.
"Jumlah inilah yang harus dibayar, bukan meninabobokan rakyat dengan CSR seperti itu. Kami tidak meminta belas kasihan dari siapa pun termasuk PTTEP Bangkok dan Australia. Kami hanya menuntut hak kami yang telah dirampas oleh PTTEP dan Pemerintah Australia itu," katanya.
Atas dasar itu, ia meminta Pemerintah Indonesia agar bersikap tegas terhadap PTTEP dan Pemerintah Australia untuk segera bertanggungjawab, karena rakyat sudah tak sanggup lagi memikul derita ini hingga memasuki tahun yang ke-10.
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni usai mengadakan pertemuan dengan Ketua Bappeda NTT Wayan Darmawa mengatakan bahwa pihaknya hanya mau menyamakan persepsi dengan Ketua Bappeda NTT terkait dengan rencana besar Havas Oegroseno memberikan CSR tersebut.
"Pada prinsipnya kami sependapat bahwa tawaran CSR ini harus dicerna secara benar dan tepat karena kasus pencemaran Laut Timor ini perkaranya sedang berlangsung di Australia. Karena itu, nilai CSR-nya harus setimpal dengan besarnya ganti rugi," kata Tanoni menegaskan.
Ia berpandangan bahwa jika PTTEP memang berniat tulus untuk menyelesaikan kasus Montara maka langsung saja bersama rakyat menghitung ganti rugi dan dibayarkan.
Seharusnya PTTEP sudah mengetahui bahwa Montara Task Force yang dibentuk Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan untuk menyelesaikan kasus ini telah bersepakat dengan Pemerintah Australia untuk membahas bersama PTTEP guna mencari solusinya, namun demikian secara tiba tiba PTTEP mengadakan pertemuan dengan Arif Havas Oegroseno untuk membicarakan soal CSR ini.
"Boleh-boleh saja PTTEP dan Australia berniat baik membantu rakyat NTT, tetapi nilai CSR-nya harus sebanding dengan tuntutan ganti rugi (kompensasi) dari rakyat korban," kata Gubernur Lebu Raya di Kupang, Selasa (10/4).
Ia mengemukakan hal tersebut ketika menyikapi hasil pertemuan CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai dengan mantan Deputi I Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno di Jakarta, 23 Maret 2018 yang dihadiri pula Ketua Bappeda NTT I Wayan Darmawa.
Pertemuan tertutup itu dilukiskan oleh Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni sebagai bagian dari skenario terselubung yang tengah dimainkan oleh mantan Deputi I Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno untuk memecah belah rakyat NTT dalam menghadapi persoalan Montara.
Indikasi memecah belah itu terlihat jelas dari upaya yang tengah dimainkan oleh Havas Oegroseno untuk memberikan CSR kepada rakyat korban sebagai kompensasi dari pencemaran Laut Timor," katanya.
Hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor tercemar akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009, yang ikut membawa dampak terhadap lesunya kehidupan para nelayan serta petani rumput laut yang hidup di wilayah pesisir NTT.
Menurut Tanoni, Arif Havas Oegroseno yang telah dilantik menjadi Dubes Indonesia untuk Jerman itu enggan mengemban tugasnya sebagai Duta Besar karena sedang bermain mata dengan CEO PTTEP Bangkok, Somporn Vongvuthipornchai untuk menjalankan misi CSR tersebut.
Baca juga: Rakyat NTT dipecahbelah dalam kasus Montara
Pertemuan tertutup antara CEO PTTEP Bangkok Somporn Vongvuthipornchai dengan Havas Oegroseno untuk mengatur sebuah skenario bagaimana caranya membujuk lebih dari 100.000 rakyat korban di NTT untuk mau menerima dana bantuan sosial (CSR) dari PTTEP dan Australia tersebut.
Menurut Tanoni, untuk mengakhiri kisah panjang penderitaan rakyat NTT akibat tumpahan minyak Montara itu, pemerintah Indonesia dan Australia serta para pemangku kepentingan di NTT, harus duduk bersama untuk membahasnya secara bersama-sama dalam menentukan nilai kompensasi terhadap rakyat korban.
"Ini merupakan pilihan terakhir untuk mengakhiri sebuah drama panjang selama 9 tahun lamanya penderitaan yang dialami oleh rakyat pesisir NTT sejak tragedi tumpahan Montara terjadi pada 21 Agustus 2009," katanya menegaskan.
Tolak CSR
Sementara itu, anggota DPRD NTT dari Fraksi NasDem Wellem Kale meminta masyarakat yang menjadi korban pencemaran Laut Timor agar menolak rencana pemberian CSR dari PTTEP dan Australia tersebut.
Menurut dia, pemerintah harus pro aktif memperjuangkan nasib masyarakat terdampak melalui peradilan yang sedang berlangsung di Pengadilan Federal Australia itu.
"CSR itu adalah bantuan, bukan ganti rugi (kompensasi) dan itu salah sasaran. Kalau mau pakai CSR pun harus sebesar kerugian bukan sesuai kemampuan pemberi CSR. Rakyat jangan diakal-akali dengan hal seperti itu," katanya menegaskan.
Wellem Kale juga menganjurkan rakyat korban Montara untuk tidak menerima bantuan CSR yang sarat dengan muatan kepentingan tersebut, karena rakyat NTT sudah jenuh dengan upaya meninabobokan seperti itu.
Baca juga: Kerugian Montara 5,5 miliar dolar AS
Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor (Antralamor) H Faren Mustafa secara tegas menolak bantuan dalam bentuk CSR tersebut dengan mengatakan bahwa kerugian para nelayan dan petani rumput laut sejak tahun 2009 hingga saat ini mencapai triliunan rupiah.
"Jumlah inilah yang harus dibayar, bukan meninabobokan rakyat dengan CSR seperti itu. Kami tidak meminta belas kasihan dari siapa pun termasuk PTTEP Bangkok dan Australia. Kami hanya menuntut hak kami yang telah dirampas oleh PTTEP dan Pemerintah Australia itu," katanya.
Atas dasar itu, ia meminta Pemerintah Indonesia agar bersikap tegas terhadap PTTEP dan Pemerintah Australia untuk segera bertanggungjawab, karena rakyat sudah tak sanggup lagi memikul derita ini hingga memasuki tahun yang ke-10.
Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara Ferdi Tanoni usai mengadakan pertemuan dengan Ketua Bappeda NTT Wayan Darmawa mengatakan bahwa pihaknya hanya mau menyamakan persepsi dengan Ketua Bappeda NTT terkait dengan rencana besar Havas Oegroseno memberikan CSR tersebut.
"Pada prinsipnya kami sependapat bahwa tawaran CSR ini harus dicerna secara benar dan tepat karena kasus pencemaran Laut Timor ini perkaranya sedang berlangsung di Australia. Karena itu, nilai CSR-nya harus setimpal dengan besarnya ganti rugi," kata Tanoni menegaskan.
Ia berpandangan bahwa jika PTTEP memang berniat tulus untuk menyelesaikan kasus Montara maka langsung saja bersama rakyat menghitung ganti rugi dan dibayarkan.
Seharusnya PTTEP sudah mengetahui bahwa Montara Task Force yang dibentuk Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan untuk menyelesaikan kasus ini telah bersepakat dengan Pemerintah Australia untuk membahas bersama PTTEP guna mencari solusinya, namun demikian secara tiba tiba PTTEP mengadakan pertemuan dengan Arif Havas Oegroseno untuk membicarakan soal CSR ini.