Jakarta (ANTARA) - Lebih dari 40 ribu orang menandatangani petisi penolakan terhadap kewajiban tes reaksi berantai polymerase chain reaction (PCR) sebagai syarat untuk perjalanan udara hingga Selasa siang.
"Yang penting jangan tebang pilih. Kita di penerbangan tidak hanya masyarakat kelas atas, tapi banyak juga masyarakat menengah dan menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya di sektor penerbangan ini," kata pembuat petisi Dewangga Pradityo Putra di kolom komentar petisi yang dilansir dari Jakarta, Selasa, (26/10).
Jika memang PCR ini terbaik, setidaknya pemerintah memberikan kebijakan dengan cara menurunkan harga PCR, baik dengan subsidi atau dengan cara lain sehingga harganya bisa lebih terjangkau masyarakat, kata pria yang berprofesi sebagai engineer pesawat itu.
Dewangga menilai tes PCR penerbangan sebagai keputusan yang keliru sebab walaupun calon penumpang pesawat sudah divaksin dua kali, tetap harus menjalani tes PCR. Kebijakan itu berpotensi menyebabkan penerbangan berkurang sehingga industri penunjang pun akan semakin kesulitan.
“Saya merasakan sekali dampak pandemi ini di pekerjaan. Penerbangan berkurang, teman saya juga ada yang dirumahkan jadinya. Padahal, sirkulasi udara di pesawat sebenarnya lebih aman karena terfiltrasi HEPA, sehingga udaranya bersirkulasi dengan baik, mencegah adanya penyebaran virus,” tulisnya di petisi.
Permintaan yang sama juga dibuat oleh Herlia Adisasmita, seorang warga yang tinggal di Provinsi Bali.
“Kami harus bagaimana lagi?. Bangkrut sudah, nganggur sudah, bahkan banyak di antara kami yang depresi, rumah tangga berantakan karena faktor ekonomi,” katanya.
Petisi tersebut dibuat secara online melalui platform Change.org. Lebih dari 40 ribu orang meminta agar pemerintah mengganti kebijakan tersebut.
Dikonfirmasi secara terpisah, Campaigner Change.org Indonesia Efraim Leonard mengatakan petisi yang ditandatangani melalui Change.org akan otomatis terkirim melalui sistem kepada pembuat kebijakan yang dituju.
"Dalam hal ini karena Dewangga sebagai salah satu pembuat petisi akan menujukan petisinya kepada Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito yang terdaftar sebagai pembuat kebijakan terverifikasi di platform kami. Maka setiap ada yang menandatangani petisi seharusnya akan beliau terima," katanya.
Efraim mengatakan sampai saat ini para pembuat petisi masih membiarkan masyarakat untuk menandatangani petisi mereka sampai ada perubahan kebijakan sesuai yang diinginkan oleh para pembuat petisi. "Platform kami membiarkan petisi tersebut terus dibuka sesuai dengan permintaan dari para pembuat petisi," katanya.
Target 50 ribu petisi sebagai yang terbanyak di platform Change.org itu sejauh ini belum memperoleh respons apapun dari para pembuat kebijakan yang dituju.
"Sehingga, para pembuat petisi (Dewangga dan Herlia) berharap dengan naiknya pemberitaan di media massa terkait dengan petisi mereka akan memberikan 'pressure' yang lebih bagi para otoritas atau pembuat kebijakan," katanya.
Baca juga: Komisi IX DPR: Perintah presiden terkait biaya PCR harus dijalankan
Baca juga: Relawan Jokowi Mania gugat inmendagri ke PTUN Jakarta
"Yang penting jangan tebang pilih. Kita di penerbangan tidak hanya masyarakat kelas atas, tapi banyak juga masyarakat menengah dan menengah ke bawah yang menggantungkan hidupnya di sektor penerbangan ini," kata pembuat petisi Dewangga Pradityo Putra di kolom komentar petisi yang dilansir dari Jakarta, Selasa, (26/10).
Jika memang PCR ini terbaik, setidaknya pemerintah memberikan kebijakan dengan cara menurunkan harga PCR, baik dengan subsidi atau dengan cara lain sehingga harganya bisa lebih terjangkau masyarakat, kata pria yang berprofesi sebagai engineer pesawat itu.
Dewangga menilai tes PCR penerbangan sebagai keputusan yang keliru sebab walaupun calon penumpang pesawat sudah divaksin dua kali, tetap harus menjalani tes PCR. Kebijakan itu berpotensi menyebabkan penerbangan berkurang sehingga industri penunjang pun akan semakin kesulitan.
“Saya merasakan sekali dampak pandemi ini di pekerjaan. Penerbangan berkurang, teman saya juga ada yang dirumahkan jadinya. Padahal, sirkulasi udara di pesawat sebenarnya lebih aman karena terfiltrasi HEPA, sehingga udaranya bersirkulasi dengan baik, mencegah adanya penyebaran virus,” tulisnya di petisi.
Permintaan yang sama juga dibuat oleh Herlia Adisasmita, seorang warga yang tinggal di Provinsi Bali.
“Kami harus bagaimana lagi?. Bangkrut sudah, nganggur sudah, bahkan banyak di antara kami yang depresi, rumah tangga berantakan karena faktor ekonomi,” katanya.
Petisi tersebut dibuat secara online melalui platform Change.org. Lebih dari 40 ribu orang meminta agar pemerintah mengganti kebijakan tersebut.
Dikonfirmasi secara terpisah, Campaigner Change.org Indonesia Efraim Leonard mengatakan petisi yang ditandatangani melalui Change.org akan otomatis terkirim melalui sistem kepada pembuat kebijakan yang dituju.
"Dalam hal ini karena Dewangga sebagai salah satu pembuat petisi akan menujukan petisinya kepada Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito yang terdaftar sebagai pembuat kebijakan terverifikasi di platform kami. Maka setiap ada yang menandatangani petisi seharusnya akan beliau terima," katanya.
Efraim mengatakan sampai saat ini para pembuat petisi masih membiarkan masyarakat untuk menandatangani petisi mereka sampai ada perubahan kebijakan sesuai yang diinginkan oleh para pembuat petisi. "Platform kami membiarkan petisi tersebut terus dibuka sesuai dengan permintaan dari para pembuat petisi," katanya.
Target 50 ribu petisi sebagai yang terbanyak di platform Change.org itu sejauh ini belum memperoleh respons apapun dari para pembuat kebijakan yang dituju.
"Sehingga, para pembuat petisi (Dewangga dan Herlia) berharap dengan naiknya pemberitaan di media massa terkait dengan petisi mereka akan memberikan 'pressure' yang lebih bagi para otoritas atau pembuat kebijakan," katanya.
Baca juga: Komisi IX DPR: Perintah presiden terkait biaya PCR harus dijalankan
Baca juga: Relawan Jokowi Mania gugat inmendagri ke PTUN Jakarta