Kupang (AntaraNews NTT) - Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan rakyat korban pencemaran Laut Timor di Nusa Tenggara Timur merasa dikhianti oleh Jakarta, di saat upaya untuk menyelesaikan kasus ini memasuki babak akhir.
"Pengkhianatan terhadap rakyat korban ini, kami curiga kuat datang dari mantan Deputy I Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno yang kini telah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Jerman," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Minggu (29/4).
Tanoni menjelaskan kecurigaan terhadap Havas Oegroseno tersebut karena sudah berulang kali menghambat proses penyelesaian kasus ini, baik yang dilakukan oleh Pemerintah daerah, Pemerintah pusat maupun Pemerintah Australia sendiri.
Ia mencontohkan, pada tanggal 2 Desember 2016, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menghadirkan Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson di kantornya untuk mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili Arif Havas Oegroseno, Pemerintah NTT diwakili Ketua BLHD Benyamin Lola dan perwakilan rakyat korban Ferdi Tanoni.
Dalam pertemuan tersebut, Havas Oegroseno menyampaikan agar Pemerintah Australia menindaklanjuti Minutes of Meeting 2010 yang ditandatangani oleh mantan Duta Besar Australia Greg Moriarty dan mantan Menteri Perhubungan RI Freddy Numberi.
Permintaan Havas Oegroseno tersebut agar kedua belah pihak mengimplementasikan MoU antara RI-Australia 1996 tentang Penanggulangan dan Pencagahan Tumpahan minyak di Laut serta mendorong perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP (PTT Exploration and Production) untuk bertanggungjawab.
Baca juga: Presiden diminta ambil alih kasus pencemaran laut Timor
Presiden Jokowi (kanan) saling berjabatan tangan dengan PM Australia Malcolm Turnbull, saat Kepala Negara melakukan kunjungan kerjanya ke Australia, beberapa waktu lalu (ANTARA Foto/Setpres)
Hambatan-hambatan yang dilakukan oleh Havas Oegroseno tersebut, karena dia tahu betul bahwa Montara Task Force bentukan Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan akan mengadakan pertemuan dengan PTTEP dan Deplu Australia pada 9-11 April 2018.
Pertemuan tersebut sedianya diadakan pada awal Februari 2018 guna memenuhi harapan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dalam suratnya kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir November 2017.
Ditolak Havas
Namun, dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar RI untuk Jerman, Havas Oegroseno malah mengundang CEO PTTEP untuk mengadakan rapat di Jakarta pada 23 Maret 2018 membahas bantuan sosial (CSR) dari PTTEP kepada rakyat korban pencemaran Laut Timor di NTT.
Tetapi, upaya untuk memuluskan bantuan CRS tersebut, kata Tanoni, PTTEP dan Departemen Luar Negeri Australia belum bersedia untuk mengagendakan pertemuan dengan Montara Task Force.
"Ini sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh rakyat korban pencemaran, sehingga meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil-alih urusan tersebut guna mengakhiri penderitaan panjang yang sudah 9 tahun dalam ketidakpastian ini," katanya.
Baca juga: Rakyat NTT dipecahbelah dalam kasus Montara
Meledaknya kilang minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009 (AFP Photo)
Harapan rakyat korban kepada Dubes Australia pada waktu itu agar Pemerintahan Australia secara konsisten melaksanakan pernyataannya seperti dalam suratnya Menteri Perindustrian Australia, Menteri Luar Negeri Australia dan kantor Perdana Menteri Australia yang ditujukan kepada rakyat korban, beberapa waktu lalu.
Malah, tambahnya, Duta Besar Australia Paul Grigson meminta waktu dua minggu untuk memberikan jawaban, karena harus menghubungi Canberra terlebih dahulu.
Menjelang akhir Desember 2016, Wakli Duta Besar Australia Jason Lee menemui Arif Havas Oegroseno dan menyampaikan kesediaan Pemerintah Australia untuk bekerja sama dengan Pemerintah RI dan rakyat korban guna mendorong percepatan penyelesaian kasus tumpahan minyak di Laut Timor.
Tumpahan minyak yang mencemari hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor itu, akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
Namun niat baik Australia itu, kata Tanoni, ditolak mentah-mentah oleh Havas Oegroseno yang mengancam akan membawa kasus Montara tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Hal ini baru terungkap dalam pertemuan saya dengan pejabat senior Departemen Luar Negeri Australia di Canberra pada Desember 2017," kata Tanoni.
Baca juga: Indonesia Tegas Berlakukan Moratorium Terhadap PTTEP
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (ANTARA Foto)
"Pengkhianatan terhadap rakyat korban ini, kami curiga kuat datang dari mantan Deputy I Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno yang kini telah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Jerman," kata Tanoni kepada pers di Kupang, Minggu (29/4).
Tanoni menjelaskan kecurigaan terhadap Havas Oegroseno tersebut karena sudah berulang kali menghambat proses penyelesaian kasus ini, baik yang dilakukan oleh Pemerintah daerah, Pemerintah pusat maupun Pemerintah Australia sendiri.
Ia mencontohkan, pada tanggal 2 Desember 2016, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menghadirkan Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson di kantornya untuk mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili Arif Havas Oegroseno, Pemerintah NTT diwakili Ketua BLHD Benyamin Lola dan perwakilan rakyat korban Ferdi Tanoni.
Dalam pertemuan tersebut, Havas Oegroseno menyampaikan agar Pemerintah Australia menindaklanjuti Minutes of Meeting 2010 yang ditandatangani oleh mantan Duta Besar Australia Greg Moriarty dan mantan Menteri Perhubungan RI Freddy Numberi.
Permintaan Havas Oegroseno tersebut agar kedua belah pihak mengimplementasikan MoU antara RI-Australia 1996 tentang Penanggulangan dan Pencagahan Tumpahan minyak di Laut serta mendorong perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP (PTT Exploration and Production) untuk bertanggungjawab.
Baca juga: Presiden diminta ambil alih kasus pencemaran laut Timor
Hambatan-hambatan yang dilakukan oleh Havas Oegroseno tersebut, karena dia tahu betul bahwa Montara Task Force bentukan Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan akan mengadakan pertemuan dengan PTTEP dan Deplu Australia pada 9-11 April 2018.
Pertemuan tersebut sedianya diadakan pada awal Februari 2018 guna memenuhi harapan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dalam suratnya kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir November 2017.
Ditolak Havas
Namun, dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar RI untuk Jerman, Havas Oegroseno malah mengundang CEO PTTEP untuk mengadakan rapat di Jakarta pada 23 Maret 2018 membahas bantuan sosial (CSR) dari PTTEP kepada rakyat korban pencemaran Laut Timor di NTT.
Tetapi, upaya untuk memuluskan bantuan CRS tersebut, kata Tanoni, PTTEP dan Departemen Luar Negeri Australia belum bersedia untuk mengagendakan pertemuan dengan Montara Task Force.
"Ini sebuah kondisi yang tidak diinginkan oleh rakyat korban pencemaran, sehingga meminta Presiden Joko Widodo segera mengambil-alih urusan tersebut guna mengakhiri penderitaan panjang yang sudah 9 tahun dalam ketidakpastian ini," katanya.
Baca juga: Rakyat NTT dipecahbelah dalam kasus Montara
Malah, tambahnya, Duta Besar Australia Paul Grigson meminta waktu dua minggu untuk memberikan jawaban, karena harus menghubungi Canberra terlebih dahulu.
Menjelang akhir Desember 2016, Wakli Duta Besar Australia Jason Lee menemui Arif Havas Oegroseno dan menyampaikan kesediaan Pemerintah Australia untuk bekerja sama dengan Pemerintah RI dan rakyat korban guna mendorong percepatan penyelesaian kasus tumpahan minyak di Laut Timor.
Tumpahan minyak yang mencemari hampir 90 persen wilayah perairan Indonesia di Laut Timor itu, akibat meledaknya anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
Namun niat baik Australia itu, kata Tanoni, ditolak mentah-mentah oleh Havas Oegroseno yang mengancam akan membawa kasus Montara tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Hal ini baru terungkap dalam pertemuan saya dengan pejabat senior Departemen Luar Negeri Australia di Canberra pada Desember 2017," kata Tanoni.
Baca juga: Indonesia Tegas Berlakukan Moratorium Terhadap PTTEP