Sebuah perahu kecil berayun di kolam tengah selatan Taman Soekasada Ujung, memuat beberapa anak yang terlonjak kegirangan sambil menunjuk-nunjuk Bale Kambang.

         Belakangan hari-hari di objek wisata yang dikenal dengan nama Taman Ujung, Desa Tumbu, Kecamatan/Kabupaten Karangasem, Bali, memang lebih semarak setelah disediakan perahu bagi pengunjung yang ingin mengelilingi Bale Kambang.

         "Pengunjung di Taman Ujung ini, hampir sama jumlahnya antara wisatawan lokal dan mancanegara. Namun pengunjung yang tertarik ingin naik perahu memang didominasi anak-anak. Bayar tiketnya Rp5 ribu per orang. Kalau musim libur, sampai antre lama yang mau naik perahu," ujar Nyoman Werdiastawa, salah seorang staf objek wisata Taman Ujung.

         Taman Ujung secara resmi dibuka sebagai objek wisata pada tahun 2004, setelah lebih dulu dilakukan pembangunan dan pemugaran oleh Pemerintah Provinsi Bali dan World Bank. Sebelumnya, kondisi taman memang tergolong memprihatinkan, setelah terkena lahar letusan Gunung Agung dan mengalami kehancuran pascagempa berpuluh tahun silam.

         Kini setelah proses renovasi usai, taman ini menjadi salah satu tujuan favorit di ujung timur Pulau Bali. Bahkan, hampir setiap hari ada yang melakukan sesi foto pre-wedding di taman ini. Mereka mengabadikan momen indah sebagai sepasang calon mempelai pada objek wisata penuh jejak kesejarahan, di sebuah taman raja yang indah menawan.

    
          Istana Air
         Taman Ujung dibangun pada masa pemerintahan Raja Karangasem Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem pada tahun 1919. Pembangunan taman selesai pada tahun 1926. Taman ini disebut juga sebagai Istana Air, karena memang memiliki banyak sumber mata air.

         Konsep pembangunan Taman Ujung merupakan transformasi dan perpaduan dari tiga arsitektur: Eropa, Tiongkok dan Bali, mengingat raja yang berkuasa saat itu adalah sastrawan, seniman dan sekaligus seorang arsitektur. Tak mengherankan jika bangunan di taman ini merupakan perlambang dari pemerintahan, yang diambil dari ajaran Nitisastra.

         Bangunan di taman ini mencakup Bale Kambang, Bale Kapal, Bale Lunjuk, Bale Bundar, Bale Gili, Bale Bengong, serta Pura Manikan.

         Menurut Nyoman Werdiastawa, Bale Kambang berada di tengah kolam selatan yang dihubungkan oleh satu jembatan, yang menjadi jalur penghubung keluar masuk menuju Bale Kambang.

         Pengunjung yang memasuki Bale Kambang akan melewati enam gapura, yang memiliki arti enam musuh dalam diri sesuai ajaran Hindu. Enam musuh ini dinamakan "sad ripu" yang meliputi loba, moha, kroda, mada, matsarya dan kama. Dahulu, balai ini digunakan sebagai tempat mengadili masyarakat, juga untuk mengadakan jamuan makan bagi tamu kerajaan.

         Bale Kapal adalah pintu masuk utama dari Taman Soekasada Ujung. Sebagai simbol dari pemerintahan, di mana dalam kapal terdiri dari pilot, teknisi, dan pramugari yang merupakan satu kesatuan dari kerajaan atau tim pemerintahan. Makna kapal yaitu sebuah alat atau kompas untuk mengarahkan rakyat guna mencapai kesejahteraan secara jasmani dan rohani.

         Bale Lunjuk terletak pada areal terasering sebelah barat laut taman. Bentuk dasar bangunan ini persegi empat panjang yang dihubungkan dengan anak tangga sebanyak 108. Bale Lunjuk merupakan simbol pembatasan antara jasmani di sebelah kanan, dan rohani di sebelah kiri. Bale ini dipergunakan raja untuk menikmati pemandangan, baik di taman maupun lautan yang membentang.

         "Ada juga Bale Bundar, yang mempunyak atap dan lantai berbentuk bundar. Biasa digunakan raja sebagai tempat bermeditasi. Kalau sedang mengalami kesulitan atau akan mengambil keputusan, raja melakukan meditasi untuk mendapatkan petunjuk atau jalan keluar dari Tuhan," kata Werdiastawa dengan antusias.

         Bangunan lainnya adalah Bale Gili yang berada di tengah kolam dengan dua jembatan sebagai penghubung menuju ruangan yang ada pada Bale Gili. Jika memasuki Bale Gili melalui jalur sebelah selatan melewati enam gapura yang berarti "sad guna", yakni sandhi, wigraha, yana, sasana, adwesa dan seraya. Bale Gili dipergunakan untuk tempat peristirahatan raja dan tamu-tamu penting kerajaan.
      
         Sisi timur taman ini dihiasi Patung Warak, singa dan lembu, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Patung Warak adalah simbol kebijaksanaan kesadaran, patung singa perlambang raja dan lembu ialah simbol dari rakyat. Dulu ada air mengalir dari Patung Warak dan jatuh ke kepala patung singa, kemudian mengaliri patung lembu, secara sambung-sinambung. Artinya kesadaran kebijaksanaan dan kesucian yang mengalir kepada seorang raja, akan mengalir pula pada rakyatnya.

         "Kalau Pura Manikan berada di sebelah utara taman, sebagai tempat suci umat Hindu dan tempat persembahyangan keluarga raja. Di pura ini raja menyatukan inspirasinya untuk menyusun desain pembangunan taman dan mendapatkan petunjuk suci untuk menjalankan pemerintahan," katanya.

         Dia melanjutkan, kalau diibaratkan Taman Soekasada Ujung seperti seorang raja yang sedang tidur terlentang menghadap ke arah langit. Kepalanya terletak di Pura Manikan, lehernya lurus dengan patung warak, dadanya terletak di berawa seberang Pura Manikan, dan perutnya terletak di Bale Gili, Bale Bundar, Bale Kambang dan kakinya ada di laut. Secara keseluruhan, bangunan dari pura ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

         Sementara itu, salah seorang pengunjung Taman Soekasada Ujung bernama Rusnawati menyatakan, sudah dua kali dirinya bersama keluarga berpiknik ke objek wisata ini.

         "Tiket masuk kalau pengunjung lokal Rp10 ribu. Kalau turis luar negeri Rp35 ribu. Saya senang ajak anak-anak karena tamannya luas, anak-anak bisa berlari-lari sepuasnya," ujar Rusnawati yang berasal dari Karang Sasak, di lereng Bukit Lempuyang.

         Ke depan diharapkan adanya variasi permainan agar anak-anak memiliki lebih banyak pilihan bermain di Taman Ujung. Apalagi, taman ini selain merupakan peninggalan bersejarah kerajaan, juga memiliki pemandangan yang memesona, sehingga banyak diminati orang-orang yang ingin bersantai bersama keluarga.  

*)Tri Vivi Suryani adalah penulis buku dan artikel lepas, tinggal di Bali

Pewarta : Tri Vivi Suryani
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024