Serangkaian serangan teroris di Mako Brimob Kelapa Dua Depok serta serangan bom di tiga gereja di Surabaya, Mapolresta Surabaya, rusunawa Sidoarjo, dan aksi teror di Mapolda Riau telah membuat korban berjatuhan dan luka-luka.
Muhammad Arifin Ilham, seorang pendakwah terkenal di negeri ini, melukiskan rentetan peristiwa serangan bom tersebut bukanlah jihad dan bukan pula ajaran Islam.
Islam adalah agama damai dan keselamatan sehingga lebih elok umatnya disebut muslimin, kaum para penyelamat, dan kaum yang suka damai. Kalaupun berperang, karena diperangi dan membela diri. Di sinilah jihad itu menjadi wajib.
Ustadz Arifin Ilham membagi syariat jihad menjadi dua bagian, yakni jihadul harbi, jihad perang, angkat senjata di wilayah umat Islam diperangi, seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Afrika Tengah, dan sebagainya.
Itu pun dengan adab perang mulia, tidak boleh merusak tempat ibadah manusia, membunuh anak-anak, para wanita, dan orang tua yang tidak berperang, seperti dilukiskan dalam sabda Rasulullah "Janganlah kamu berkhianat, janganlah kamu melakukan sadisme pada musuh, jangan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua".
Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang Pancasilais ini? Bagi ustadz Arifin Ilham yang harus dilakukan adalah jihad dakwah, baik lisan maupun tulisan sebagai medan dakwah umat Islam.
Rasulullah kemudian mengibaratkan seorang mukmin kannahli seperti lebah yang mengeluarkan madu (berakhlak mulia, bicara santun). Kalau lebah hinggap, tidak merusak, bahkan menyuburkan (tidak merusak, bukan teroris, malah membawa kebaikan). Lebah dilukiskan sangat kompak (ukhuwah persaudaraan seimannya kuat).
Baca juga: MUI NTT mengutuk tindakan teroris di Surabaya
Serangan teroris di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5) pagi (ANTARA Foto)
Jika lebah disakiti, lebah bersatu membelanya (punya izzah, sangat ditakuti lawan). Kalau ada lebah makan yang kotor, para lebah bersatu mengusirnya (terjaga dari pengkhianat), dan sengatan lebah pun menjadi obat (jihad pun berdampak positif). Subhanallah betapa indah dan mulianya akhlak seorang mukmin itu.
Beberapa saat setelah aksi serangan bom terhadap tiga gereja di Surabaya, Pemimpin Gereja Katolik Roma sedunia Paus Fransiskus menyampaikan duka atas tragedi bom bunuh diri yang terjadi di Kota Pahlawan Surabaya itu.
Menjelang doa Regina Caeli atau Ratu Surga di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Paus Fransiskus mendoakan para korban dan orang-orang yang mereka cintai di hadapan ribuan umat yang berkumpul.
"Kepada masyarakat Indonesia terkasih, terutama untuk komunitas Kristiani di Kota Surabaya, yang sangat menderita oleh serangan fatal terhadap rumah ibadah, saya melambungkan doa untuk para korban dan keluarga," katanya.
Ia juga mengajak umat untuk menebarkan cinta kasih dan pengampunan. "Bersama-sama, marilah kita memohon kepada Allah Sang Damai, supaya menghentikan kekerasan ini. Di hati semua orang, tidak ada perasaan kebencian dan kekerasan, tetapi rekonsiliasi dan persaudaraan," ujar Paus asal Argentina itu.
Tiga bom mengguncang tiga gereja di Surabaya, lokasi pertama di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel. Teror kedua terjadi di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan ketiga berada di Gereja Pentakosta Pusat Surabaya di Arjuna.
Presiden Joko Widodo langsung terbang ke Surabaya untuk melihat situasi di lapangan serta korban serangan bom pada sejumlah rumah sakit, untuk memastikan bahwa negara akan menanggung biaya pengobatan bagi korban ledakan bom.
Baca juga: Jenazah anggota Brimob korban penusukan teroris tiba di Kupang
Serangan teroris di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5) pagi. (ANTARA Foto)
Komando Opsusgab
Serangan bom adalah sebuah tindakan biadab yang tidak berperikemanusiaan, sehingga menuntut pemerintah untuk membentuk kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Opsusgab) dalam rangka penanggulangan terorisme di Tanah Air.
Satuan teror tersebut akan diisi prajurit-prajurit terpilih dari satuan-satuan antiteror Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, dan Satbravo TNI AU.
"Saya sudah diskusikan masalah ini dengan Presiden (Joko Widodo) dan beliau sangat tertarik, sangat mungkin akan dihidupkan kembali," kata Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Meski TNI sudah memiliki Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC), namun pembentukan satuan tersebut dianggap tetap dibutuhkan. "Pembentukan itu dalam situasi dan kondisi global saat ini sungguh diperlukan," kata mantan Panglima TNI tersebut.
Apalagi, menurut Moeldoko, PPRC butuh waktu untuk bisa diterjunkan dengan cepat. Berbeda dengan Komando Operasi Khusus Gabungan yang khusus untuk menangani kondisi teror.
"Begitu ada kejadian, kita proyeksikan prajurit ke sana dengan mudah bisa mengatasi. Pasukan itu disiapkan dalam tempo yang secepat-cepatnya, bisa digeser," katanya.
Komando Operasi Khusus Gabungan tersebut pernah dibentuk oleh Moeldoko saat menjabat sebagai Panglima TNI. Pasukan itu berjumlah 90 orang dari prajurit-prajurit terpilih dari satuan-satuan antiteror yang dimiliki oleh pasukan khusus di tiga matra TNI.
Baca juga: Kapolda Ingatkan Kepala Daerah Deteksi Dini Terorisme
Mantan Panglima TNI Jenderal Purn Moeldoko (ANTARA Foto)
Satuan khusus tersebut dibentuk sebagai salah satu wujud kesiapsiagaan TNI dalam menanggulangi ancaman teroris. Pasukan khusus antiteror bersifat stand by forces sehingga bisa digerakkan kapan saja.
Merajalelanya aksi teror di Tanah Air dewasa ini, tampaknya sebagai akibat dari belum disahkannya RUU Antiteror menjadi UU oleh DPR. Moeldoko juga mengeritik keras atas sikap lamban parlemen yang belum mau menngesahkan RUU Antiteror menjadi UU.
"Penambahan motif politik dan motif ideologi dalam definisi terorisme jelas akan memperlemah bobot UU Terorisme itu sendiri, padahal RUU Antiteror itu menyisakan satu persoalan yaitu definisi. Ini luar biasa. Membuat saya semakin bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan definisi," kata Moeldoko.
Yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan/atau fasilitas internasional.
Definisi itu sudah tercantum dalam draf awal RUU tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Ketua Komisi III DPR Abdul Kadir Karding mengakui bahwa ada keinginan untuk mengubah definisi itu dengan menambahkan motif politik" dan "motif ideologi".
Jadi, dengan kata lain, sebuah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut baru masuk kategori tindak pidana terorisme bila ditemukan motif politik dan motif ideologi dalam aksi mereka.
Penambahan motif politik dan motif ideologi dalam definisi terorisme itu tampaknya hanya untuk memperlemah bobot UU Terorisme itu, karena sulit bagi siapapun untuk membuktikan motif politik dan motif ideologi dalam aksi terorisme tersebut.
Baca juga: Militer Perlu Dilibatkan Berantas Teroris
Serangan teroris di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5) pagi. (ANTARA Foto)
Sebab, penegakan hukum yang dilakukan polisi didasarkan pada alat bukti. Bagaimana membuktikannya? Kalau polisi tidak dapat membuktikan motif itu, bisa-bisa seluruh narapidana terorisme yang ada saat ini, lepas dari jerat pidana terorisme.
Maka, untuk mengantisipasinya, pemerintah memandang penting untuk membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan dalam upaya menumpas bahaya terorisme di Indonesia yang kian meresahkan dan menimbulkan korban jiwa manusia tak berdosa.
Muhammad Arifin Ilham, seorang pendakwah terkenal di negeri ini, melukiskan rentetan peristiwa serangan bom tersebut bukanlah jihad dan bukan pula ajaran Islam.
Islam adalah agama damai dan keselamatan sehingga lebih elok umatnya disebut muslimin, kaum para penyelamat, dan kaum yang suka damai. Kalaupun berperang, karena diperangi dan membela diri. Di sinilah jihad itu menjadi wajib.
Ustadz Arifin Ilham membagi syariat jihad menjadi dua bagian, yakni jihadul harbi, jihad perang, angkat senjata di wilayah umat Islam diperangi, seperti di Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Afrika Tengah, dan sebagainya.
Itu pun dengan adab perang mulia, tidak boleh merusak tempat ibadah manusia, membunuh anak-anak, para wanita, dan orang tua yang tidak berperang, seperti dilukiskan dalam sabda Rasulullah "Janganlah kamu berkhianat, janganlah kamu melakukan sadisme pada musuh, jangan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua".
Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang Pancasilais ini? Bagi ustadz Arifin Ilham yang harus dilakukan adalah jihad dakwah, baik lisan maupun tulisan sebagai medan dakwah umat Islam.
Rasulullah kemudian mengibaratkan seorang mukmin kannahli seperti lebah yang mengeluarkan madu (berakhlak mulia, bicara santun). Kalau lebah hinggap, tidak merusak, bahkan menyuburkan (tidak merusak, bukan teroris, malah membawa kebaikan). Lebah dilukiskan sangat kompak (ukhuwah persaudaraan seimannya kuat).
Baca juga: MUI NTT mengutuk tindakan teroris di Surabaya
Beberapa saat setelah aksi serangan bom terhadap tiga gereja di Surabaya, Pemimpin Gereja Katolik Roma sedunia Paus Fransiskus menyampaikan duka atas tragedi bom bunuh diri yang terjadi di Kota Pahlawan Surabaya itu.
Menjelang doa Regina Caeli atau Ratu Surga di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Paus Fransiskus mendoakan para korban dan orang-orang yang mereka cintai di hadapan ribuan umat yang berkumpul.
"Kepada masyarakat Indonesia terkasih, terutama untuk komunitas Kristiani di Kota Surabaya, yang sangat menderita oleh serangan fatal terhadap rumah ibadah, saya melambungkan doa untuk para korban dan keluarga," katanya.
Ia juga mengajak umat untuk menebarkan cinta kasih dan pengampunan. "Bersama-sama, marilah kita memohon kepada Allah Sang Damai, supaya menghentikan kekerasan ini. Di hati semua orang, tidak ada perasaan kebencian dan kekerasan, tetapi rekonsiliasi dan persaudaraan," ujar Paus asal Argentina itu.
Tiga bom mengguncang tiga gereja di Surabaya, lokasi pertama di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel. Teror kedua terjadi di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan ketiga berada di Gereja Pentakosta Pusat Surabaya di Arjuna.
Presiden Joko Widodo langsung terbang ke Surabaya untuk melihat situasi di lapangan serta korban serangan bom pada sejumlah rumah sakit, untuk memastikan bahwa negara akan menanggung biaya pengobatan bagi korban ledakan bom.
Baca juga: Jenazah anggota Brimob korban penusukan teroris tiba di Kupang
Serangan bom adalah sebuah tindakan biadab yang tidak berperikemanusiaan, sehingga menuntut pemerintah untuk membentuk kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Opsusgab) dalam rangka penanggulangan terorisme di Tanah Air.
Satuan teror tersebut akan diisi prajurit-prajurit terpilih dari satuan-satuan antiteror Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, dan Satbravo TNI AU.
"Saya sudah diskusikan masalah ini dengan Presiden (Joko Widodo) dan beliau sangat tertarik, sangat mungkin akan dihidupkan kembali," kata Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Meski TNI sudah memiliki Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC), namun pembentukan satuan tersebut dianggap tetap dibutuhkan. "Pembentukan itu dalam situasi dan kondisi global saat ini sungguh diperlukan," kata mantan Panglima TNI tersebut.
Apalagi, menurut Moeldoko, PPRC butuh waktu untuk bisa diterjunkan dengan cepat. Berbeda dengan Komando Operasi Khusus Gabungan yang khusus untuk menangani kondisi teror.
"Begitu ada kejadian, kita proyeksikan prajurit ke sana dengan mudah bisa mengatasi. Pasukan itu disiapkan dalam tempo yang secepat-cepatnya, bisa digeser," katanya.
Komando Operasi Khusus Gabungan tersebut pernah dibentuk oleh Moeldoko saat menjabat sebagai Panglima TNI. Pasukan itu berjumlah 90 orang dari prajurit-prajurit terpilih dari satuan-satuan antiteror yang dimiliki oleh pasukan khusus di tiga matra TNI.
Baca juga: Kapolda Ingatkan Kepala Daerah Deteksi Dini Terorisme
Merajalelanya aksi teror di Tanah Air dewasa ini, tampaknya sebagai akibat dari belum disahkannya RUU Antiteror menjadi UU oleh DPR. Moeldoko juga mengeritik keras atas sikap lamban parlemen yang belum mau menngesahkan RUU Antiteror menjadi UU.
"Penambahan motif politik dan motif ideologi dalam definisi terorisme jelas akan memperlemah bobot UU Terorisme itu sendiri, padahal RUU Antiteror itu menyisakan satu persoalan yaitu definisi. Ini luar biasa. Membuat saya semakin bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan definisi," kata Moeldoko.
Yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan/atau fasilitas internasional.
Definisi itu sudah tercantum dalam draf awal RUU tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Ketua Komisi III DPR Abdul Kadir Karding mengakui bahwa ada keinginan untuk mengubah definisi itu dengan menambahkan motif politik" dan "motif ideologi".
Jadi, dengan kata lain, sebuah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut baru masuk kategori tindak pidana terorisme bila ditemukan motif politik dan motif ideologi dalam aksi mereka.
Penambahan motif politik dan motif ideologi dalam definisi terorisme itu tampaknya hanya untuk memperlemah bobot UU Terorisme itu, karena sulit bagi siapapun untuk membuktikan motif politik dan motif ideologi dalam aksi terorisme tersebut.
Baca juga: Militer Perlu Dilibatkan Berantas Teroris
Maka, untuk mengantisipasinya, pemerintah memandang penting untuk membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan dalam upaya menumpas bahaya terorisme di Indonesia yang kian meresahkan dan menimbulkan korban jiwa manusia tak berdosa.