Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Paru Konsultan Onkologi dan Anggota Pokja Onkologi Toraks PDPI, Dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K), mengatakan orang-orang yang berisiko tinggi terkena kanker paru sebaiknya segera melakukan pemeriksaan skrining atau deteksi dini guna mencegah kejadian kanker stadium lanjut.
“Bulan ini bertepatan dengan Lung Cancer Awareness Month. Saya mengajak seluruh masyarakat untuk peduli kanker paru, artinya ada tindakan skrining dan tindakan deteksi dini kanker paru,” kata Sita dalam webinar “Urgensi Pasien Kanker Paru Terhadap Akses Pengobatan Inovatif” pada Selasa, (23/11).
Sita mengatakan orang berisiko tinggi terkena kanker paru di antaranya laki-laki di atas 45 tahun, perokok maupun yang sudah berhenti merokok kurang dari 10 tahun, perokok pasif, memiliki riwayat genetik, serta riwayat fibrosis paru.
Selain itu, para pekerja di pertambangan, pabrik semen, pabrik kaca, atau jenis pekerjaan lain yang berpotensi menghirup paparan silika juga perlu memeriksakan kondisi paru-parunya.
“Kalau belum ada gejala maka skrining atau periksakan diri. Kalau ada gejala seperti batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, yang belum membaik dalam dua minggu, segera rujuk untuk CT scan torax untuk deteksi dini kanker paru,” ujarnya.
Sita juga mengimbau agar pasien tetap waspada apabila hasil pemeriksaan menunjukkan negatif tuberculosis, sebab kemungkinan kanker paru masih tetap ada.
“Deteksi dini kanker paru juga harus bersamaan dengan deteksi tuberculosis supaya dapat ditemukan lebih awal dan wajib dirujuk untuk dilakukan CT scan,” ujarnya.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. Erlang Samoedro, Sp.P(K), FISR, mengatakan hingga saat ini tingkat skrining untuk deteksi dini di Indonesia belum merata dan menyeluruh karena masih terpusat di kota-kota besar dan belum menyentuh ke daerah terpencil.
“Beberapa modalitas seperti kemoterapi, terapi target, radioterapi bahkan hanya ada di kota-kota besar yang mungkin akses masyarakat yang di daerah perifer agak sulit,” ujarnya.
Elang juga menggaris bawahi pentingnya pemerataan akses pengobatan kanker paru mengingat saat ini hanya penderita kanker paru tipe EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) positif saja yang masuk dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sementara itu, Sita menyebutkan bahwa tata laksana diagonisis, biopsi, serta beberapa tindakan pengobatan kanker paru memang telah ter-cover oleh BPJS, namun untuk ALK (Anaplastic Lymphoma Kinase) positif, ROS1 positif, serta imunoterapi belum ter-cover oleh BPJS.
“Mungkin ke depan kami mengharapkan pemerintah untuk bisa lebih memperhatikan supaya bisa ter-cover obat-obatan tersebut,” tuturnya.
Ia juga berharap adanya keterbukaan akses yang lebih banyak terhadap obat-obatan generik untuk terapi target maupun untuk imunoterapi sehingga dapat memudahkan untuk proses terapi bagi penyintas kanker paru.
Baca juga: Pentingnya memahami bahaya kanker prostat
Baca juga: Rendahnya skrining tantangan penanganan kanker di Indonesia
“Bulan ini bertepatan dengan Lung Cancer Awareness Month. Saya mengajak seluruh masyarakat untuk peduli kanker paru, artinya ada tindakan skrining dan tindakan deteksi dini kanker paru,” kata Sita dalam webinar “Urgensi Pasien Kanker Paru Terhadap Akses Pengobatan Inovatif” pada Selasa, (23/11).
Sita mengatakan orang berisiko tinggi terkena kanker paru di antaranya laki-laki di atas 45 tahun, perokok maupun yang sudah berhenti merokok kurang dari 10 tahun, perokok pasif, memiliki riwayat genetik, serta riwayat fibrosis paru.
Selain itu, para pekerja di pertambangan, pabrik semen, pabrik kaca, atau jenis pekerjaan lain yang berpotensi menghirup paparan silika juga perlu memeriksakan kondisi paru-parunya.
“Kalau belum ada gejala maka skrining atau periksakan diri. Kalau ada gejala seperti batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, yang belum membaik dalam dua minggu, segera rujuk untuk CT scan torax untuk deteksi dini kanker paru,” ujarnya.
Sita juga mengimbau agar pasien tetap waspada apabila hasil pemeriksaan menunjukkan negatif tuberculosis, sebab kemungkinan kanker paru masih tetap ada.
“Deteksi dini kanker paru juga harus bersamaan dengan deteksi tuberculosis supaya dapat ditemukan lebih awal dan wajib dirujuk untuk dilakukan CT scan,” ujarnya.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. Erlang Samoedro, Sp.P(K), FISR, mengatakan hingga saat ini tingkat skrining untuk deteksi dini di Indonesia belum merata dan menyeluruh karena masih terpusat di kota-kota besar dan belum menyentuh ke daerah terpencil.
“Beberapa modalitas seperti kemoterapi, terapi target, radioterapi bahkan hanya ada di kota-kota besar yang mungkin akses masyarakat yang di daerah perifer agak sulit,” ujarnya.
Elang juga menggaris bawahi pentingnya pemerataan akses pengobatan kanker paru mengingat saat ini hanya penderita kanker paru tipe EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) positif saja yang masuk dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sementara itu, Sita menyebutkan bahwa tata laksana diagonisis, biopsi, serta beberapa tindakan pengobatan kanker paru memang telah ter-cover oleh BPJS, namun untuk ALK (Anaplastic Lymphoma Kinase) positif, ROS1 positif, serta imunoterapi belum ter-cover oleh BPJS.
“Mungkin ke depan kami mengharapkan pemerintah untuk bisa lebih memperhatikan supaya bisa ter-cover obat-obatan tersebut,” tuturnya.
Ia juga berharap adanya keterbukaan akses yang lebih banyak terhadap obat-obatan generik untuk terapi target maupun untuk imunoterapi sehingga dapat memudahkan untuk proses terapi bagi penyintas kanker paru.
Baca juga: Pentingnya memahami bahaya kanker prostat
Baca juga: Rendahnya skrining tantangan penanganan kanker di Indonesia