Kupang (ANTARA) - Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami musim kemarau yang berlangsung sekitar 8-9 bulan dalam setahun, sedangkan musim hujan berlangsung 3-4 bulan.

Saban tahun, masyarakat di provinsi bercirikan kepulauan itu pun kerap menghadapi ancaman kekeringan ekstrem yang mengakibatkan rawan pangan, gagal tanam, krisis air, hingga peristiwa kebakaran lahan atau hutan.

Dengan karakteristik musim itu maka tak heran jika provinsi yang terdiri dari 22 kabupaten/kota dikenal sebagai daerah kering atau gersang oleh karena terpapar sinar matahari yang lama dalam setahun.

Namun, ciri khas musim ini di sisi lain menjadikan NTT sebagai daerah dengan potensi kekayaan Energi Baru Terbarukan (EBT) melimpah yang bersumber dari sinar matahari atau energi surya.

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat menganggap kemarau yang panjang adalah sebuah berkah bagi provinsi yang berada di wilayah selatan Negara Kesatuan Republik Indneonesia (NKRI) itu.

"NTT dikarunia oleh Tuhan dengan potensi energi matahari yang luar biasa hebat," ujar Laiskodat.

Ia mengklaim berdasarkan riset Bank Dunia, tingkat radiasi matahari tertinggi di Indonesia berada pada dua pulau di NTT yaitu Pulau Timor dan Pulau Sumba.

Potensi energi ini, menurut dia, tidak boleh didiamkan begitu saja, namun harus dikembangkan secara optimal untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Pengembangan energi surya di NTT sejatinya sudah berjalan melalui proyek-proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari PT PLN (Persero) maupun yang dibangun pihak swasta.

Sebuah mega proyek juga tengah dipersiapkan di Pulau Sumba yaitu pembangunan PLTS 2 Giga Watt (GW) yang sudah dibahas Pemerintah Provinsi NTT bersama PT GSE dan Sungrow.

Proyek ini digadang akan menjadi pionir pengembangan ekonomi hijau di Tanah Air. Per Oktober 2021 lalu, rencana pembangunan tersebut sudah berada dalam tahap studi kelayakan.

Jika terealisasi, maka diharapkan proyek ini dapat mendukung pencapaian target bauran EBT Indonesia sesuai dengan Perjanjian Paris 2015 yang ikut ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Di sisi lain, proyek energi listrik yang hasilnya diperkirakan dapat dipasok untuk NTT hingga Nusa Tenggara Barat dan Bali ini akan meringankan tarif listrik dan beban subsidi negara ke PLN.

Gubernur Laiskodat pun mengajak berbagai pihak untuk mengambil peran membangun NTT melalui investasi EBT.

Selain energi surya, NTT juga memiliki beragam potensi energi hijau lain seperti angin, panas bumi, biomassa, hingga arus laut sehingga peluang investasi sangat potensial.

Pengembangan PLTS

Upaya pemanfaatan potensi energi surya di NTT terus berkembang dari waktu ke waktu melalui proyek PLTS terpusat (komunal) yang dibangun PT PLN (Persero).

Hingga Februari 2022, tercatat sebanyak 28 titik PLTS yang sudah dibangun dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang tersebar di Pulau Flores yaitu Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai Timur, Manggarai, Ende, Sikka.

Selain itu di Kabupaten Alor, Kabupaten Rote Ndao, serta Pulau Sumba yakni di Sumba Timur dan Sumba Tengah dengan jumlah keseluruhan energi listrik yang dihasilkan sebesar 6.890 killoWatt peak (kWp).

Baca juga: Artikel - Tak masalah Pemilu 2024 diselenggarakan pada bulan apa saja

Pengembangan PLTS di NTT tidak hanya sebagai komitmen mewujudkan bauran EBT, namun juga merupakan pilihan terbaik untuk menjawab kebutuhan listrik bagi masyarakat di wilayah dengan kondisi geografis yang masih sulit dijangkau.

General Manager PLN Unit Induk Wilayah NTT Agustinus Jatmiko menuturkan pengembangan PLTS menyasar desa-desa di wilayah pelosok atau pulau-pulau kecil yang tidak bisa terhubung dengan jaringan listrik PLN yang eksisting.

"PLTS adalah pilihan terbaik karena potensinya tersedia cukup merata di berbagai daerah," katanya.

Ia menyebutkan salah satu contoh seperti pemanfaatan PLTS untuk menjawab kebutuhan listrik bagi 106 kepala keluarga di Pulau Salura, Kabupaten Sumba Timur.

Pulau Salura merupakan pulau terpencil yang berada di selatan Pulau Sumba dengan jarak tempuh sekitar delapan jam menggunakan perahu motor dari ibu kota kabupaten.

Agustinus mengatakan pihaknya berkomitmen untuk terus mendukung optimalisasi energi hijau di NTT menuju terwujudnya target pemerintah akan bauran EBT di Tanah Air sebesar 23 persen pada 2025.

Di sisi lain, pengembangan EBT juga menjadi langkah strategis untuk mewujudkan rasio elektrifikasi 100 persen di NTT dari posisi saat ini sekitar 88 persen.

Pemanfaatan

Proyek PLTS yang sudah dibangun di wilayah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal) di NTT merupakan jawaban atas kerinduan masyarakat menikmati penerangan listrik. Salah satunya yang dialami masyarakat di Desa Kakabanda, Kabupaten Sumba Timur.

Sebelum kehadiran PLTS, masyarakat setempat Desa Kakabanda mengandalkan lampu pelita sebagai sumber penerangan.

Baca juga: Artikel - Upaya sederhana selamatkan hutan dan lingkungan

Pemanfaatan lampu pelita memang tidak efektif karena selain tidak menghasilkan terang yang tidak optimal serta menghasilkan asap dari pembakaran tali sumbu.

"Kini masyarakat kami lagi bergumul dengan lampu pelita tetapi sudah ada lampu dari PLTS," kata Kepala Desa Kakabanda Umbu Ndamung Kilimandu.

Ia mengatakan pemanfaatan listrik PLTS adalah sebuah loncatan besar yang diharapkan dapat menggerakkan sektor pembangunan seperti perekonomian, pendidikan, menuju kesejahteraan masyarakat desa.

Pemanfaatan potensi energi surya di NTT kini terus berkembang seiring dengan tuntutan global terkait penggunaan energi hijau berkelanjutan yang juga menjadi topik utama KTT G20 2022 di Indonesia.

NTT saat ini sedang bergerak ke arah itu dan ketika berbagai potensi kekayaan EBT dapat dikembangkan secara optimal maka niscaya NTT akan menjadi daerah penghasil EBT terbesar di Tanah Air.

Pewarta : Aloysius Lewokeda
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024