Kupang (ANTARA) - "Setelah enam tahun berlalu, para petani yang dulunya menjadi buru tani lebih memilih berubah haluan sebagai majikan. Kehidupan mereka sudah cukup bagus karena lahan pertanian mereka digarap secara optimal hingga mampu memberikan hasil.

Demikian diutarakan Ketua Kelompok Tani Bayolewun, Desa Tuwagetobi, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamilus Tupen Jumat (58) dalam sebuah perbincangan pagi itu.

Tuwagetobi adalah sebuah desa kecil di kaki Gunung Ile Boleng yang membentang di bagian timur Pulau Adonara. Desa itu dihuni masyarakat petani yang menggarap lahan di lembah gunung hingga ke sekitar pesisir pantai timur.

Di desa itu lah sebuah tradisi bekerja bersama-sama atau gotong royong yang dalam bahasa daerah disebut Gemohing terpelihara. Bahkan, pengamalan nilai tradisi warisan leluhur itu yang membawa petani keluar kesulitan hidup di tengah lahan kering yang menjadi momok.

Tupen Jumat menurutkan, titik balik perubahan nasib para petani terjadi mulai Maret 2010, ketika Kelompok Tani Bayolewun terbentuk dengan beranggotakan sebanyak 70 orang warga desa setempat.

Kelompok tani itu menerapkan pendekatan baru dalam menjalankan tradisi Gemohing dari sebelumnya yang hanya berlandaskan rasa kekeluargaan dan tanpa pamrih menjadi sebuah tradisi yang mampu memberikan manfaat secara nyata dalam memperbaiki kualitas hidup petani.

"Jadi nilai saling bahu-membahu dalam Gemohing itu tetap terpelihara namun di sisi lain, ada pendapatan yang diterima petani untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka," katanya.

Pendapatan tersebut diperoleh dari sebuah sistem kerja yang diterapkan Kelompok Tani Bayolewun yaitu simpan-pinjam tenaga kerja.

Tupen Jumat menjelaskan, dalam sistem kerja itu, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan menginvestasikan waktu dan tenaga untuk membantu anggota lainnya dalam menggarap lahan pertanian untuk persiapan menanam.

Anggota kelompok yang lahannya digarap, berperan sebagai majikan yang membiayai petani lain sesuai harga yang disepakati bersama menggunakan dana pinjaman dari kelompok tani.

Misalnya upah sekali kerjaRp50 ribu per orang, sedangkan kebutuhan tenaga kerja sebanyak 10 orang maka, kelompok memberikan pinjaman Rp500 ribu kepada anggota tersebut untuk membayar upah pekerja.

Petani yang berperan sebagai buruh bisa mendapatkan upah dalam bentuk uang tunai atau pun disimpan dalam buku anggota di kelompok tersebut.

Sementara itu, pembayaran kembali dana pinjaman, dapat dilakukan dengan uang tunai maupun dengan menggunakan jasa tenaga yang dihitung saat peminjam kembali berperan sebagai buruh untuk menggarap lahan pertanian anggota lain.

"Hari ini seorang petani bisa jadi buruh, besok jadi majikan, dan seterusnya sehingga mereka pun menjalankannya dengan senang hati karena semua mendapatkan kesempatan yang sama," katanya.

Seiring perjalanan waktu, penerapan cara kerja itu telah menunjukkan hasil yang bagus yang ditandai dengan tidak ada lagi lahan tidur yang dimiliki anggota kelompok karena sudah diolah dan dimanfaatkan.

Salah satu masalah sosial di desa, kata dia yaitu kesulitan warga desa yang pulang dari tempat perantauan untuk kembali bercocok tanam pun bisa teratasi karena mereka memiliki lahan garapan untuk memenuhi kebutuhan hidup

Manfaat secara nyata dirasakan para petani ini pun menarik minat para petani lain di desa sekitar untuk mendaftarkan diri sebagai anggota Kelompok Tani Bayolewun.

Setelah setahun berjalan, jumlah keanggotaan kelompok meningkat pesat mencapai 350 orang di 2011.

Pemasaran

Setelah semua anggota kelompok memiliki lahan produktif dan menghasilkan berbagai jenis komoditi seperti mete, jagung, kacang, pihaknya pun melakukan pemasaran secara bersama.

Pada tahap ini, Kelompok Tani Bayolewun berganti nama menjadi Jaringan Bayolewun yang terus bertahan hingga saat ini.

Dalam jaringan ini, semua anggota juga bermusyawarah untuk menyepakati bagaimana memasarkan hasil pertanian termasuk besaran nilai harga jual.

"Ketika disepakati harga jagung misalnya Rp4.000/kilo untuk pipil maka semua wajib mentaati itu. Bisa dijual masing-masing atau pun dibawa ke kami untuk dijual bersama," katanya.

Dengan Jaringan Bayolewun ini maka ketika komoditas tertentu di satu desa mengalami kekurangan persediaan maka akan dipasok oleh petani dari desa lainnya.

Proses pemasaran komoditi pertanian juga didukung pemerintah kabupaten setempat melalui pelaksanaan pasar murah.

Hasil pertanian seperti jagung dari Jaringan Bayolewun juga dipasok untuk program pasar murah dari pemerintah daerah.

Tupen Jumat mengatakan sejauh ini, pasokan komoditas pertanian dari jaringan tersebut diutamakan untuk memenuhi kebutuhan lokal masyarakat di Pulau Adonara.


Dukungan

Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli mengapresiasi konsep pertanian yang dijalankan Kelompok Tani Bayolewun yang telah berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan petani.

"Saya sangat mendukung apa yg dimotori Pak Kamilus terkait Gemohing ini karena setiap perubahan termasuk pertanian sejatinya memang harus di kerjakan secara bersama," katanya.

Ia terus mendorong agar tradisi Gemohong terus dirawat di tengah masyarakat melalui istilah bahasa lokal etnis Lamaholot yang sering kali ia sampaikan yaitu "hama-hama tutu marin umeng lamak lewotana, hama-hama ola mang, here tuak, ola di ehin, here di wain taan ribhun rekan bohu, rathun renu sebha".

Konsep pertanian berbasis budaya Lamaholot berupa Gemohing ini menjadi kekuatan utama dalam menghadapi masalah-masalah pertanian di zaman kekinian.

Agustinus mengajak generasi muda di daerah itu agar jangan malu menjadi petani berani masuk kebun dan bertani dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru bidang pertanian dengan tetap tetap berbasis Gemohing.

"Kita memiliki warisan tradisi Gemohing yang sangat mulia yang jika terus kita rawat dan terapkan maka kemajuan pembangunan daerah bisa bergerak dengan cepat," katanya.

Tradisi Gemohing yang dijalankan petani di Pulau Adonara merupakan salah satu contoh yang membuktikan bahwa nilai kearifan lokal memainkan peranan penting dalam mendorong kemajuan pembangunan suatu daerah.

Nilai kearifan lokal ini tentu akan bisa tetap bertahan di tengah perubahan zaman yang pesat jika tetap diwariskan dan dijalankan oleh setiap generasi penerus.


Baca juga: Ketua DPD RI perjuangkan penetapan Hari Kebudayaan dan Kearifan Lokal Nasional

Baca juga: Konsumsi Ubi Hutan Bagian Kearifan Lokal

Pewarta : Aloysius Lewokeda
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024