Kupang (Antara NTT) - Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya mengatakan konsumsi ubi hutan tidak secara gamblang dikatakan akibat kondisi rawan pangan melainkan sebagai bagian kearifan adat dan budaya lokal masyarakat setempat.
"Ubi hutan di NTT itu bagian dari adat dan budaya masyarakat yang ada di wilayah itu," katanya kepada wartawan di Kupang, Senin.
Ia mengatakan hal itu terkait informasi yang menyebar di masyarakat bahwa kondisi rawan pangan yang melanda provinsi itu akibat kekeringan membuat masyarakat terpaksa mengonsumsi ubi hutan bahkan yang mengandung racun.
Ia mencontohkan, informasi yang didapatnya bahwa seorang anak warga di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, yang diberitakan meninggal setelah mengonsumi ubi hutan.
Namun, lanjutnya, setelah ditelusuri ternyata hal itu berkaitan dengan urusan adat. "Keluarga itu sebenarnya sampai sekarang belum bisa mengonsumsi ubi hutan karena ada urusan adat yang belum diselesaikan," ujarya.
"Jadi, kematian anak itu terkait dengan adat, bukan karena mengkonsumsi ubi hutan, tapi terkena diare dan sesak napas," katanya.
Gubernur Lebu Raya menjelaskan, masyarakat di daerah itu secara turun-temurun dari leluhur memiliki tradisi memanen ubi hutan dalam jadwal tertentu setiap tahun.
"Masyarakat bahkan bilang kalau keracunan, mereka tahu bagaimana harus mengatasi racun itu. Itu yang dibilang masyarakat sendiri," katanya.
Hal yang sama, lanjutnya, juga disampaikan masyarakat di daerah lain seperti di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, yang memiliki tradisi memanen dan mengonsumsi ubi hutan setiap tahun.
Menurutnya, kadang-kadang masyarakat yang mendengar cerita mengenai konsumsi ubi hutan langsung berpikiran bahwa mereka sudah kehabisan pangan.
"Asosiasi pikiran yang muncul seoal-olah semua sudah mau meninggal karena kelaparan di sana padahal tidak demikian, karena itu bagian dari adat dan tradisi masyarakat," katanya.
Gubenur Lebu Raya mengakui sebagian besar daerah di provinsi itu telah mengeluhkan kekeringan yang berdampak pada kondisi rawan pangan.
Untuk mengatasinya, katanya, pemeritah provinsi maupun kabupaten tetap menyediakan beras cadangan yang sewaktu-waktu dapat disalurkan untuk masyakat dalam mengahadapi rawan pangan.
"Ada cadangan beras yang disediakan pemerintah seperti dari bupati sekitar 100 ton, sementara kewenangan gubernur ada 200 ton yang dapat disalurkan setiap saat ke lapangan ketika terjadi rawan pangan," demikian Gubernur Lebu Raya.
"Ubi hutan di NTT itu bagian dari adat dan budaya masyarakat yang ada di wilayah itu," katanya kepada wartawan di Kupang, Senin.
Ia mengatakan hal itu terkait informasi yang menyebar di masyarakat bahwa kondisi rawan pangan yang melanda provinsi itu akibat kekeringan membuat masyarakat terpaksa mengonsumsi ubi hutan bahkan yang mengandung racun.
Ia mencontohkan, informasi yang didapatnya bahwa seorang anak warga di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, yang diberitakan meninggal setelah mengonsumi ubi hutan.
Namun, lanjutnya, setelah ditelusuri ternyata hal itu berkaitan dengan urusan adat. "Keluarga itu sebenarnya sampai sekarang belum bisa mengonsumsi ubi hutan karena ada urusan adat yang belum diselesaikan," ujarya.
"Jadi, kematian anak itu terkait dengan adat, bukan karena mengkonsumsi ubi hutan, tapi terkena diare dan sesak napas," katanya.
Gubernur Lebu Raya menjelaskan, masyarakat di daerah itu secara turun-temurun dari leluhur memiliki tradisi memanen ubi hutan dalam jadwal tertentu setiap tahun.
"Masyarakat bahkan bilang kalau keracunan, mereka tahu bagaimana harus mengatasi racun itu. Itu yang dibilang masyarakat sendiri," katanya.
Hal yang sama, lanjutnya, juga disampaikan masyarakat di daerah lain seperti di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, yang memiliki tradisi memanen dan mengonsumsi ubi hutan setiap tahun.
Menurutnya, kadang-kadang masyarakat yang mendengar cerita mengenai konsumsi ubi hutan langsung berpikiran bahwa mereka sudah kehabisan pangan.
"Asosiasi pikiran yang muncul seoal-olah semua sudah mau meninggal karena kelaparan di sana padahal tidak demikian, karena itu bagian dari adat dan tradisi masyarakat," katanya.
Gubenur Lebu Raya mengakui sebagian besar daerah di provinsi itu telah mengeluhkan kekeringan yang berdampak pada kondisi rawan pangan.
Untuk mengatasinya, katanya, pemeritah provinsi maupun kabupaten tetap menyediakan beras cadangan yang sewaktu-waktu dapat disalurkan untuk masyakat dalam mengahadapi rawan pangan.
"Ada cadangan beras yang disediakan pemerintah seperti dari bupati sekitar 100 ton, sementara kewenangan gubernur ada 200 ton yang dapat disalurkan setiap saat ke lapangan ketika terjadi rawan pangan," demikian Gubernur Lebu Raya.