Kupang (AntaraNews NTT) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi berpendapat keputusan partai koalisi untuk mengusung duet Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah memupuskan ekpektasi kekuatan politik aliran.
"Dengan keputusan partai koalisi tersebut maka duet Prabowo-Sandiaga telah memupuskan ekpektasi kekuatan politik aliran yang selama ini berada dibarisan ini, yang mengusung ulama sebagai representasi politik santri yang berbasis keumatan," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (10/8).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan keputusan partai koalisi yang terdiri dari Gerindra, Partai Amanat Nasional dan PKS mengusung Prabowo-Sandiaga Uno yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Ahmad Atang, dinamika politik Pilpres 2019 bergerak begitu cepat, sehingga Sandiaga Uno yang tidak diunggulkan untuk mendampingi Prabowo justeru menjadi pilihan partai koalisi.
Ia mengatakan memilih Sandiaga Uno bukan merupakan keputusan yang populer karena secara faktual Sandiaga belum menunjukan prestasi yang bisa menjadi entry point sebagai garansi kemenangan. "Selama menjadi Wakil Gubernur DKI mendampingi Anies Baswedan, manuver Sandiaga cenderung blunder," ujarnya.
Menurut dia, Sandiaga juga tidak memiliki pengalaman mengelola pemerintahan, kecuali sebagai pengusaha, dan yang lebih parah adalah sama-sama kader partai Gerindra, walaupun Sandiaga harus mundur agar tidak disebut pasangan jeruk makan jeruk.
Baca juga: Jokowi peragakan jurus perang Sun Tzu
Calon Presiden Prabowo Subianto dan calon wakilnya Sandiaga Uno (ANTARA Foto/Istimewa)
PKS gagal
Ahmad Atang mengatakan keputusan koalisi mengusung duet Prabowo-Sandiaga juga menunjukkan bahwa PKS dianggap gagal memperjuangkan kepentingan politik santri, karena duet Prabowo-Sandiaga memiliki latar belakang Islam abangan.
Fakta ini, katanya menambahkan, akan memperlemah gerakan politik simbolik yang dimotori oleh Habib Rizqi dan kalangan muda Islam milenial.
"Maka pilihan politik mereka adalah merapat ke Prabowo-Sandiaga hanya menunjukkan eksistensi politik identitas atau mengambil sikap tawakkal bahwa perjuangan telah selesai dan hasilnya merupakan keputusan Allah," ucapnya.
Di pihak lain, Presiden Joko Widodo pada saat injuri time memantapkan pilihan cawaspres para figur KH Ma`ruf Amin yang sebelumnya beredar kuat bahwa figur Mahfud MD yang akan menjadi calon pendamping Jokowi.
Jokowi dan partai koalisinya sejak awal memang memiliki visi soal wakil presiden dari kalangan Islam kultural sehingga muncul beberapa figur, termasuk di antaranya Ma`ruf Amin, Ketua Umum MUI.
Karena itu, ketika Ma`ruf yang dipilih Jokowi dan partai koalisi, bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. "Masuknya Ma`ruf dalam kekuasaan diharapkan bisa menjembatani polarisasi politik aliran versus nasionalis," katanya.
"Namun, dengan munculnya Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo pada Pilpres 2019 maka kerja Ma`ruf Amin tampaknya jauh lebih mudah ke depannya," demikian Ahmad Atang yang juga mantan pembantu Rektor I UMK itu.
Baca juga: Pilpres 2019 sudah menjurus ke politik harga diri
Calon Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya Sandiaga Uno (ANTARA Foto/istimewa)
"Dengan keputusan partai koalisi tersebut maka duet Prabowo-Sandiaga telah memupuskan ekpektasi kekuatan politik aliran yang selama ini berada dibarisan ini, yang mengusung ulama sebagai representasi politik santri yang berbasis keumatan," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (10/8).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan keputusan partai koalisi yang terdiri dari Gerindra, Partai Amanat Nasional dan PKS mengusung Prabowo-Sandiaga Uno yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Ahmad Atang, dinamika politik Pilpres 2019 bergerak begitu cepat, sehingga Sandiaga Uno yang tidak diunggulkan untuk mendampingi Prabowo justeru menjadi pilihan partai koalisi.
Ia mengatakan memilih Sandiaga Uno bukan merupakan keputusan yang populer karena secara faktual Sandiaga belum menunjukan prestasi yang bisa menjadi entry point sebagai garansi kemenangan. "Selama menjadi Wakil Gubernur DKI mendampingi Anies Baswedan, manuver Sandiaga cenderung blunder," ujarnya.
Menurut dia, Sandiaga juga tidak memiliki pengalaman mengelola pemerintahan, kecuali sebagai pengusaha, dan yang lebih parah adalah sama-sama kader partai Gerindra, walaupun Sandiaga harus mundur agar tidak disebut pasangan jeruk makan jeruk.
Baca juga: Jokowi peragakan jurus perang Sun Tzu
PKS gagal
Ahmad Atang mengatakan keputusan koalisi mengusung duet Prabowo-Sandiaga juga menunjukkan bahwa PKS dianggap gagal memperjuangkan kepentingan politik santri, karena duet Prabowo-Sandiaga memiliki latar belakang Islam abangan.
Fakta ini, katanya menambahkan, akan memperlemah gerakan politik simbolik yang dimotori oleh Habib Rizqi dan kalangan muda Islam milenial.
"Maka pilihan politik mereka adalah merapat ke Prabowo-Sandiaga hanya menunjukkan eksistensi politik identitas atau mengambil sikap tawakkal bahwa perjuangan telah selesai dan hasilnya merupakan keputusan Allah," ucapnya.
Di pihak lain, Presiden Joko Widodo pada saat injuri time memantapkan pilihan cawaspres para figur KH Ma`ruf Amin yang sebelumnya beredar kuat bahwa figur Mahfud MD yang akan menjadi calon pendamping Jokowi.
Jokowi dan partai koalisinya sejak awal memang memiliki visi soal wakil presiden dari kalangan Islam kultural sehingga muncul beberapa figur, termasuk di antaranya Ma`ruf Amin, Ketua Umum MUI.
Karena itu, ketika Ma`ruf yang dipilih Jokowi dan partai koalisi, bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. "Masuknya Ma`ruf dalam kekuasaan diharapkan bisa menjembatani polarisasi politik aliran versus nasionalis," katanya.
"Namun, dengan munculnya Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo pada Pilpres 2019 maka kerja Ma`ruf Amin tampaknya jauh lebih mudah ke depannya," demikian Ahmad Atang yang juga mantan pembantu Rektor I UMK itu.
Baca juga: Pilpres 2019 sudah menjurus ke politik harga diri