Kupang (Antara NTT) - Warga eks pengungsi Timor Timur yang mendiami pemukiman We Liurai di Desa Kabuna, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur protes terhadap pembangunan jalan dan jembatan di lokasi pemukiman tersebut.
"Kami melihat ada kejanggalan dari pekerjaan jalan dan jembatan yang dilakukan tersebut. Karena itu kami bersurat protes ke Pak Bupati Belu untuk ditindaklanjuti," kata Ketua Perhimpunan Orang Tua Timor Timur Miguel Epifanio Amaral dalam suratnya kepada Antara di Kupang, Senin.
Menurut dia, dari hasil pantauan dan fakta lapangan menunjukkan bahwa kontraktor telah melakukan kesalahan besar terhadap pembangunan jalan dan jembatan di lokasi pemukiman baru (resetlement) sehingga perlu ditindaklanjuti.
Dia menyebut pekerjaan pengaspalan jalan yang ukurannya satu kaleng aspal seberat satu kilogram hanya untuk satu meter persegi, dibuat kontraktor sepanjang 18 meter per segi.
"Tidak ada pemadatan dengan penggilasan yang baik sehingga sudah mulai rusak jalannya," katanya.
Lubang deker untuk pembangunan jembatan, jauh lebih kecil yang tidak seimbang dengan volume air hujan, sehingga dikhawatirkan akan ambruk jika musim hujan tiba.
Ia menambahkan saat pelaksanaan proyek, pengawas dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Belu tidak dihadirkan, sehingga memungkinkan kontraktor bisa seenaknya membangun pekerjaan tersebut tidak sesuai bestek dan dan perencanaan.
Menurut dia, jika proyek tersebut tidak segera diperbaiki maka akan membawa bencana bagi warga di daerah itu.
Luapan air hujan dengan debit yang tinggi di musim hujan, akan bisa membongkar separoh jembatan dan meluap ke arah pemukiman padat penduduk itu dan tentu akan memberikan dampak kerugian bagi warga.
"Kami mencium aroma korupsi dalam pembangunan proyek ini karena tanpa pengawasan, apalagi pekerjaan diduga dilakukan tidak berstandar seperti ini," katanya.
Meskipun warga yang bermukim di lokasi itu adalah warga eks pengungsi Timor Timur, namun juga menjalankan kewajiban membayar pajak kepada negara.
Hasil pajak yang terkumpul dari peluh dan keringat warga itulah, maka dibuatkan proyek itu, katanya menambahkan.
"Hak masyarakat untuk menikmati jalan dan jembatan yang berkualitas diabaikan. Kami sedih karena ada upaya penikmatan di atas penderitaan kami," kata Miguel.
Dalam konteks itulah, Pemerintah Kabupaten Belu segera melakukan evaluasi dan segera mengambil tindakan tegas, agar tidak berlanjut dan mengorbankan warga di daerah itu.
"Kami hanya bisa berharap dan semuanya ada di tangan Pak Bupati dan Kepala Dinas PU. Kami ini juga warga Indonesia, meski kami bekas pengungsi dari Timor Timur," demikian Miguel Epifanio Amaral.
"Kami melihat ada kejanggalan dari pekerjaan jalan dan jembatan yang dilakukan tersebut. Karena itu kami bersurat protes ke Pak Bupati Belu untuk ditindaklanjuti," kata Ketua Perhimpunan Orang Tua Timor Timur Miguel Epifanio Amaral dalam suratnya kepada Antara di Kupang, Senin.
Menurut dia, dari hasil pantauan dan fakta lapangan menunjukkan bahwa kontraktor telah melakukan kesalahan besar terhadap pembangunan jalan dan jembatan di lokasi pemukiman baru (resetlement) sehingga perlu ditindaklanjuti.
Dia menyebut pekerjaan pengaspalan jalan yang ukurannya satu kaleng aspal seberat satu kilogram hanya untuk satu meter persegi, dibuat kontraktor sepanjang 18 meter per segi.
"Tidak ada pemadatan dengan penggilasan yang baik sehingga sudah mulai rusak jalannya," katanya.
Lubang deker untuk pembangunan jembatan, jauh lebih kecil yang tidak seimbang dengan volume air hujan, sehingga dikhawatirkan akan ambruk jika musim hujan tiba.
Ia menambahkan saat pelaksanaan proyek, pengawas dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Belu tidak dihadirkan, sehingga memungkinkan kontraktor bisa seenaknya membangun pekerjaan tersebut tidak sesuai bestek dan dan perencanaan.
Menurut dia, jika proyek tersebut tidak segera diperbaiki maka akan membawa bencana bagi warga di daerah itu.
Luapan air hujan dengan debit yang tinggi di musim hujan, akan bisa membongkar separoh jembatan dan meluap ke arah pemukiman padat penduduk itu dan tentu akan memberikan dampak kerugian bagi warga.
"Kami mencium aroma korupsi dalam pembangunan proyek ini karena tanpa pengawasan, apalagi pekerjaan diduga dilakukan tidak berstandar seperti ini," katanya.
Meskipun warga yang bermukim di lokasi itu adalah warga eks pengungsi Timor Timur, namun juga menjalankan kewajiban membayar pajak kepada negara.
Hasil pajak yang terkumpul dari peluh dan keringat warga itulah, maka dibuatkan proyek itu, katanya menambahkan.
"Hak masyarakat untuk menikmati jalan dan jembatan yang berkualitas diabaikan. Kami sedih karena ada upaya penikmatan di atas penderitaan kami," kata Miguel.
Dalam konteks itulah, Pemerintah Kabupaten Belu segera melakukan evaluasi dan segera mengambil tindakan tegas, agar tidak berlanjut dan mengorbankan warga di daerah itu.
"Kami hanya bisa berharap dan semuanya ada di tangan Pak Bupati dan Kepala Dinas PU. Kami ini juga warga Indonesia, meski kami bekas pengungsi dari Timor Timur," demikian Miguel Epifanio Amaral.