Kupang (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Timur fokus melakukan pemetaan dan pendataan terhadap ancaman kekeringan yang terjadi pada musim kemarau 2022.
"Pemetaan dan pendataan menjadi faktor kunci kesuksesan penanganan dampak kekeringan. Jadi, kajian itu penting karena ada konsekuensi ikutan," kata Kepala Pelaksana BPBD NTT Ambrosius Kodo dalam Rapat Koordinasi Penanganan Kekeringan di NTT yang diselenggarakan secara virtual di Kupang, Kamis, (9/6/2022).
Pemetaan dan pendataan merupakan dua hal penting yang dibutuhkan untuk mengambil langkah strategi lainnya. Terkait musim kemarau tahun 2022 dan kekeringan, data yang menjadi rujukan ialah informasi peringatan dini dari BMKG. Dari informasi tersebut, petugas harus melakukan validasi dan pemantauan di lapangan. Jika ada kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan, BPBD bisa mengajukan penetapan status bencana kepada pimpinan kepala daerah.
Dia menjelaskan validasi data itu menjadi penting karena adanya alokasi anggaran dan pengerahan sumber daya untuk mengatasi kondisi tersebut. Dari validasi itu, ada penetapan status yang bisa diajukan. Setelah adanya penetapan status, BPBD bisa mengajukan pemanfaatan dana belanja tidak terduga (BTT) untuk bencana.
"Kalau kekeringan BMKG sudah rilis, lakukan kajian, validasi, ajukan status bencana, lalu ajukan pemanfaatan BTT," kata dia.
Kekeringan merupakan bencana hidrometeorologis atau bencana yang dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya. Dari data BPBD, kekeringan di NTT sering terjadi dan hampir setiap tahun. Intensitas kasus kekeringan dilihat dari cakupan luas area terdampak dan jumlah warga terdampak, dan data tiap tahun makin meningkat.
Dalam rapat koordinasi bersama BPBD kabupaten/kota se-NTT dan mitra sektor, koordinasi itu merupakan bagian dari upaya untuk mengantisipasi bencana kekeringan di NTT agar bisa meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan kajian risiko bencana di NTT, luas wilayah kekeringan hampir 5.000 hektare dengan lokasi terbesar di Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang.
Ambrosius mengatakan kekeringan adalah bencana yang terjadi berangsur-angsur. Banyak orang yang tidak merasa berada dalam bencana kekeringan, kecuali sudah kesulitan mengakses air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Baca juga: BPBD NTT bentuk forum pengurangan risiko bencana di Mabar
Baca juga: BPBD terus pantau pergerakan tanah di Manggarai Barat
Berdasarkan informasi BMKG, 21 zona musim (ZOM) atau 92,3 persen telah memasuki musim kemarau, sedangkan dua ZOM atau 8,7 persen belum memasuki musim kemarau. ZOM yang dimaksud ialah ZOM 242, yakni Manggarai Barat bagian utara, Manggarai Timur, dan Ngada bagian utara. Selanjutnya ZOM 262, yakni Kupang bagian utara dan TTU bagian barat
"Meski secara nasional maupun lokal NTT belum ada peringatan dini kemarau, wilayah NTT telah memasuki musim kemarau. Oleh karena itu, antisipasi perlu dilakukan," ucap Ambrosius.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BPBD NTT fokus pemetaan dan pendataan ancaman kekeringan
"Pemetaan dan pendataan menjadi faktor kunci kesuksesan penanganan dampak kekeringan. Jadi, kajian itu penting karena ada konsekuensi ikutan," kata Kepala Pelaksana BPBD NTT Ambrosius Kodo dalam Rapat Koordinasi Penanganan Kekeringan di NTT yang diselenggarakan secara virtual di Kupang, Kamis, (9/6/2022).
Pemetaan dan pendataan merupakan dua hal penting yang dibutuhkan untuk mengambil langkah strategi lainnya. Terkait musim kemarau tahun 2022 dan kekeringan, data yang menjadi rujukan ialah informasi peringatan dini dari BMKG. Dari informasi tersebut, petugas harus melakukan validasi dan pemantauan di lapangan. Jika ada kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan, BPBD bisa mengajukan penetapan status bencana kepada pimpinan kepala daerah.
Dia menjelaskan validasi data itu menjadi penting karena adanya alokasi anggaran dan pengerahan sumber daya untuk mengatasi kondisi tersebut. Dari validasi itu, ada penetapan status yang bisa diajukan. Setelah adanya penetapan status, BPBD bisa mengajukan pemanfaatan dana belanja tidak terduga (BTT) untuk bencana.
"Kalau kekeringan BMKG sudah rilis, lakukan kajian, validasi, ajukan status bencana, lalu ajukan pemanfaatan BTT," kata dia.
Kekeringan merupakan bencana hidrometeorologis atau bencana yang dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya. Dari data BPBD, kekeringan di NTT sering terjadi dan hampir setiap tahun. Intensitas kasus kekeringan dilihat dari cakupan luas area terdampak dan jumlah warga terdampak, dan data tiap tahun makin meningkat.
Dalam rapat koordinasi bersama BPBD kabupaten/kota se-NTT dan mitra sektor, koordinasi itu merupakan bagian dari upaya untuk mengantisipasi bencana kekeringan di NTT agar bisa meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan kajian risiko bencana di NTT, luas wilayah kekeringan hampir 5.000 hektare dengan lokasi terbesar di Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Kupang.
Ambrosius mengatakan kekeringan adalah bencana yang terjadi berangsur-angsur. Banyak orang yang tidak merasa berada dalam bencana kekeringan, kecuali sudah kesulitan mengakses air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Baca juga: BPBD NTT bentuk forum pengurangan risiko bencana di Mabar
Baca juga: BPBD terus pantau pergerakan tanah di Manggarai Barat
Berdasarkan informasi BMKG, 21 zona musim (ZOM) atau 92,3 persen telah memasuki musim kemarau, sedangkan dua ZOM atau 8,7 persen belum memasuki musim kemarau. ZOM yang dimaksud ialah ZOM 242, yakni Manggarai Barat bagian utara, Manggarai Timur, dan Ngada bagian utara. Selanjutnya ZOM 262, yakni Kupang bagian utara dan TTU bagian barat
"Meski secara nasional maupun lokal NTT belum ada peringatan dini kemarau, wilayah NTT telah memasuki musim kemarau. Oleh karena itu, antisipasi perlu dilakukan," ucap Ambrosius.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BPBD NTT fokus pemetaan dan pendataan ancaman kekeringan