Kupang (AntaraNews NTT) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun El Tari Kupang mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di empat kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Empat kabupaten itu adalah Sumba Timur, Sumba Tengah, Ende dan Kabupaten Kupang," kata Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Stasiun El Tari Kupang Ota Welly Jenni Thalo kepada Antara di Kupang, Rabu (26/9).
Berdasarkan data titik panas (hotspot) di NTT dari citra satelit MODIS Terra dan Aqua yang bersumber dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) ada sejumlah titik panas di wilayah NTT yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan dan lahan.
Wilayah-wilayah yang terpantau titik panas itu adalah wilayah Umbu Ratu Nggay, di Kabupaten Sumba Tengah, dengan waktu akuisisi : 2018-09-26 02:11:00 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) 92 persen.
Haharu, Kabupaten Sumba Timur, dengan waktu akuisisi : 2018-09-26 02:11:00 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) 92 persen. Lewa, Sumba Timur, dengan waktu akuisisi : 2018-09-25 04:46:40 UTC Tingkat Kepercayaan (TK) 84 persen.
Titik panas lain adalah Kotabaru, di Kabupaten Ende, dengan waktu akuisisi : 2018-09-25 04:46:40 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) : 86 persen, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, dengan waktu akuisisi : 2018-09-25 04:46:40 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) : 100 persen.
Baca juga: Hutan Gililawa di TN Komodo terbakar
Dia menjelaskan, titik panas (hotspot) dapat digunakan untuk identifikasi awal kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Selang kepercayaan atau confidence level menunjukkan tingkat kepercayaan bahwa hotspot yang dipantau dari data satelit penginderaan jauh merupakan benar-benar kejadian kebakaran yang sebenarnya di lapangan.
Semakin tinggi selang kepercayaan, maka semakin tinggi pula potensi bahwa hotspot tersebut adalah benar-benar kebakaran lahan atau hutan yang terjadi, katanya dan menjelaskananalisis data titik panas (hotspot) ini menggunakan data dengan tingkat kepercayaan 80 persen.
Kondisi ini dilakukan karena SiPongi sebagai sistem monitoring kebakaran hutan dan lahan lebih fokus untuk dapat mendeteksi indikasi kebakaran hutan dan lahan di lapangan dengan tingkat kemungkinan tertinggi, katanya.
Baca juga: Lahan terbakar bukan di kawasan wisata
"Empat kabupaten itu adalah Sumba Timur, Sumba Tengah, Ende dan Kabupaten Kupang," kata Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Stasiun El Tari Kupang Ota Welly Jenni Thalo kepada Antara di Kupang, Rabu (26/9).
Berdasarkan data titik panas (hotspot) di NTT dari citra satelit MODIS Terra dan Aqua yang bersumber dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) ada sejumlah titik panas di wilayah NTT yang berpotensi menimbulkan kebakaran hutan dan lahan.
Wilayah-wilayah yang terpantau titik panas itu adalah wilayah Umbu Ratu Nggay, di Kabupaten Sumba Tengah, dengan waktu akuisisi : 2018-09-26 02:11:00 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) 92 persen.
Haharu, Kabupaten Sumba Timur, dengan waktu akuisisi : 2018-09-26 02:11:00 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) 92 persen. Lewa, Sumba Timur, dengan waktu akuisisi : 2018-09-25 04:46:40 UTC Tingkat Kepercayaan (TK) 84 persen.
Titik panas lain adalah Kotabaru, di Kabupaten Ende, dengan waktu akuisisi : 2018-09-25 04:46:40 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) : 86 persen, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, dengan waktu akuisisi : 2018-09-25 04:46:40 UTC dan Tingkat Kepercayaan (TK) : 100 persen.
Baca juga: Hutan Gililawa di TN Komodo terbakar
Dia menjelaskan, titik panas (hotspot) dapat digunakan untuk identifikasi awal kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Selang kepercayaan atau confidence level menunjukkan tingkat kepercayaan bahwa hotspot yang dipantau dari data satelit penginderaan jauh merupakan benar-benar kejadian kebakaran yang sebenarnya di lapangan.
Semakin tinggi selang kepercayaan, maka semakin tinggi pula potensi bahwa hotspot tersebut adalah benar-benar kebakaran lahan atau hutan yang terjadi, katanya dan menjelaskananalisis data titik panas (hotspot) ini menggunakan data dengan tingkat kepercayaan 80 persen.
Kondisi ini dilakukan karena SiPongi sebagai sistem monitoring kebakaran hutan dan lahan lebih fokus untuk dapat mendeteksi indikasi kebakaran hutan dan lahan di lapangan dengan tingkat kemungkinan tertinggi, katanya.
Baca juga: Lahan terbakar bukan di kawasan wisata