Atambua, NTT (AntaraNews NTT) - Koreografer Festival Fulan Fehan 2018 Eko Supriyanto mengatakan dalam festival yang diselenggarakan untuk kedua kalinya itu, pihaknya mengangkat cerita tentang Fulan Fehan yang berkaitan dengan adat masyarakat Belu (Rai Belu).
"Untuk Festival Fulan Fehan 2018 ini kami lebih fokuskan pada salah satu desa di Kecamatan Lamaknen, yaitu Desa Weluli, yang menceritakan tentang adat serta apa itu sebenarnya Fulan Fehan itu sendiri," katanya kepada Antara di sela-sela dilaksanakan puncak Festival Fulan Fehan 2018 di Kabupaten Belu, Sabtu (6/10) sore.
Fulan Fehan adalah salah satu bukit di Kabupaten Belu, yang langsung berbatasan dengan Timor Leste. Perjalanan menuju ke Fulan Fehan membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Jarak dari Kota Atambua sendiri kurang lebih mencapai 40-an kilometer.
Eko mengatakan bahwa dalam festival Fulan Fehan kali ini ditambahkan juga adanya tarian Antama, atau tarian berburu yang memang sudah menjadi kebudayaan dan ciri khas dari masyarakat Belu.
Ia menambahkan jika dibandingkan dengan tahun 2017, jumlah penari tahun ini lebih sedikit yakni hanya mencapai 1.500 penari dengan latihan selama tiga minggu.
"Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya memang tujuan kami adalah mengangkat tarian Likurai itu sendiri yang memang menjadi ciri khas dari masyarakat perbatasan khususnya Rai Belu itu sendiri," tuturnya.
Baca juga: Fulan Fehan Masuk Festival Indonesiana
Disamping itu juga pada tahun 2017, tujuan dari festival itu sendiri adalah menjadikan tarian Likurai masuk rekor MURI dengan menampilkan 6.000 penari, baik dari Kabupaten Malaka, Timor Tengah Utara (TTU), serta sejumlah penari dari Timor Leste.
Untuk festival tahun ini, ada sejumlah tarian baru yang ditampilkan yakni tarian Antama itu sendiri, kemudian juga peraga busana, dengan lebih menonjolkan corak-corak tenun ikat masyarakat Rai Belu itu sendiri.
Terkait kontrak kerja sama untuk menjadi koregrafer festival tersebut, Eko mengatakan hanya dikasih waktu selama tiga tahun.
"Artinya nanti sampai pada tahun ketiga, kami akan serahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten untuk melanjutkan festival ini," tuturnya.
Oleh karena itu, di tahun kedua ini, lebih banyak manajemen festival yang diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Belu.
"Kami dari ISI Surakarta hanya membawa beberapa orang saja. Perbandingannya 1 berbanding 10. 1 dari kami dan 10 dari mereka," demikian Eko Suprianto.
"Untuk Festival Fulan Fehan 2018 ini kami lebih fokuskan pada salah satu desa di Kecamatan Lamaknen, yaitu Desa Weluli, yang menceritakan tentang adat serta apa itu sebenarnya Fulan Fehan itu sendiri," katanya kepada Antara di sela-sela dilaksanakan puncak Festival Fulan Fehan 2018 di Kabupaten Belu, Sabtu (6/10) sore.
Fulan Fehan adalah salah satu bukit di Kabupaten Belu, yang langsung berbatasan dengan Timor Leste. Perjalanan menuju ke Fulan Fehan membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Jarak dari Kota Atambua sendiri kurang lebih mencapai 40-an kilometer.
Eko mengatakan bahwa dalam festival Fulan Fehan kali ini ditambahkan juga adanya tarian Antama, atau tarian berburu yang memang sudah menjadi kebudayaan dan ciri khas dari masyarakat Belu.
Ia menambahkan jika dibandingkan dengan tahun 2017, jumlah penari tahun ini lebih sedikit yakni hanya mencapai 1.500 penari dengan latihan selama tiga minggu.
"Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya memang tujuan kami adalah mengangkat tarian Likurai itu sendiri yang memang menjadi ciri khas dari masyarakat perbatasan khususnya Rai Belu itu sendiri," tuturnya.
Baca juga: Fulan Fehan Masuk Festival Indonesiana
Disamping itu juga pada tahun 2017, tujuan dari festival itu sendiri adalah menjadikan tarian Likurai masuk rekor MURI dengan menampilkan 6.000 penari, baik dari Kabupaten Malaka, Timor Tengah Utara (TTU), serta sejumlah penari dari Timor Leste.
Untuk festival tahun ini, ada sejumlah tarian baru yang ditampilkan yakni tarian Antama itu sendiri, kemudian juga peraga busana, dengan lebih menonjolkan corak-corak tenun ikat masyarakat Rai Belu itu sendiri.
Terkait kontrak kerja sama untuk menjadi koregrafer festival tersebut, Eko mengatakan hanya dikasih waktu selama tiga tahun.
"Artinya nanti sampai pada tahun ketiga, kami akan serahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten untuk melanjutkan festival ini," tuturnya.
Oleh karena itu, di tahun kedua ini, lebih banyak manajemen festival yang diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Belu.
"Kami dari ISI Surakarta hanya membawa beberapa orang saja. Perbandingannya 1 berbanding 10. 1 dari kami dan 10 dari mereka," demikian Eko Suprianto.