Kupang (AntaraNews NTT) - Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia Gabriel Goa berpendapat persoalan ekonomi menjadi faktor pendorong utama bagi warga Nusa Tenggara Timur untuk menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.
"Di sini (NTT) belum ada industri besar yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja di daerah ini, sehingga saya melihat masalah ekonomilah yang mendorong masyarakat menjadi TKI," kata Gabriel Goa kepada Antara di Kupang, Selasa (16/10), terkait masalah TKI ilegal dari NTT.
Ia melihat faktor pendorong paling mendasar adalah ekonomi keluarga, di samping belum adanya industri di NTT, sehingga lapangan pekerjaan juga tidak ada, maka pilihan satu-satunya adalah menjadi TKI.
Mengenai TKI non prosedural, dia mengatakan banyak TKI yang ingin keluar negeri untuk mencari kerja, tetapi karena prosedur melalui jalur resmi terlalu berat, sehingga orang lebih memilih jalur yang mudah yakni menjadi TKI ilegal.
"Non prosedural karena untuk berangkat ke luar negeri melalui jalur prosedural, persyaratan formil dan materilnya sangat banyak, dan membutuhkan uang yang besar juga, sementara warga yang ingin bekerja di luar negeri, sama sekali tidak memiliki modal," katanya.
Pada saat masalah ekonomi sedang melilit keluarga dan tidak ada uang, kata dia, para calo TKI datang menawarkan jasa dengan menyiapkan segala sesuatunya, maka orang tidak lagi berpikir panjang lebar apalagi soal risiko menjadi TKI.
Baca juga: 100.000 TKI ilegal NTT di luar negeri
Untuk mengatasi masalah ini, kata dia, maka Pemerintah di NTT harus bekerja sama dengan lembaga keagamaan, lembaga pendidikan dan perusahaan nasional serta multinasional untuk mempersiapkan sumber daya manusia NTT.
SDM NTT, kata dia, harus disiapkan di bursa pasar kerja internasional dan siap untuk memenuhi permintaan dari luar negeri.
"Pemerintah NTT bisa membangun Balai Latihan Kerja (BLK) berstandar internasional dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk memberikan kemudahan bagi calon tenaga kerja," katanya.
BLK dan LTSA ini, harus sungguh-sungguh dibangun dan berfungsi secara profesional, dan pengelolanya pun harus memiliki integritas, bukan bermental koruptif.
"Dan saya berpikir bahwa NTT bisa pergi dan belajar ke Philipina tentang bagaimana cara mengirim TKI yang baik dan profesional," katanya menambahkan.
Baca juga: Satgas cegah 1.179 calon TKI ke luar negeri
"Di sini (NTT) belum ada industri besar yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja di daerah ini, sehingga saya melihat masalah ekonomilah yang mendorong masyarakat menjadi TKI," kata Gabriel Goa kepada Antara di Kupang, Selasa (16/10), terkait masalah TKI ilegal dari NTT.
Ia melihat faktor pendorong paling mendasar adalah ekonomi keluarga, di samping belum adanya industri di NTT, sehingga lapangan pekerjaan juga tidak ada, maka pilihan satu-satunya adalah menjadi TKI.
Mengenai TKI non prosedural, dia mengatakan banyak TKI yang ingin keluar negeri untuk mencari kerja, tetapi karena prosedur melalui jalur resmi terlalu berat, sehingga orang lebih memilih jalur yang mudah yakni menjadi TKI ilegal.
"Non prosedural karena untuk berangkat ke luar negeri melalui jalur prosedural, persyaratan formil dan materilnya sangat banyak, dan membutuhkan uang yang besar juga, sementara warga yang ingin bekerja di luar negeri, sama sekali tidak memiliki modal," katanya.
Pada saat masalah ekonomi sedang melilit keluarga dan tidak ada uang, kata dia, para calo TKI datang menawarkan jasa dengan menyiapkan segala sesuatunya, maka orang tidak lagi berpikir panjang lebar apalagi soal risiko menjadi TKI.
Baca juga: 100.000 TKI ilegal NTT di luar negeri
Untuk mengatasi masalah ini, kata dia, maka Pemerintah di NTT harus bekerja sama dengan lembaga keagamaan, lembaga pendidikan dan perusahaan nasional serta multinasional untuk mempersiapkan sumber daya manusia NTT.
SDM NTT, kata dia, harus disiapkan di bursa pasar kerja internasional dan siap untuk memenuhi permintaan dari luar negeri.
"Pemerintah NTT bisa membangun Balai Latihan Kerja (BLK) berstandar internasional dan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk memberikan kemudahan bagi calon tenaga kerja," katanya.
BLK dan LTSA ini, harus sungguh-sungguh dibangun dan berfungsi secara profesional, dan pengelolanya pun harus memiliki integritas, bukan bermental koruptif.
"Dan saya berpikir bahwa NTT bisa pergi dan belajar ke Philipina tentang bagaimana cara mengirim TKI yang baik dan profesional," katanya menambahkan.
Baca juga: Satgas cegah 1.179 calon TKI ke luar negeri