Kupang (AntaraNews NTT) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memperkirakan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) asal daerah itu yang tidak memiliki dokumen resmi atau ilegal mencapai sekitar 100.000 orang.
"Dari jumlah tersebut, lebih dari 50.000 orang di antaranya bekerja di Malaysia dan lainnya tersebar di beberapa negara seperti Hongkong dan Singapura," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT, Bruno Kupok kepada Antara di Kupang, Senin (9/4) terkait TKI ilegal di luar negeri.
Ia mengatakan data yang ada belum menunjukkan kepastian, tetapi jumlahnya diperkirakan sangat besar, mencapai sekitar 100.000 orang.
Menurut dia, perkirakan angka sekitar 100.000 itu sesuai dengan hasil pertemuan koordinasi dengan Konjen RI di Johar beserta instansi terkait beberapa waktu lalu.
Dalam rapat bersama itu, terungkap bahwa jumlah TKI asal Indonesia saat ini mencapai 2,3 juta orang dan setengah di antaranya adalah ilegal.
Khusus untuk Malaysia, jumlah TKI ilegal sekitar 800-900 ribu orang dan diperkirakan sekitar lebih dari 50.000 di antaranya adalah TKI yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca juga: Satgas cegah 1.179 calon TKI ke luar negeri
Baca juga: Lipsus - Pekerja migran dan harga diri sebuah bangsa
Sejumlah calon TKI Ilegal diantar ke Disnakertrans Provinsi pascadigagalkannya keberangkatan mereka menuju Kalimantan. (Foto Antara/Kornelis Kaha)
"Bisa juga lebih banyak lagi karena kantong-kantong TKI di Indonesia ini hanya dari beberapa provinsi dan salah satunya adalah NTT," kata Bruno Kupok menambahkan.
Karena itu, langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah mencegah calon TKI yang berangkat ke luar negeri tanpa dokumen resmi.
Upaya ini dilakukan dengan membentuk satuan tugas (Satgas) Pemberantasan Perdagangan Manusia yang ditempatkan di pintu-pintu keluar seperti pelabuhan udara dan laut sejak Juli 2016 lalu.
Namun upaya ini, kata dia, belum terlalu efektif karena Satgas baru ditempatkan di pelabuhan laut Tenau Kupang dan Bandara El Tari Kupang. "Belum semua daerah membentuk Satgas," katanya.
Dia berharap, semua kabupaten segera membentuk Satgas TKI untuk bersama-sama melakukan pencegahan pada setiap calon TKI yang hendak ke luar negeri, tanpa dilengkapi dokumen resmi.
"Dari jumlah tersebut, lebih dari 50.000 orang di antaranya bekerja di Malaysia dan lainnya tersebar di beberapa negara seperti Hongkong dan Singapura," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT, Bruno Kupok kepada Antara di Kupang, Senin (9/4) terkait TKI ilegal di luar negeri.
Ia mengatakan data yang ada belum menunjukkan kepastian, tetapi jumlahnya diperkirakan sangat besar, mencapai sekitar 100.000 orang.
Menurut dia, perkirakan angka sekitar 100.000 itu sesuai dengan hasil pertemuan koordinasi dengan Konjen RI di Johar beserta instansi terkait beberapa waktu lalu.
Dalam rapat bersama itu, terungkap bahwa jumlah TKI asal Indonesia saat ini mencapai 2,3 juta orang dan setengah di antaranya adalah ilegal.
Khusus untuk Malaysia, jumlah TKI ilegal sekitar 800-900 ribu orang dan diperkirakan sekitar lebih dari 50.000 di antaranya adalah TKI yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca juga: Satgas cegah 1.179 calon TKI ke luar negeri
Baca juga: Lipsus - Pekerja migran dan harga diri sebuah bangsa
"Bisa juga lebih banyak lagi karena kantong-kantong TKI di Indonesia ini hanya dari beberapa provinsi dan salah satunya adalah NTT," kata Bruno Kupok menambahkan.
Karena itu, langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah mencegah calon TKI yang berangkat ke luar negeri tanpa dokumen resmi.
Upaya ini dilakukan dengan membentuk satuan tugas (Satgas) Pemberantasan Perdagangan Manusia yang ditempatkan di pintu-pintu keluar seperti pelabuhan udara dan laut sejak Juli 2016 lalu.
Namun upaya ini, kata dia, belum terlalu efektif karena Satgas baru ditempatkan di pelabuhan laut Tenau Kupang dan Bandara El Tari Kupang. "Belum semua daerah membentuk Satgas," katanya.
Dia berharap, semua kabupaten segera membentuk Satgas TKI untuk bersama-sama melakukan pencegahan pada setiap calon TKI yang hendak ke luar negeri, tanpa dilengkapi dokumen resmi.