Jakarta (ANTARA) - Dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan lain sebagainya, konsumsi beras per kapita per tahun masyarakat Indonesia, tercatat masih berada dalam peringkat yang paling tinggi.
Bila mereka sudah berada di angka lebih kecil dari 100 kg, maka negara ini masih di atas angka 100 kg per kapita per tahun.
Data terakhir konsumsi beras per kapita per tahun masih sekitar 110,37 kg. Sedangkan menurut data Susenas 2021 secara nasional konsumsi beras per kapita per tahun tercatat sebesar 80,4 kg. Cakupan Susenas hanya untuk konsumsi rumah tangga, belum termasuk kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Hal ini, tentu tidak boleh dibiarkan. Konsumsi beras per kapita per tahun, memang harus ditekan.
Konsumsi beras yang tinggi, bukan saja akan membuat ketahanan pangan bangsa menjadi rapuh, namun selaku bangsa yang menduduki peringkat ke-4 jumlah penduduk terbesar di dunia, kondisi ini pun dapat mengganggu ketersediaan beras yang ada.
Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun, bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Jika tidak ada upaya untuk mengerem laju konsumsi beras masyarakat, Indonesia akan menghadapi masalah yang cukup serius dalam pembangunan pangan.
Oleh karena itu, langkah Pemerintah untuk menerapkan kebijakan penganekaragaman pangan, perlu dikawal terus, jangan sampai kendor pelaksanaannya.
Beras yang kemudian ditanak menjadi nasi, bukanlah satu-satunya pangan karbohidrat yang dapat menyambung nyawa kehidupan.
Masyarakat harus dibiasakan bahwa di lingkungan sekitar masih banyak bahan pangan karbohidrat non-beras, seperti pangan lokal, yang tak kalah kandungan gizinya dengan beras.
Sebut saja, singkong, jagung, hanjeli, sukun, ganyong, umbi-umbian, dan lain sebagainya. Masalahnya tetap terletak pada kesungguhan Pemerintah untuk melakukannya.
Pengembangan pangan lokal sendiri, kini betul-betul menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan bangsa dan negara.
Dalam satu kesempatan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menyatakan, setidaknya ada tiga isu yang dikemukakan terkait pengembangan pangan lokal ke depan.
Ketiga hal tersebut adalah pertama, Pemerintah akan terus mendorong pangan lokal petani. Kedua, Pemerintah akan terus meningkatkan kualitas produk pangan lokal sehingga diterima oleh semua kalangan masyarakat. Ketiga, Pemerintah akan terus meningkatkan teknologi pangan lokal. Ketiganya bersifat simultan dan antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi.
Salah satu kelemahan Pemerintah dalam meragamkan pola makan masyarakat agar tidak tergantung kepada beras adalah ketidakkonsistenan dalam menerapkan kebijakan yang dipilihnya.
Suasana ini, jelas sangat berbeda dengan betapa konsistennya masyarakat mengkonsumsi nasi. Rakyat di negeri ini benar-benar sangat taat azas untuk menyantap nasi sebagai makanan utamanya.
Kementerian Pertanian pun kemudian mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi sumber pangan lokal, dan mengajak masyarakat agar mengubah pola pikir, bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat, karena masih banyak sumber pangan lokal seperti umbi-umbian, sukun, jagung, sagu dan lainnya yang nilai gizinya setara dengan beras.
Berdasarkan data pola konsumsi menunjukkan bahwa beras atau nasi masih mendominasi porsi menu konsumsi masyarakat hingga 60 persen padahal idealnya maksimal 50 persen agar masyarakat dapat hidup lebih sehat, aktif, dan produktif.
Memang, untuk memenuhi kecukupan pangan dan gizi tersebut, harus didukung dengan peningkatan produksi yang bersifat eksponensial atau tidak linier di sektor pertanian, melalui berbagai upaya seperti inovasi teknologi, intensifikasi, ekstensifikasi, pendampingan, penyediaan modal usaha, dan akses pasar.
Kampanye B2SA
Menghadapi kondisi yang demikian, wajar-wajar saja bila kemauan politik untuk menerapkan kebijakan diversifikasi pangan di negeri ini, terkesan masih sulit untuk diwujudkan dalam bentuk tindakan politiknya.
Apa yang tertulis dalam regulasi, sangat berlainan dengan apa yang ditemukan di lapangan.
Memang, ada keinginan dari para penentu kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah, agar kebijakan meragamkan pola makan masyarakat dikelola secara sungguh-sungguh.
Pemerintah tidak lagi setengah hati untuk melakukannya. Tidak boleh juga hanya sekadar coba-coba dalam menggarapnya. Pemerintah dituntut untuk mampu melahirkan terobosan cerdas.
Pengalaman selama ini menunjukkan, langkah Pemerintah yang menerapkan pendekatan proyek terhadap program dan kegiatan semacam ini, terbukti mengalami kegagalan, khususnya jika diteropong dari sisi keberlanjutan program.
Ini penting dijadikan catatan, karena setelah proyek selesai, maka program dan kegiatannya pun menjadi ikut-ikutan selesai dengan sendirinya.
Meragamkan pola makan, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi beras masyarakat terhadap beras. Ketergantungan masyarakat terhadap nasi perlu dikurangi.
Masyarakat penting diberi pemahaman yang benar tentang makanan beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA).
Baca juga: Telaah - Strategi menggairahkan budi daya kedelai lokal
Masyarakat bukan cuma butuh kampanyenya, tapi bagaimana penerapannya di rumah tangga. Bagaimana dan melalui cara apa masyarakat mendapatkan makanan B2SA jika penghasilan masyarakat relatif terbatas.
Dengan kondisi kehidupan saat ini, cukup kesusahan bagi sebagian besar masyarakat mengkonsumsi makanan B2SA. Kampanye B2SA memang perlu dibarengi dengan upaya meningkatkan pendapatan rakyat, agar daya belinya menjadi lebih baik.
Baca juga: Opini - Hari tani dan kebangkitan petani milenial
Sebab, tanpa peningkatan daya beli, mana mungkin rakyat akan mampu mengkonsumsi makanan B2SA. Di sisi lain, semua juga tahu persis, sebagian besar masyarakat di negeri ini masih terjebak dalam suasana "hidup pas-pasan".
Bagi golongan masyarakat yang demikian, yang dipentingkan hanyalah ada beras di rumahnya. Lauk pauk sendiri tidak terlampau dimasalahkan.
Terkadang cukup dengan ikan asin saja, mereka sudah dapat meneruskan kehidupan. Itu sebabnya, kampanye B2SA akan sangat cocok untuk mensubstitusikan beras dengan pangan non-beras berbasis pangan lokal.
Baca juga: Opini - Pesan moral dari pertemuan para menteri pertanian G20 di Bali
B2SA mestinya mampu mengerem konsumsi beras yang saat ini sudah menunjukkan lampu kuning. Mari semua kembalikan ke lampu hijau agar tidak menjadi lampu merah. Ini soal serius yang butuh penanganan dengan penuh tanggung jawab dari semua pihak.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPS HKTI Jawa Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Terobosan cerdas mendiversifikasi pangan lokal
Bila mereka sudah berada di angka lebih kecil dari 100 kg, maka negara ini masih di atas angka 100 kg per kapita per tahun.
Data terakhir konsumsi beras per kapita per tahun masih sekitar 110,37 kg. Sedangkan menurut data Susenas 2021 secara nasional konsumsi beras per kapita per tahun tercatat sebesar 80,4 kg. Cakupan Susenas hanya untuk konsumsi rumah tangga, belum termasuk kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Hal ini, tentu tidak boleh dibiarkan. Konsumsi beras per kapita per tahun, memang harus ditekan.
Konsumsi beras yang tinggi, bukan saja akan membuat ketahanan pangan bangsa menjadi rapuh, namun selaku bangsa yang menduduki peringkat ke-4 jumlah penduduk terbesar di dunia, kondisi ini pun dapat mengganggu ketersediaan beras yang ada.
Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun, bukanlah prestasi yang patut dibanggakan. Jika tidak ada upaya untuk mengerem laju konsumsi beras masyarakat, Indonesia akan menghadapi masalah yang cukup serius dalam pembangunan pangan.
Oleh karena itu, langkah Pemerintah untuk menerapkan kebijakan penganekaragaman pangan, perlu dikawal terus, jangan sampai kendor pelaksanaannya.
Beras yang kemudian ditanak menjadi nasi, bukanlah satu-satunya pangan karbohidrat yang dapat menyambung nyawa kehidupan.
Masyarakat harus dibiasakan bahwa di lingkungan sekitar masih banyak bahan pangan karbohidrat non-beras, seperti pangan lokal, yang tak kalah kandungan gizinya dengan beras.
Sebut saja, singkong, jagung, hanjeli, sukun, ganyong, umbi-umbian, dan lain sebagainya. Masalahnya tetap terletak pada kesungguhan Pemerintah untuk melakukannya.
Pengembangan pangan lokal sendiri, kini betul-betul menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memperkokoh ketahanan pangan bangsa dan negara.
Dalam satu kesempatan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menyatakan, setidaknya ada tiga isu yang dikemukakan terkait pengembangan pangan lokal ke depan.
Ketiga hal tersebut adalah pertama, Pemerintah akan terus mendorong pangan lokal petani. Kedua, Pemerintah akan terus meningkatkan kualitas produk pangan lokal sehingga diterima oleh semua kalangan masyarakat. Ketiga, Pemerintah akan terus meningkatkan teknologi pangan lokal. Ketiganya bersifat simultan dan antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi.
Salah satu kelemahan Pemerintah dalam meragamkan pola makan masyarakat agar tidak tergantung kepada beras adalah ketidakkonsistenan dalam menerapkan kebijakan yang dipilihnya.
Suasana ini, jelas sangat berbeda dengan betapa konsistennya masyarakat mengkonsumsi nasi. Rakyat di negeri ini benar-benar sangat taat azas untuk menyantap nasi sebagai makanan utamanya.
Kementerian Pertanian pun kemudian mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi sumber pangan lokal, dan mengajak masyarakat agar mengubah pola pikir, bahwa beras bukan satu-satunya sumber karbohidrat, karena masih banyak sumber pangan lokal seperti umbi-umbian, sukun, jagung, sagu dan lainnya yang nilai gizinya setara dengan beras.
Berdasarkan data pola konsumsi menunjukkan bahwa beras atau nasi masih mendominasi porsi menu konsumsi masyarakat hingga 60 persen padahal idealnya maksimal 50 persen agar masyarakat dapat hidup lebih sehat, aktif, dan produktif.
Memang, untuk memenuhi kecukupan pangan dan gizi tersebut, harus didukung dengan peningkatan produksi yang bersifat eksponensial atau tidak linier di sektor pertanian, melalui berbagai upaya seperti inovasi teknologi, intensifikasi, ekstensifikasi, pendampingan, penyediaan modal usaha, dan akses pasar.
Kampanye B2SA
Menghadapi kondisi yang demikian, wajar-wajar saja bila kemauan politik untuk menerapkan kebijakan diversifikasi pangan di negeri ini, terkesan masih sulit untuk diwujudkan dalam bentuk tindakan politiknya.
Apa yang tertulis dalam regulasi, sangat berlainan dengan apa yang ditemukan di lapangan.
Memang, ada keinginan dari para penentu kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah, agar kebijakan meragamkan pola makan masyarakat dikelola secara sungguh-sungguh.
Pemerintah tidak lagi setengah hati untuk melakukannya. Tidak boleh juga hanya sekadar coba-coba dalam menggarapnya. Pemerintah dituntut untuk mampu melahirkan terobosan cerdas.
Pengalaman selama ini menunjukkan, langkah Pemerintah yang menerapkan pendekatan proyek terhadap program dan kegiatan semacam ini, terbukti mengalami kegagalan, khususnya jika diteropong dari sisi keberlanjutan program.
Ini penting dijadikan catatan, karena setelah proyek selesai, maka program dan kegiatannya pun menjadi ikut-ikutan selesai dengan sendirinya.
Meragamkan pola makan, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk mengurangi konsumsi beras masyarakat terhadap beras. Ketergantungan masyarakat terhadap nasi perlu dikurangi.
Masyarakat penting diberi pemahaman yang benar tentang makanan beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA).
Baca juga: Telaah - Strategi menggairahkan budi daya kedelai lokal
Masyarakat bukan cuma butuh kampanyenya, tapi bagaimana penerapannya di rumah tangga. Bagaimana dan melalui cara apa masyarakat mendapatkan makanan B2SA jika penghasilan masyarakat relatif terbatas.
Dengan kondisi kehidupan saat ini, cukup kesusahan bagi sebagian besar masyarakat mengkonsumsi makanan B2SA. Kampanye B2SA memang perlu dibarengi dengan upaya meningkatkan pendapatan rakyat, agar daya belinya menjadi lebih baik.
Baca juga: Opini - Hari tani dan kebangkitan petani milenial
Sebab, tanpa peningkatan daya beli, mana mungkin rakyat akan mampu mengkonsumsi makanan B2SA. Di sisi lain, semua juga tahu persis, sebagian besar masyarakat di negeri ini masih terjebak dalam suasana "hidup pas-pasan".
Bagi golongan masyarakat yang demikian, yang dipentingkan hanyalah ada beras di rumahnya. Lauk pauk sendiri tidak terlampau dimasalahkan.
Terkadang cukup dengan ikan asin saja, mereka sudah dapat meneruskan kehidupan. Itu sebabnya, kampanye B2SA akan sangat cocok untuk mensubstitusikan beras dengan pangan non-beras berbasis pangan lokal.
Baca juga: Opini - Pesan moral dari pertemuan para menteri pertanian G20 di Bali
B2SA mestinya mampu mengerem konsumsi beras yang saat ini sudah menunjukkan lampu kuning. Mari semua kembalikan ke lampu hijau agar tidak menjadi lampu merah. Ini soal serius yang butuh penanganan dengan penuh tanggung jawab dari semua pihak.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPS HKTI Jawa Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Terobosan cerdas mendiversifikasi pangan lokal