Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur, Dr Ahmad Atang mengatakan wacana tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan upaya mencari format demokrasi yang permanen.

"Indonesia saat ini sedang dalam proses transisi demokrasi menuju ke konsolidasi demokrasi, sehingga format demokrasi kita belum permanen karena masih mengalami perbaikan mulai dari regulasi sampai pada praktiknya," katanya ketika dihubungi di Kupang, Jumat, (14/10/2022).

Ia mengatakan hal itu menanggapi wacana Pilkada lewat jalur DPRD yang kembali mengemuka dari para pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Wacana tersebut, kata dia, bukan hal yang luar biasa karena ini sering menjadi diskursus publik yang belum menemukan kata sepakat secara politik.

Jika merujuk ke belakang, sebetulnya selama 32 tahun Indonesia menganut demokrasi representasi di mana jabatan politik dari presiden hingga kepala daerah dipilih oleh lembaga legislatif, namun sejalan dengan amandemen undang-undang kemudian terjadi pergeseran demokrasi dari representasi ke demokrasi partisipasi dimana rakyat sendiri yang menentukan siapa pemimpinnya, maka dilaksanakan pilpres dan pilkada.

Sekarang wacana yang sama muncul kembali dan akan menjadi diskursus publik. "Bagi saya saat ini tidak ada format demokrasi yang benar-benar pas untuk setiap negara dan dapat memuaskan semua orang, namun yang terpenting adalah kemauan politik yang menjadi kesepakatan," katanya.

Menurut dia, jika dikehendaki kembali ke demokrasi representasi maka pintu masuknya adalah amandemen undang-undang untuk mengembalikan model sirkulasi elit melalui DPRD.

Kajian secara politik dan ekonomi terkait model sirkulasi elit melalui DPRD memang perlu dibahas karena pilpres dan pilkada secara langsung melahirkan demokrasi dengan ekonomi biaya tinggi. 

"Maka demokrasi kita saat ini menjadi format yang terlalu mahal biayanya," katanya.

Menyinggung terkait kaitan wacana tersebut dengan momentum Pemilu 2024, Ahmad Atang mengatakan tidak melihat adanya kepentingan politik di balik wacana tersebut karena dalam isu politik yang dinamis soal pilpres, memainkan isu pilkada tidak memberikan bonus elektoral apapun.

Baca juga: Artikel - Merawat taman sari Indonesia, menolak politik identitas

Meskipun wacana ini muncul lagi namun isunya tetap sama bahwa pada momentum politik 2024 mendatang desain politik identitas akan menguat. 

Baca juga: Pengamat sebut tiga hal penting kelola anggaran Pilkada 2024

"Desain ini tidak berhenti di pilpres namun akan berdampak pada pilkada karena waktunya berdekatan," katanya.

Pewarta : Aloysius Lewokeda
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024