Kupang (ANTARA) - Aktivis perempuan muda Serena Cosgrova Francis menilai upaya pemerintah untuk mendorong pengesahan rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang merupakan bukti upaya pemerintah berupaya melindungi PRT di Indonesia.
"Menurut saya, adanya agenda pembahasan RUU PPRT serta upaya mendorong pengesahan rancangan undang-undang itu sudah menandakan adanya atensi dari pemerintah terkait PRT," katanya di Kupang, Kamis, (9/3/2023).
Menurut dia, pemerintah dan masyarakat perlu mengawal secara intensif pengesahan RUU PPRT itu, sehingga bisa segera disahkan setelah kurang lebih dua tahun diusulkan untuk dibahas dan disahkan.
Serena juga mengatakan bahwa tak hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi perlu juga dukungan dari non government organization (NGO), komunitas perempuan untuk terus mengawal agar pembahasannya tidak fokus pada agenda lainnya.
Dia menilai bahwa sejauh ini PRT belum mendapatkan atau memperoleh hak dasar dan perlindungan secara hukum.
"Oleh karena itu kami mendorong agar para pembuat kebijakan untuk terus mengawal itu itu sehingga PRT dapat memperoleh hak dasar dan perlindungan secara hukum," ujar dia.
Terkait masih banyaknya kasus kekerasan seksual kepada kaum perempuan, menurut dia, masih kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan pihak keamanan serta media, walaupun UU tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) sudah disahkan.
"Saya percaya di luar sana masih banyak kejadian kekerasan seksual terhadap perempuan, namun karena adanya stigma tertentu di masyarakat, sehingga hal tersebut masih dianggap tabu untuk dibahas, bahkan korban memilih untuk diam," ujar dia.
Menurut dia, penting untuk kaum perempuan sadar akan hal tersebut dan diperlukan edukasi secara masif tidak hanya untuk kaum perempuan, namun juga untuk laki-laki.
Dia pun menilai bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan melakukan sosialisasi UU TPKS. Namun, yang diperlukan adalah pengawalan dari hulu hingga hilir.
"Mulai dari edukasi seksual dengan menghapuskan perasaan tabu saat membahas permasalahan seksualitas, pendataan pelaku secara terintegrasi untuk mencegah pergerakan serupa, hingga sanksi kepada aparat bila memutus perkara tak sesuai dengan UU TPKS," ujarnya.
Upaya sosialisasi UU TPKS kepada aparat penegak hukum masih mutlak diperlukan, kata dia, sebab regulasi tersebut merupakan aturan yang terbilang baru, tidak hanya polisi yang memerlukan pemahaman, tetapi juga penegak hukum lain seperti hakim dan jaksa.
"Jaksa dan hakim juga harus memiliki pemahaman yang sama bahwa kekerasan itu bukan semata-mata kekerasan fisik karena UU kita sudah mengklasifikasi bahwa kekerasan non-fisik juga adalah satu bentuk kekerasan," ujarnya.
Dia juga menilai bahwa Kementerian PPPA juga tengah melakukan upaya sosialisasi UU TPKS kepada masyarakat serta aparat penegak hukum. Namun demikian, diharapkan aparat juga dapat lebih proaktif untuk memastikan apakah sebuah perkara memenuhi unsur pidana, khususnya kekerasan seksual atau tidak
Baca juga: Aktivis sebut perempuan rentan terhadap dampak perubahan iklim
.Baca juga: Lima negara ASEAN mengutuk eksekusi mati aktivis demokrasi Myanmar