Kupang (ANTARA) - Aktivis perempuan dan lingkungan dari Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur Aleta Baun menilai bahwa perempuan rentan terhadap dampak perubahan iklim yang terjadi di suatu daerah.
“Perempuan dikatakan rentan terhadap perubahan iklim, karena perempuanlah yang mengurus pangan. Kita boleh saat ini berada di sini, tetapi di rumah ibu-ibu sudah berpikir nanti anak-anak makan apa,” katanya di Kupang, Kamis, (17/11/2022).
Hal ini disampaikan dia saat diskusi bersama dalam peluncuran Festival Budaya Lokal NTT: Pesta Raya Flobamoratas yang dilakukan secara luring dan daring.
Menurut dia, jika lahan persawahan atau perkebunan rusak akibat perubahan iklim, kaum perempuan akan melakukan berbagai cara untuk bisa mendapatkan makanan.
Oleh karena itu, menurut dia, semua orang perlu mencintai lingkungan, mengelola alam secara arif dan bijaksana, sekaligus mengingat sosok ibu, dengan memastikan keterlibatan perempuan dalam setiap aksi dan program.
“Alam memberi kehidupan dari pangan, sandang, dan papan. Di rumah kita dan di masyarakat pada umumnya, perempuan berperan dalam menyediakan kebutuhan hidup, itu kebiasaan perempuan NTT,” ujar dia.
Dia menilai jika manusia tidak merawat alam atau lingkungan dengan baik maka sudah pasti akan berdampak buruk pada kesehatan, salah satunya pandemi COVID-19.
Madalena Eda Tukan, aktivis muda dari Larantuka, Flores Timur menilai perubahan iklim dan dampaknya bagi masyarakat menjadi permasalahan manusia di dunia, termasuk di NTT.
Sebagai anak muda, Madalena menceritakan bahwa kaum Muda di Flores Timur mempunyai cara tersendiri untuk menyuarakan permasalahan perubahan iklim di Flores Timur.
“Kami di Larantuka, Flores Timur terus-menerus menyuarakan aksi menjaga lingkungan dengan cara sendiri, yakni dengan cara bercerita atau mendongeng upaya-upaya yang dilakukan oleh nenek moyang dalam menjaga lingkungan,” ujar dia.
Upaya-upaya sederhana seperti itu, ujar dia, lebih mengena dan mudah ditangkap oleh anak-anak muda di daerah itu.
Baca juga: BNPT bilang perempuan miliki peran penting cegah radikalisme
Tentu saja, ujar dia, banyak komunitas kaum muda di NTT yang melakukan hal yang sama.
Baca juga: Rumah Perempuan: Kasus kekerasan pada perempuan-anak di NTT didominasi KDRT
Voice of Climate Action Country Engagement Manager, Yayasan Hivos Indonesia Arti Indallah Tjakranegara menyebut partisipasi masyarakat sebagai berarti dalam adaptasi perubahan iklim, seperti kelompok perempuan, anak muda, dan kelompok marjinal lainnya.
Aktivis sebut perempuan rentan terhadap dampak perubahan iklim
Perempuan dikatakan rentan terhadap perubahan iklim, karena perempuanlah yang mengurus pangan. Kita boleh saat ini berada di sini, tetapi di rumah ibu-ibu sudah berpikir nanti anak-anak makan apa...