Boyolali (ANTARA) - Desa Sruni, Kecamatan Musuk, berjarak sekitar 30 menit dari pusat Ibu Kota Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Desa Sruni yang dulu dikenal sebagai desa peternak sapi, karena hampir setiap warga memiliki ternak sapi, kini juga dikenal sebagai desa mandiri energi karena masyarakat setempat mampu memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Desa Sruni berada di lereng Gunung Merapi (2.980 mdpl) dari sisi Kabupaten Boyolali yang dikenal sebagai sentra peternakan sapi dan produsen susu. Gunung Merapi secara administratif terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah (meliputi Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman).
Sementara itu, pengembangan penggunaan biogas di Desa Sruni bermula karena kegalauan warga yang bingung harus membuang kemana kotoran sapi mereka yang terus-menerus bertambah setiap hari.
Ketika musim hujan selalu saja membawa bencana bagi desa tersebut. Limbah yang tertumpuk terbawa air hujan hingga mengalir ke lahan tetangga sehingga sangat mengganggu.
Kondisi tersebut membuat salah satu warga Desa Sruni bernama Setiyo yang juga sebagai Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Agni Mandiri tergerak untuk mencari cara agar limbah sapi tidak lagi mengganggu lingkungan.
Akhirnya, ia bersama sebelas teman yang lain hampir setiap hari membahas kemungkinan dibuatnya biogas dengan memanfaatkan limbah ternak sapi tersebut.
Mereka kemudian bertemu dengan salah satu kawan yang berasal dari Kecamatan Selo, Boyolali, yang juga seorang peternak dan sudah lebih dulu menerapkan biogas skala rumah tangga.
Dari pertemuan tersebut, Setiyo bersama teman-temannya makin tertarik untuk mencoba menerapkan hal serupa. Pada awal pembuatan biogas, mereka menghadapi kendala dana yang tidak sedikit, sekitar Rp2,5 juta. Akhirnya mereka memutuskan untuk membuat demplot dulu.
Selanjutnya, Setiyo membeli bahan-bahan yang dibutuhkan dan kesebelas rekannya membantu proses pemasangan. Pembuatan demplot tidak mengeluarkan ongkos untuk membayar tenaga kerja.
Satu bulan usai pemasangan digester atau biodigester, api mulai menyala dan bisa digunakan untuk memasak. Hal ini membuat sebelas rekan yang lain segera melakukan hal serupa dengan konsep pemasangan dilakukan secara gotong-royong.
Biodigester adalah alat untuk mengubah limbah organik menjadi biogas. Biogas itu sendiri merupakan salah satu energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari mulai dari memasak hingga kebutuhan listrik.
Beberapa dari teman Setiyo dalam kesempatan berikutnya memanfaatkan fasilitas pinjaman dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Para peternak yang berhasil memperoleh pinjaman ini bisa mengembalikan pinjaman dengan cara mengangsur maksimum satu tahun dan bebas bunga.
Seiring berjalannya waktu, hingga saat ini sudah ada lebih dari 200 rumah tangga yang memasang biogas di rumah masing-masing dengan memanfaatkan kotoran hewan ternak, utamanya sapi, yang mereka miliki.
Salah seorang ibu rumah tangga dari Desa Sruni, Asriyah, mengaku dengan dikembangkannya pemanfaatan kotoran ternak sapi menjadi biogas maka sejak tahun 2014 sudah jarang membeli elpiji. Dia selalu memanfaatkan biogas untuk memasak kebutuhan sehari-hari.
Perempuan berusia 42 tahun tersebut hanya membeli elpiji saat ada hajatan besar yang mengharuskan memasak dengan menggunakan beberapa tungku sekaligus. "Paling setahun beli 2-3 kali saja. Selebihnya pakai biogas," katanya menambahkan.
Dengan demikian, penggunaan biogas sangat menghemat pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Asriyah dulunya rata-rata menggunakan elpiji satu tabung melon/minggu.
Jika dibandingkan antara penggunaan elpiji biasa dengan biogas, nyala api menggunakan bahan bakar biogas jauh lebih besar. Sedangkan dari sisi hasil masakan tidak ada perbedaan. Meski demikian, untuk kompor yang menggunakan biogas harus sering-sering dibersihkan dari belerang yang keluar bersama dengan api.
Pendampingan Pertamina