Jakarta (ANTARA) - Energi menjadi isu krusial lantaran Pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya mempercepat upaya transisi energi, misalnya dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan menurunkan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Pemerintah memang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor energi sebesar 358 juta ton CO2 atau 12,5 persen dengan kemampuan sendiri atau 446 juta ton CO2 atau 15,5 persen dengan bantuan internasional pada 2030 sesuai dokumen National Determined Contribution (NDC).
Selain itu, pemerintah juga menargetkan emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060 atau bahkan lebih cepat.
Pemerintah pun mendorong pemanfaatan EBT untuk mencapai target-target tersebut. Indonesia sendiri memiliki potensi energi yang besar untuk pemanfaatan EBT dari energi surya, hidro, bioenergi, bayu, panas Bumi, hingga laut.
Dalam gelaran Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties/COP-28) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) baru-baru ini, Presiden Joko Widodo juga menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai target tersebut.
Kendati demikian, Indonesia membutuhkan investasi lebih dari 1 triliun dolar AS untuk mewujudkan NZE pada 2060.
Oleh karena itu, Indonesia mengundang kolaborasi dari mitra bilateral, investasi swasta, dukungan filantropi, dan dukungan negara-negara sahabat.
Partisipasi BUMN yang bergerak di bidang energi pada COP-28, yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) juga diharapkan dapat mendukung target NZE melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan beberapa perusahaan global.
Jika ditarik ke belakang, upaya transisi energi juga sangat relevan dengan kejadian memburuknya situasi udara di DKI Jakarta sekitar Agustus 2023.
Banyak pihak saat itu mendorong Pemerintah mengembangkan infrastruktur transportasi sumber energi terbarukan seperti kendaraan listrik (electric vehicle/EV) maupun penerapan biodiesel dan biofuel di kereta api, bus, dan moda transportasi umum lainnya.
Isu energi