Labuan Bajo (ANTARA) - Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) Adrianus Ojo menyatakan Sistem Evaluasi Mingguan Ibu dan Bayi Resiko Tinggi (Simabaresti) sebagai inovasi pemerintah guna menekan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) di daerah itu.
"Melalui Simabaresti, pemantauan ibu hamil, ibu nifas, dan bayi resiko tinggi dilakukan berkala dan dilaporkan setiap minggu via zoom meeting," katanya dihubungi di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis.
Ia menambahkan, dalam pertemuan daring setiap minggu itu melibatkan semua fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL), dan dokter spesialis rumah sakit.
Melalui Simabaresti juga diberi ruang bagi para kepala puskesmas di daerah itu untuk melaporkan berbagai hal di wilayah kerja seperti kondisi ambulan, laporan harian pemanfaatan RTK, laporan kondisi alat kesehatan, ketersediaan dokter, ketersediaan tenaga kesehatan dan laporan lain terkait pelayanan kesehatan kepada masyarakat, termasuk pengaduan masyarakat.
Adrianus menjelaskan AKI dan AKB di Manggarai Barat menunjukkan tren fluktuatif dalam lima tahun terakhir.
Untuk kematian ibu, lanjut dia, angkanya bergerak dari tujuh kasus pada tahun 2021, delapan kasus pada tahun 2022, tujuh kasus pada 2023, turun drastis menjadi dua kasus pada tahun 2024 dan kembali naik menjadi tujuh kasus hingga awal November 2025.
"Tren kematian ibu cenderung meningkat, meski sempat turun drastis di 2024. Sayangnya, di tahun ini kami melihat kenaikan kembali," ujarnya.
Sementara untuk kematian bayi, angkanya belum menunjukkan penurunan signifikan. Pada 2021 tercatat kematian bayi sebanyak 67 kasus, 60 kasus pada 2022, pada 2023 sebanyak 61 kasus, sebanyak 66 kasus pada 2024, dan 42 kasus hingga Oktober 2025.
"Kematian bayi dalam periode ini tidak banyak berubah dan penurunan di 2025 perlu dicermati karena datanya masih hingga Oktober," ungkapnya.
Ia juga menjelaskan berdasarkan analisis Tim Audit Maternal dan Perinatal (AMP), penyebab langsung kematian ibu di Manggarai Barat didominasi oleh perdarahan sebanyak 14 kasus dan pre-eklamsi atau eklamsi sebanyak sembilan kasus. Untuk kematian bayi, penyebab utama adalah asfiksia sebanyak 111 kasus dan bayi berat lahir rendah atau prematur sebanyak 83 kasus.
"Namun, masalah non medis justru menjadi pendorong utama," ujarnya.
Ia menjelaskan, masalah non medis yang menjadi pendorong angka kematian ibu dan bayi diantaranya masih tingginya persalinan di rumah, ketidakpatuhan pada anjuran tenaga kesehatan, dan belum optimalnya pemanfaatan rumah tunggu kelahiran.
Lebih lanjut, ia mengimbau kepada masyarakat agar semua persalinan wajib di fasilitas kesehatan. Ibu hamil yang mendekati masa persalinan diharapkan mengoptimalkan rumah tunggu kelahiran.
Kepada tenaga kesehatan, lanjut dia, ia meminta agar meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi, melakukan drill emergensi rutin, dan memastikan ketersediaan alat dan obat.
"Lakukan stabilisasi pasien sebelum dirujuk dengan berpedoman pada bidan, alat, keluarga, surat, obat, kendaraan, uang, darah (Baksokuda)," katanya.

