Pamekasan (ANTARA) - "Ratu dunia, ratu dunia, oh wartawan ratu dunia. Apa saja kata wartawan mempengaruhi pembaca koran. Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji. Bila wartawan mencaci, dunia ikut membenci. Wartawan dapat membina, pendapat umum di dunia."
"Bila wartawan terpuji, bertanggung jawab berbudi. Jujur tak suka berdusta, beriman serta bertaqwa, niscaya besar jasanya dalam membangun dunia. Tetapi bila wartawan suka membuat keonaran. Tak jujur suka bedusta, tak beriman tak bertaqwa. Bisa merusak dunia, ibarat racun dunia".
Lagu berjudul Wartawan Ratu Dunia yang dipopulerkan oleh band kasidah modern Indonesia, asal Semarang, Jawa Tengah, Nasida Ria ini, menguatkan persepsi betapa kuatnya peran wartawan dan media dalam membentuk opini publik. Melalui bait lagu yang diciptakan oleh Abu Ali Haidar ini, Nasida Ria seolah menempatkan wartawan sebagai makhluk superior yang memiliki otoritas dan membuat citra, baik citra personel, institusi ataupun lembaga.
Pada konteks ini, band kasidah yang didirikan oleh seorang guru qiraat pada tahun 1975, yakni HM Zain tersebut seolah mempersepsikan bahwa wartawan merupakan penentu dan berperan seperti penata lakon dalam sebuah alur cerita, dalam realitas sosial, di samping ahli dalam mengemas penampilan yang bisa menimbulkan persepsi baik bagi khalayak, melalui hasil karya jurnalistik.
Hanya saja, peran dominan wartawan harus dalam bingkai etika moral sosial dan agama yang dalam bait lagu itu juga disebutkan, harus jujur dan tidak suka berdusta, serta beriman dan bertakwa.
Tentu saja, pesan moral lagu ini, bukan dimaksudkan untuk menempatkan wartawan segalanya, ketika ia menyebut bahwa orang yang menjadi wartawan dapat membina pendapat umum di dunia, sebagaimana dalam lagu itu.
Akan tetapi, Nasida Ria tampaknya hendak menjelaskan kepada publik bahwa wartawan bukanlah kelompok mayoritas, melainkan sekelompok kecil orang yang memiliki komitmen pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dengan ditopang oleh kemampuan jurnalistik. Ini karena tugasnya sebagai penyampai informasi kepada khalayak. Jadi dari sekelompok kecil, kepada kelompok yang lebih besar.
Dengan menetapkan rambu-rambu peran dominan wartawan, serta komitmen pada nilai yang disebut dalam lagu ini untuk perdamaian dunia sebagai keharusan, maka secara tidak langsung Nasida Ria sebenarnya telah berpijak pada teori awal pers yang diperkenalkan Harold D. Lasswell (1994), bahwa media massa sebenarnya menyampaikan refleksi yang akurat mengenai realitas sosial kepada khalayak.
Formula dari teori komunikasi Lasswell ini adalah pada siapa yang mengatakan (who), lalu mengatakan apa (says what) medium atau saluran yang digunakan (in which channel), lalu siapa yang akan menerima pesan (to whom), dan dampak atau efek dari informasi yang disampaikan (with what effect). Sehingga melalui formula ini, titik tekannya pada efek terhadap khalayak serta bagaimana media massa mempengaruhi khalayak sasaran, melalui isi berita yang tersalurkan melalui media, yang oleh Nasida Ria disebutkan koran.
Paradigma positivistik yang tercermin melalui lagu berjudul Wartawan Ratu Dunia ini wajar, karena media arus utama di era 1980-an, saat lagu ini populer hanya jenis media cetak koran. Kalaupun ada media elektronik, hanya terbatas pada Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI). Media dalam jaringan (daring) kala itu tidak populer seperti sekarang ini, apalagi media sosial, sehingga media dengan pola komunikasi satu arah, merupakan pola satu-satunya.
Karena jumlah media massa terbatas, maka isi berita media menjadi sangat penting, ditunggu publik, dan dianggap sebagai bentuk realitas sosial yang sebenarnya yang didiskripsikan wartawan melalui tulisan. Menjadi wartawan, dinilai merupakan prestasi yang membanggakan dan dipersepsi hanya orang-orang yang mampu menulis sesuai fakta yang sebenarnya yang akan diterima dalam berbagai tes penerimaan calon wartawan.
Media baru
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, media pada akhirnya juga mengalami perkembangan. Media massa bukan satu-satunya media yang menyediakan saluran informasi kepada khalayak.
Kehadiran media sosial seperti facebook, twitter, instagram, blogspot, dan youtube mampu memberikan nuansa baru di bidang informasi. Jenis media ini tidak hanya menyediakan akses informasi saja, akan tetapi juga ruang dialog antarsesama pengguna media sosial.
Penyampai informasi yang dalam media massa tidak hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja, akan tetapi pada semua pemilik akun media sosial tersebut. Di media sosial, semua orang merupakan wartawan yang bebas menyampaikan informasi kapan saja dan dimana saja, tanpa harus melalui seleksi ketat tim editor sebagaimana di media massa.
Fenomena baru dunia informasi melalui media sosial ini, tentu saja membawa perubahan dan perilaku baru khalayak dalam mengakses informasi. Tawaran informasi yang lebih cepat, dibanding media massa konvensional menjadi daya tarik tersendiri. Disamping pola komunikasi interaktif melalui komentar dan tanggapan balik yang tersedia menjadikan media sosial lebih digemari khalayak.
Dampaknya adalah terciptanya pengaburan informasi antara media sosial dengan media massa di sebagian masyarakat. Informasi yang disampaikan oleh warganet di media sosial cenderung dianggap oleh sebagian orang sama dengan informasi di media massa.
"Ini memang menjadi persoalan media massa kita akhir-akhir ini, sehingga perlu menjadi perhatian serius para insan pers di negeri ini," kata Penasihat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumenep Moh Rifa'e dalam dialog bertajuk Fenomena Media Massa di Era Disruptif di Sumenep belum lama ini.
Menurut Rifa'e, perkembangan teknologi informasi ini memang cenderung berbanding lurus dengan perkembangan media massa daring. Sebab, berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, bahwa media daring mengalami perkembangan pesat, yakni sebanyak 43.300 media pada 2017 dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 67.100 media, dengan jumlah media terverifikasi hanya sebanyak 233 media.
Perkembangan pesat media massa daring ini, akibat terpengaruh oleh media sosial, sehingga pola pengelolaan media daring, di sebagian daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, mirip dengan industri rumah tangga (home industry). Misalnya, susunan redaksinya terdiri dari personel dalam satu keluarga, lalu pemimpin redaksi merangkap jabatan, seperti wartawan yang juga merangkap sebagai redaktur, bahkan kantor medianya pun cenderung portabel.
Tak ada prasyarat pokok untuk menjadi seorang wartawan bagi media-media lokal semi home industry ini. Siapa saja, mudah menjadi wartawan, kendatipun tanpa dibekali dengan pengetahuan tentang jurnalisme yang memadai, dan tidak paham akan kode etik jurnalis. Cerita nyata seorang tukang parkir kemudian menjadi wartawan, seperti yang sering menjadi perbincangan wartawan di Kabupaten Sumenep, bukan cerita fiktif, akan tetapi nyata. Dengan demikian, "wartawan" minus kompetensi dianggap hal yang biasa.
Wartawan berstandar ganda, seperti merangkap menjadi anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengacara, bahkan ada yang dari kalangan preman adalah bagian dari realitas wartawan di kabupaten paling timur di kabupaten dengan slogan Kota Sumekar ini.
"Ketika kondisinya memang seperti ini, maka wajar apabila banyak perusahaan media yang tidak memenuhi standar undang-undang, dan tulisannya tidak benar secara ejaan bahasa, bahkan abai terhadap keseimbangan dalam penyajian berita konflik," kata Rifa'e.
Jika mengacu kepada standar ideal sebagai institusi yang menjadi pilar keempat dalam sistem negara yang menganut demokrasi, kata dia, maka profesionalisme menjadi hal penting, disamping kompetensi wartawan yang harus memadai.
Kecepatan informasi cenderung lebih diutamakan daripada akurasi isi informasi dan penulisan berita yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sehingga wajar jika isi media massa, terutama media daring cenderung abai pada kaidah tata bahasa.
Butuh kebijakan pendukung
Dosen Ilmu Komunikasi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura Esa Arif AS menyatakan dibutuhkan kebijakan dan upaya serius dari pemerintah dan insan pers untuk mendukung penguatan peran media massa dibanding media sosial itu yang akhir-akhir ini dinilai mulai kabur itu.
Pertama, pada kualitas konten berita. Media massa harus mampu menyajikan informasi yang lebih lengkap, penuh dengan data-data pendukung, serta berorientasi pada pencerahan dan pendidikan publik.
Kedua, kompetensi personal wartawan. Penyampai informasi atau produsen informasi harus memiliki kompetensi khusus, sesuai dengan profesinya sebagai wartawan. Jika kemampuan wartawan media massa sama dengan kebayakan orang, maka tidak ada bedanya dengan masyarakat pemilik akun sosial pada umumnya.
"Ketiga, media massa itu harus bisa menciptakan arus informasi yang benar-benar penting, bernilai guna dan tepat guna, sehingga berbeda dengan media sosial. Sekarang yang terjadi, sebagian wartawan justru menjadikan media sosial sebagai berita. Ini kan parah sekali," kata Esa.
Oleh karenanya, kata dia, perlu upaya sistemik dan berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pengelola media massa melalui program yang terukur, salah satunya seperti kegiatan uji kompetensi wartawan.
Jika ketiga hal itu dilakukan, Esa yakin peran media massa sebagai kontrol sosial dan alat pendidikan bagi publik, serta sebagai pilar demokrasi keempat bisa terwujud dengan baik.*