KPU harus mendesain pemilu tanpa korban

id pemilu serentak

KPU harus mendesain pemilu tanpa korban

Akademisi dari Universitas Muhammadyah Kuang Dr Ahmad Atang. (ANTARA/Bernadus Tokan)

"Dengan dikeluarkannya keputusan MK tersebut maka menjadi tugas penyelenggara dalam hal ini KPU untuk mendesain pemilu tanpa korban," kata Ahmad Atang..
Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang MSi mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus dapat mendesain pemilu tanpa korban, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pemilu tetap dilaksanakan secara serentak.

"Dengan dikeluarkannya keputusan MK tersebut maka menjadi tugas penyelenggara dalam hal ini KPU untuk mendesain pemilu tanpa korban," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Sabtu (29/2).

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan putusan MK terkait pemilu yang tetap dilaksanakan serentak, dan bagaimana meminimalisir jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi pada Pemilu serentak 2019.

Pemilu serentak yang dilakukan tahun 2019 telah menuai kritik, karena organ penyelenggara di tingkat bawah banyak yang mengalami musibah kematian akibat kelelahan bekerja.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (tengah) berbincang dengan Gubernur Bali Wayan Koster (kanan) dan Kapolda Bali Irjen Pol Petrus Reinhard Golose (kiri) saat Rapat Koordinasi Bidang Politik dan Pemerintahan Umum dan Deteksi Dini Mendukung Sukses Pilkada Serentak tahun 2020 di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (27/2/2020). (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)
Oleh karena itu, pemilu serentak perlu ditinjau kembali untuk pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. "Putusan MK tersebut untuk menjawab gugatan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017," katanya.

Ia menambahkan MK tetap akan mengakomodasi pemilu serentak, maka otomatis model ini tetap sama dilaksanakan pada Pemilu 2024.

Ahmad Atang mengatakan, berkaca dari pemilu yang lalu, KPU perlu menemukan modus yang sederhana, berkualitas, dan profesional untuk menjadi acuan di tingkat bawah untuk dipedomani.

Menurut dia, persoalan sumber daya manusia (SDM), fasilitas, sarana dan prasarana pendukung, durasi waktu harus diformat secara cermat agar penyelenggara tidak terbebani.

"Petugas penyelenggara di tingkat bawah harus merasa nyaman, hikmat, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas," kata pengajar ilmu komunikasi politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu.

Sungguhpun begitu, masih ada pintu untuk perbaikan undang-undang tersebut, yakni melalui revisi Undang-Undang Pemilu yang akan dibahas oleh DPR.

"Jika Kemendagri mengajukan revisi, maka pikiran masyarakat bisa diakomodasi melalui lembaga politik jika melalui jalur hukum gagal," katanya.
Suasana pencolosan di TPS jalan Kalimantan, Makassar, Sulawesi Selatan saat Pemilu Legislatif dan Presiden 2019 lalu. (ANTARA/dok.Darwin Fatir/Ilustrasi)