Jakarta (Antara NTT) - Pemerintah menilai Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sudah tidak lagi memadai dalam mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam UU Ormas juga tidak memiliki asas hukum contrario actus, yang mana kementerian pemberi izin ormas (Kemenkumham) tidak memiliki kewenangan untuk mencabut atau membatalkannya.
Pemerintah tampaknya berpendapat bahwa ketentuan yang mengatur ormas ini harus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Karena dalam UU Ormas pengertian ajaran dan tindakan bertentangan Pancasila dirumuskan secara sempit dan terbatas pada atheisme, komunisme, marxisme dan leninisme.
Padahal sejarah di Indonesia membuktikan ajaran-ajaran lain juga bisa menggantikan atau bertentangan dengan Pancasila.
Oleh sebab itu, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 sebagai perubahan atas UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Perppu ini kemudian menuai pro dan kontra baik di kalangan masyarakat dan sejumlah aktivis ormas di Indonesia.
Kebijakan pemerintah ini kemudian dinilai sewenang-wenang oleh sejumlah ormas yang kemudian menggelar yang diberi nama Aksi 287 pada Jumat (28/7). 287 mengacu pelaksanaan kegiatan 28 Juli.
Penggagas aksi ini adalah Presidium Alumni 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI). 212 juga mengacu aksi unjuk rasa penistaan agama yang digelar 2 Desember 2016.
GNPF MUI, Presidium Alumni 212, bersama dengan ormas lainnya menolak perppu tersebut dengan menggelar aksi jalan kaki dari Masjid Istiqlal menuju gedung Mahkamah Konstitusi (MK) usai shalat Jumat.
Diperkirankan massa yang beraksi mencapai 5.000 orang dikawal sekitar 10.000 personil kepolisian, TNI dan petugas dari unsur Provinsi Pemerintah DKI Jakarta.
Ketua Tim Kuasa Hukum GNPF-MUI Kapitra Ampera menyatakan bahwa aksi ini juga bertujuan untuk mengawal sejumlah ormas yang akan mengajukan uji materi Perppu Ormas di MK.
Sejumlah ormas yang dimaksud adalah Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah, Yayasan Forum Silahturrahim Antar Pengajian, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, DPP Front Pembela Islam, dan Perkumpulan Hidayatullah.
Selain lima organisasi ini, lima perorangan warga Indonesia juga bergabung untuk mengajukan uji materi Perppu Ormas. Lima orang itu adalah Amril Salifa, Zuriaty Anwar, Muhclis Zamzani Can, Munarman, dan Chandra Kurnianto.
Pihak kepolisian kemudian membantu memfasilitasi sejumlah perwakilan pengunjuk rasa untuk menemui pejabat MK.
MK yang diwakili oleh Panitera Kasianur Sidauruk dan Peneliti MK Nalom Kurniawan, kemudian menerima 26 perwakilan dari Aksi 287. Kapitra mengatakan dari 26 orang yang ikut dalam pertemuan tersebut, empat diantaranya adalah pihak yang akan mengajukan permohonan uji materi Perppu Ormas di MK.
"Kami menganggap ada pasal-pasal dalam Perppu ini karena mengancam hak asasi khususnya hak berserikat dan berkumpul," ujar Kapitra usai dialog dengan MK.
Kapitra melihat adanya ancaman untuk anggota ormas dalam Perppu, berupa pidana lima hingga 20 tahun.
"Kami ingin mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan hati kami melalui cara yang bermartabat sesuai dengan konstitusional, agar Perppu ini diuji dengan layak," kata Kapitra.
Kapitra berharap Perppu ini nantinya bisa menjadi aturan yang menjadikan masyarakat sejahtera namun tidak mengebiri hak-hak dasar masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi.
Melalui Perppu Ormas ini, pemerintah mencabut status hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena ormas ini dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Terkait dengan hal ini, Kapitra menyatakan Aksi 287 tidak hanya untuk membela HTI yang dibubarkan oleh Pemerintah melalui Perppu Ormas. Perppu itu tidak memuat nama HTI, tapi ini berlaku universal dari Sabang sampai Merauke, kata Kapitra.
Tanggapan MK
MK melalui juru bicaranya Fajar Laksono menyatakan MK menghormati dan menghargai siapapun yang datang ke MK, termasuk dengan tujuan untuk menyampaikan aspirasi. Namun yang pasti, sikap MK sesuai dan dalam koridor kewenangan konstitusionalnya, tidak boleh lebih.
Mengingat Perppu Ormas sudah masuk menjadi perkara di MK, maka MK harus menjaga posisinya sebagai pihak yang hanya boleh berpendapat melalui putusan.
Fajar kemudian menegaskan bahwa apapun yang muncul dari luar persidangan, tidak akan berpengaruh terhadap penanganan perkara di MK, termasuk uji materi Perppu Ormas.
MK tidak bisa diintervensi oleh opini publik atau desakan dari luar persidangan, MK tetap akan menjaga independensinya, kata Fajar.
MK juga berharap bila ada pihak-pihak yang ingin terlibat dalam memengaruhi pertimbangan putusan kelak, supaya dapat mengambil jalur-jalur konstitusional.
"Misalnya menjadi pihak terkait dalam perkara tersebut, lalu sampaikan pandangannya di hadapan Majelis Hakim Konstitusional, itu akan lebih elegan," katanya.
Sebelum Aksi 287, Organisasi Advokat Indonesia (OAI) dan HTI sudah terlebih dahulu mengajukan uji materi Perppu Ormas ini di MK, bahkan sudah memasuki masa sidang.
Dalam sidang pendahuluan, OAI menyebutkan bahwa Perppu Ormas merupakan suatu kemunduran dalam sistem demokrasi di Indonesia.
Di hadapan tiga orang Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, OAI berpendapat belum ada alasan yang mendesak, belum ada kepentingan hukum untuk segera dilakukan perubahan.
UU Ormas sebelumnya sudah mengatur upaya persuasif, mekanisme peringatan tertulis, pembekuan sementara, dan aturan pembubaran ormas melalui mekanisme yudisial. Namun upaya-upaya tersebut dihilangkan dalam Perppu Ormas.
Proses pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan dinilai OAI telah menghilangkan ruang bagi ormas untuk melakukan pembelaan diri serta klarifikasi yang seharusnya diberikan ruang melalui pengadilan.
HTI yang diwakili kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra juga memiliki pendapat yang sama, bahwa Perppu Ormas membahayakan demokrasi di Indonesia.
Kendati demikian, keputusan Pemerintah dalam menerbitkan Perppu Ormas tentu sudah dipikirkan matang-matang dan dilakukan atas nama kesatuan bangsa dan negara, demi menjaga Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.