Timnas Indonesia dipaksa menyerah dalam All England
Namun tidak disangka, aksi timnas yang sedang naik itu berakhir secara dramatis saat mereka digiring keluar dari arena karena....
Jakarta (ANTARA) - Penantian timnas bulu tangkis Indonesia untuk turun dalam turnamen bergengsi internasional akhirnya terpenuhi saat mereka tampil dalam All England 2021 setelah "mendekam" selama satu tahun di dalam negeru akibat pandemi virus corona.
Pada hari pertama, Skuad Merah Putih langsung tampil gagah yang ditandai dengan keberhasilan peraih medali emas Asian Games 2018 Jonatan Christie mengamankan babak pertama atas tunggal putra Thailand, Kunlavut Vitidsarn.
Wakil Indonesia pada ganda putra, dua pasangan yang menempati 1 dan 2 dunia, yaitu Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, juga sukses mendepak dua wakil tuan rumah dari turnamen bulu tangkis tertua di dunia ini.
Namun tidak disangka, aksi timnas yang sedang naik itu berakhir secara dramatis saat mereka digiring keluar dari arena karena penelusuran kontak oleh otoritas kesehatan Inggris membuktikan mereka satu pesawat dengan salah seorang penumpang yang positif COVID-19 dalam penerbangan ke Birmingham.
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti, dan Anthony Sinisuka Ginting yang semestinya tampil hari itu pun gagal unjuk gigi.
Menurut penuturan Praveen Jordan dalam unggahan akun media sosialnya, timnas tidak difasilitasi bus untuk kembali ke hotel dari Utilita Arena Birmingham, namun harus berjalan kaki.
Testimoni ini sontak memunculkan protes keras dari ofisial yang mendampingi atlet karena keputusan yang sangat tiba-tiba. PBSI sebagai induk organisasi turut meradang mendengar hal itu. Mereka menggandeng Kementerian Luar Negeri RI untuk mencari solusi diplomasi.
Keputusan mencurigakan
Keputusan menarik tim Indonesia dari All England memunculkan kecurigaan karena timnas mendapat perlakuan diskriminatif dari panitia pelaksana.
Seluruh anggota timnas diminta menjalani isolasi di hotel selama 10 hari dan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk kembali bertanding.
Namun anehnya, sebelum hari pelaksanaan ada sejumlah peserta yang dinyatakan positif COVID-19, namun kurang dari 24 jam mereka dinyatakan negatif dan bisa ikut berlaga.
Sementara dari hasil uji usap PCR terhadap timnas yang dilakukan dua kali di Birmingham menunjukkan kedua hasil tes itu negatif.
Ketua Umum PP PBSI Agung Firman Sampurna masih menantikan keterangan resmi Badan Layanan Kesehatan Inggris (NHS) untuk memberi informasi siapa penumpang pesawat yang dimaksud.
PBSI menuding NHS bertanggung jawab karena menjadi pihak yang menyebabkan timnas Indonesia ditarik oleh BWF dari All England.
Padahal selain mengikuti uji PCR di Birmingham, anggota timnas yang berangkat juga sudah menjalani dua kali suntik vaksin di Tanah Air.
Kecurigaan juga menyeruak setelah ada anggapan Indonesia sengaja disingkirkan agar tidak bisa menyabet gelar juara satu pun di Birmingham melalui aksi diskriminatif.
Baca juga: Indonesia minta turnamen All England sementara dihentikan
Penilaian itu sendiri didasarkan kepadsa hasil pertandingan hari pertama sekaligus terakhir timnas ketika dua ganda putra Indonesia mengalahkan wakil Inggris yaitu Matthew Clare/Ethan Van Leeuwen yang dikalahkan Minions, dan Ben Lane/Sean Vendy yang ditaklukkan The Daddies.
Pada laga Hendra/Ahsan melawan Lane/vendy, salah seorang hakim garis diketahui berasal dari Inggris, padahal ketentuan BWF mengharuskan hal itu tidak dibolehkan.
Saat match point gim terakhir, hakim garis tersebut sempat memberi peringatan kepada Ahsan yang dibalas dengan protes karena pebulu tangkis asal Palembang itu merasa tidak melakukan pelanggaran.
Namun yang fatal adalah keputusan BWF yang tidak menarik atlet tunggal putri Turki, Neslihan Yigit dan pelatihnya, dari turnamen. Padahal mereka juga satu pesawat bersama Skuad Merah Putih saat terbang dari Istanbul ke Birmingham.
Meski akhirnya Yigit juga ditarik BWF dari All England pada Kamis, keputusan itu terlambat dan tidak sportif. Belakangan Turki juga mengungkapkan ketidakpuasannya atas langkah terhadap Yigit itu.
Mencari solusi
Indonesia pantas kecewa karena akhirnya keputusan itu mutlak. Skuad Merah Putih pun tak bisa melanjutkan turnamen.
PBSI berusaha berlapang dada menerima keputusan itu dan tidak menunjuk kesalahan kepada BWF dan panitia pelaksana yang sejatinya hanya menaati aturan NHS.
Namun perjuangan belum berhenti. PBSI bersama Kemenlu kini masih berusaha memulangkan ke-24 anggota timnas dari Inggris.
Berdasarkan aturan otoritas Inggris, setiap warga negara asing yang berada dalam penerbangan yang di dalamnya terdapat penumpang positif COVID-19, harus menjalani isolasi selama 10 hari.
Namun timnas yang sudah kecewa harus dipaksa bersabar menunggu hingga masa isolasi selesai 27 Maret. Sementara All England berakhir pada 21 Maret.
Menurut Agung, hal itu hanya membuang-buang waktu dan lebih baik kembali ke Tanah Air, kembali berlatih di Pelatnas Cipayung.
Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya pun sepemikiran dengan PBSI. Dia dan jajarannya masih berusaha memulangkan timnas bulu tangkis Indonesia dengan melobi NHS dan pihak terkait.
Indonesia juga menyayangkan sikap Inggris yang tidak konsisten. Dalam masa ketibaan peserta, mereka tidak memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat, apalagi menerapkan gelembung sebagaimana yang dilakukan pada turnamen seri Asia di Thailand Open, Januari silam.
Baca juga: KBRI Inggris turun tangan terkait nasib Indonesia di All England
Bahkan peserta dari dari Denmark, India, dan Thailand masih bisa ikut bertanding hanya bermodal uji PCR ulang yang hasilnya keluar kurang dari satu hari setelah dinyatakan positif.
Agung tegas mengatakan peristiwa ini tidak hanya mencoreng sportifitas, namun juga mencederai harga diri bangsa yang terluka oleh tindakan diskriminatif.
Akan sulit bagi PBSI jika menyuarakan memboikot All England yang sudah berjalan memasuki perempat final, namun paling tidak dengan protes keras dan memperjuangkan nasib timnas akan menjadi cermin harga diri dan daya tawar bangsa di mata internasional.
Pada hari pertama, Skuad Merah Putih langsung tampil gagah yang ditandai dengan keberhasilan peraih medali emas Asian Games 2018 Jonatan Christie mengamankan babak pertama atas tunggal putra Thailand, Kunlavut Vitidsarn.
Wakil Indonesia pada ganda putra, dua pasangan yang menempati 1 dan 2 dunia, yaitu Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, juga sukses mendepak dua wakil tuan rumah dari turnamen bulu tangkis tertua di dunia ini.
Namun tidak disangka, aksi timnas yang sedang naik itu berakhir secara dramatis saat mereka digiring keluar dari arena karena penelusuran kontak oleh otoritas kesehatan Inggris membuktikan mereka satu pesawat dengan salah seorang penumpang yang positif COVID-19 dalam penerbangan ke Birmingham.
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti, dan Anthony Sinisuka Ginting yang semestinya tampil hari itu pun gagal unjuk gigi.
Menurut penuturan Praveen Jordan dalam unggahan akun media sosialnya, timnas tidak difasilitasi bus untuk kembali ke hotel dari Utilita Arena Birmingham, namun harus berjalan kaki.
Testimoni ini sontak memunculkan protes keras dari ofisial yang mendampingi atlet karena keputusan yang sangat tiba-tiba. PBSI sebagai induk organisasi turut meradang mendengar hal itu. Mereka menggandeng Kementerian Luar Negeri RI untuk mencari solusi diplomasi.
Keputusan mencurigakan
Keputusan menarik tim Indonesia dari All England memunculkan kecurigaan karena timnas mendapat perlakuan diskriminatif dari panitia pelaksana.
Seluruh anggota timnas diminta menjalani isolasi di hotel selama 10 hari dan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk kembali bertanding.
Namun anehnya, sebelum hari pelaksanaan ada sejumlah peserta yang dinyatakan positif COVID-19, namun kurang dari 24 jam mereka dinyatakan negatif dan bisa ikut berlaga.
Sementara dari hasil uji usap PCR terhadap timnas yang dilakukan dua kali di Birmingham menunjukkan kedua hasil tes itu negatif.
Ketua Umum PP PBSI Agung Firman Sampurna masih menantikan keterangan resmi Badan Layanan Kesehatan Inggris (NHS) untuk memberi informasi siapa penumpang pesawat yang dimaksud.
PBSI menuding NHS bertanggung jawab karena menjadi pihak yang menyebabkan timnas Indonesia ditarik oleh BWF dari All England.
Padahal selain mengikuti uji PCR di Birmingham, anggota timnas yang berangkat juga sudah menjalani dua kali suntik vaksin di Tanah Air.
Kecurigaan juga menyeruak setelah ada anggapan Indonesia sengaja disingkirkan agar tidak bisa menyabet gelar juara satu pun di Birmingham melalui aksi diskriminatif.
Baca juga: Indonesia minta turnamen All England sementara dihentikan
Penilaian itu sendiri didasarkan kepadsa hasil pertandingan hari pertama sekaligus terakhir timnas ketika dua ganda putra Indonesia mengalahkan wakil Inggris yaitu Matthew Clare/Ethan Van Leeuwen yang dikalahkan Minions, dan Ben Lane/Sean Vendy yang ditaklukkan The Daddies.
Pada laga Hendra/Ahsan melawan Lane/vendy, salah seorang hakim garis diketahui berasal dari Inggris, padahal ketentuan BWF mengharuskan hal itu tidak dibolehkan.
Saat match point gim terakhir, hakim garis tersebut sempat memberi peringatan kepada Ahsan yang dibalas dengan protes karena pebulu tangkis asal Palembang itu merasa tidak melakukan pelanggaran.
Namun yang fatal adalah keputusan BWF yang tidak menarik atlet tunggal putri Turki, Neslihan Yigit dan pelatihnya, dari turnamen. Padahal mereka juga satu pesawat bersama Skuad Merah Putih saat terbang dari Istanbul ke Birmingham.
Meski akhirnya Yigit juga ditarik BWF dari All England pada Kamis, keputusan itu terlambat dan tidak sportif. Belakangan Turki juga mengungkapkan ketidakpuasannya atas langkah terhadap Yigit itu.
Mencari solusi
Indonesia pantas kecewa karena akhirnya keputusan itu mutlak. Skuad Merah Putih pun tak bisa melanjutkan turnamen.
PBSI berusaha berlapang dada menerima keputusan itu dan tidak menunjuk kesalahan kepada BWF dan panitia pelaksana yang sejatinya hanya menaati aturan NHS.
Namun perjuangan belum berhenti. PBSI bersama Kemenlu kini masih berusaha memulangkan ke-24 anggota timnas dari Inggris.
Berdasarkan aturan otoritas Inggris, setiap warga negara asing yang berada dalam penerbangan yang di dalamnya terdapat penumpang positif COVID-19, harus menjalani isolasi selama 10 hari.
Namun timnas yang sudah kecewa harus dipaksa bersabar menunggu hingga masa isolasi selesai 27 Maret. Sementara All England berakhir pada 21 Maret.
Menurut Agung, hal itu hanya membuang-buang waktu dan lebih baik kembali ke Tanah Air, kembali berlatih di Pelatnas Cipayung.
Duta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya pun sepemikiran dengan PBSI. Dia dan jajarannya masih berusaha memulangkan timnas bulu tangkis Indonesia dengan melobi NHS dan pihak terkait.
Indonesia juga menyayangkan sikap Inggris yang tidak konsisten. Dalam masa ketibaan peserta, mereka tidak memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat, apalagi menerapkan gelembung sebagaimana yang dilakukan pada turnamen seri Asia di Thailand Open, Januari silam.
Baca juga: KBRI Inggris turun tangan terkait nasib Indonesia di All England
Bahkan peserta dari dari Denmark, India, dan Thailand masih bisa ikut bertanding hanya bermodal uji PCR ulang yang hasilnya keluar kurang dari satu hari setelah dinyatakan positif.
Agung tegas mengatakan peristiwa ini tidak hanya mencoreng sportifitas, namun juga mencederai harga diri bangsa yang terluka oleh tindakan diskriminatif.
Akan sulit bagi PBSI jika menyuarakan memboikot All England yang sudah berjalan memasuki perempat final, namun paling tidak dengan protes keras dan memperjuangkan nasib timnas akan menjadi cermin harga diri dan daya tawar bangsa di mata internasional.