Flores Timur (ANTARA) - Kalau saja tengah malam itu Muklisin tidak merasakan lapar, boleh jadi dia bersama 11 rekannya ikut tewas digulung arus banjir bandang yang menghantam perkampungan penduduk di Adonara Timur, Ahad (4/4).
Rumahnya ada di ujung Muara Laut Solor, tepatnya di bantaran Kali Mati yang membelah Kelurahan Waiwerang Kota dan Desa Waiburak, Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Muklisin tinggal dalam satu atap bersama seorang kakak dan rekannya bernama Rusdi (45). Tempat tinggal mereka bersebalahan dengan bangunan rumah singgah yang ditempati delapan rekannya.
Pria yang lahir di Desa Raju, Kabupaten Demak, Jawa Timur, sejak 26 tahun silam itu sudah seharian berkeliling Kecamatan Adonara Timur mengumpulkan limbah besi dari berbagai desa yang ada di Flores Timur menggunakan sepeda motor modifikasi dengan bak angkut beroda dua.
Tiba di rumah sejak Ahad sore, Muklisin melepas lelah dengan selonjoran di atas kasur sambil menghibur diri memainkan game online favoritnya di ponselnya.
Hingga satu jam sebelum petaka itu datang, Muklisin tidak bisa tidur karena menahan lapar saking asiknya bermain game di ponsel. Sementara, seluruh rekannya sudah tertidur pulas.
"Saya tidak bisa tidur. Sekitar jam 00.30 WITA, saya mau buat mi instans. Pas saya buka pintu belakang, tiba-tiba air kali di teras sudah sebetis. Naiknya cepat," katanya.
Muklisin pun bergegas menyelamatkan barang berharga yang disimpan dalam tas selempang kecil berisi uang tunai jutaan rupiah dan surat-surat penting. Kurang dari 10 menit, suara gemuruh menandai terjangan air yang meluncur deras dari Bukit Air Areng.
"Saya langsung bangunin orang-orang. Saya gedor pintu kamar mereka sekeras-kerasnya. Cuma sebentar saja, air tiba-tiba sudah sehidung saya," katanya.
Muklisin tidak habis pikir dengan kelakuan Rusdi yang saat itu lebih memilih menyelamatkan sepeda motor di dekat gudang besi bekas, di saat rekannya yang lain berlari panik mencari tempat berlindung.
Bebatuan dan batang pohon besar meluncur dari bukit tanpa kendali. Menerjang apapun di sepanjang lintasannya.
Berlari sekencang mungkin untuk menjauh ke dataran yang lebih tinggi, jadi satu-satunya harapan Muklis untuk bisa selamat.
"Saya naik ke atas atap rumah. Tapi sekeliling saya semuanya air deras. Listrik padam, semuanya gelap. Mati saya," katanya.
Muklisin melompat sekuat tenaga berharap bisa berenang memotong arus sungai, tapi celakanya, air terlalu kencang hingga menghempas tubuh Muklis menuju bibir muara.
"Saya sudah lemas dan hampir tidak sadar. Badan saya ini seperti dipukul-pukul, tapi akal sehat saya masih ada. Saat saya digulung arus, apa saja saya pegang. Ternyata ada selang panjang yang terhubung sampai ke masjid. Saya pegangan dan sedikit-sedikit maju ke atap rumah orang lain," katanya.
Dari atap rumah tetangganya yang nyaris ambruk, Muklis kemudian melompat ke dahan pohon mangga yang ada di belakangnya, lalu bertahan hingga air surut.
Bertahan di batang pohon
"Kalau saja saya tidak dibangunin Muklis, mungkin saya sama teman-teman ini sudah mati sekarang," kenang Rusdi.
Keputusan untuk menyelamatkan sepeda motor kesayangan, nyatanya pilihan yang salah. Ayah dua anak asal Yogyakarta itu justru terjebak seorang diri di tengah pusaran air.
Jalur air sungai menuju muara terbelah dua, mengepung batang pohon besar yang berdiri kokoh di dekat Rusdi. "Saya panjat pohonnya. Rantingnya itu besar-besar. Ada kali, tiga meter saya manjat," katanya.
Pohon asem berdahan kekar itu jadi pilihan Rusdi untuk bertahan. Dia pun memanjat hingga ke bagian yang paling tinggi. Pahanya mengempit kuat bagian dahan, sementara kedua tangannya mendekap erat batang.
Hanya sehelai baju dan celana dalam yang melekat di tubuh Rusdi saat itu. Beberapa ranting kecil dipatahkan untuk sekadar menutup bagian punggung dari terpaan angin.
"Sekitar tujuh jam saya bertahan di dahan pohon. Saya membaca doa apa saja yang saya hapal. Saya dzikir. Saya harus hidup, saya harus hidup. Itu yang saya terus ucapkan," katanya.
Beruntung akar pohon asam yang dipanjat Rusdi tidak tumbang. Sekitar pukul 05.00 WITA dia pun turun setelah banjir bandang yang menewaskan total 12 penduduk setempat perlahan surut.
Bagi Rusdi, bisa bertahan hidup dari terjangan banjir bandang adalah kali kedua keberuntungannya setelah pada 2006, dia juga lolos dari maut saat gempa bumi tektonik berkuatan 5,9 pada skala Richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah selama 57 detik.
"Kalau waktu saya selamat juga karena ngumpet di kolong meja. Saat itu lebih ngeri dari sekarang. Jalanan depan rumah saya itu seperti bergelombang. Orang banyak yang tertiban bangunan. Darah berceceran di mana-mana," katanya.
Kerugian materi
Meski Muklisin, Rusdi dan sembilan rekannya berhasil selamat, namun kerugian materi yang mereka tanggung terbilang tidak kecil.
Besi bekas yang dikumpulkan di gudang penyimpanan selama sebulan mereka bekerja berkisar 28 ton lebih. Bentuknya beraneka ragam, ada lempengan logam, suku cadang kendaraan hingga berbagai jenis bentuk berbahan alumunium.
"Ada 13 ton, untungnya sudah keburu diberangkatin ke Yogyakarta (dijual). Tapi 15 ton lagi yang digudang hanyut semua, 12 motor dan satu mobil pickup saya juga hilang," kata Irwanto (30), bos pengepul besi bekas.
Kalau dihitung-hitung, tidak kurang dari Rp200 juta uang yang diinvestasikan Irwanto di bisnis besi tua, lenyap diterjang banjir.
Tidak ada raut sedih saat dia menceritakan kerugian yang dialami. Sebab bagi Irwanto, harta dan benda masih dapat dicari selama hayat masih di kandung badan.
"Bondo isih isa digolek. Nyowo sing ora," katanya menutup perbincangan, yang artinya, "harta masih bisa dicari, nyawa yang tidak bisa".
Baca juga: Dampak siklon tropis Seroja dua kapal penumpang di NTT tenggelam
Baca juga: Kerugian nelayan Kota Kupang akibat siklon seroja mencapai Rp4,8 M
Pengepul besi bekas Waiburak yang panjang umur
Sekitar tujuh jam saya bertahan di dahan pohon. Saya membaca doa apa saja yang saya hapal. Saya dzikir. Saya harus hidup, saya harus hidup. Itu yang saya terus ucapkan