Artikel - Saskia, perempuan pejuang mangrove dari kampung Lantebung
...Kini, buah dari hasil usaha generasi muda desa, telah mengangkat nama Lantebung sebagai ekowisata percontohan yang dikelola oleh anak muda
Makassar (ANTARA) - Berkecimpung dalam bidang pengetahuan tentang pembuatan rangka pesawat, kemudian menjadikan teori dan praktik sebagai bagian dari hobi dan cita-cita, itulah yang dialami Ade Saskia Ramadina (21), saat duduk di bangku SMK Penerbangan Techno Terapan Makassar.
Saskia yang hidup dari keluarga sederhana di sudut utara Kota Makassar, tepatnya di kawasan pesisir yang banyak ditumbuhi mangrove di Kampung Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar ini, menghabiskan masa kecilnya bermain di kawasan mangrove atau bakau.
Menebang pohon mangrove lalu menjadikan sebagai kayu bakar, atau menjadikan arang sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga Lantebung. Bahkan, sebagian dari warga setempat menjadikan itu sebagai mata pencaharian.
Aktivitas penebangan tersebut menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dan peran mangrove sebagai tameng bagi daratan pesisir dari gempuran ombak maupun sebagai habitat biota laut semakin menghilang.
Setelah kondisi semakin menghilangnya mangrove itu terakumulasi, pada 1977 peristiwa nahas pun terjadi. Angin laut dan banjir rob merobohkan rumah-rumah warga di Lantebung.
Peristiwa itu kemudian menjadi cerita getir bagi warga Lantebung secara turun-temurun, hingga sampai ke telinga Saskia. Bahkan, peristiwa buruk itu muncul dalam mimpinya.
Meskipun hanya pernah mendengar kisah itu, namun dia pernah mendapat mimpi buruk. Mimpi itu membawa jiwanya pada kondisi trauma.
Perempuan kelahiran 9 November 2000 ini, sama halnya dengan anak-anak sebayanya, awalnya tak banyak memahami persoalan lingkungan. Namun mimpi buruknya itu terus membayangi, sehingga di sela aktivitas sekolahnya, anak semata wayang ini terus mencari informasi, baik melalui website maupun buku bacaan tentang lingkungan, termasuk peran penting mangrove di wilayah pesisir.
Akhirnya, sedikit demi sedikit Saskia mulai tergugah untuk berbuat sesuatu setelah resah dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Ia pun bergabung dengan dua tetangganya yang lebih senior dan penerima Kalpataru, yakni Saraba, untuk mulai melakukan aksi menanam bibit mangrove di kawasan Lantebung.
Dia memulai perjuangan bagi lingkungan itu dengan prinsip “memberikan contoh adalah guru yang baik”, dibandingkan sekadar mengajak masyarakat untuk peduli pada mangrove. Saskia kemudian tampil sebagai perempuan yang getol mengadvokasi pentingnya menjaga lingkungan di kelompok pecinta lingkungan yang diberi nama Ikatan Keluarga Lantebung (IKAL) pada 2019, termasuk terus memberikan contoh dengan menanam bibit mangrove di kawasan pesisir Lantebung.
Cita-cita
Selaku penerima beasiswa semasa duduk di SMK penerbangan di Makassar, tentu Saskia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang linier dengan pendidikannya ketika SMK. Ia pun mencoba peruntungan dengan mendaftar beasiswa S1 di Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan di Yogyakarta dan President University di Tangerang pada 2018.
Nasib baik berpihak pada Saskia. Di kedua lembaga yang menyediakan beasiswa itu, ia dinyatakan lulus, namun Salmawati (40), ibu dari Saskia, tidak merelakan anak semata wayangnya kuliah di luar Kota Makassar.
Alasan si ibu trauma kehilangan anak, menjadi benteng yang sangat kuat untuk bisa dilewati oleh Saskia. Adik dari Saskia meninggal saat usia balita, sedangkan kakaknya meninggal akibat kecelakaan saat memasuki usia 17 tahun. Akhirnya dua beasiswa itu dilewatkan, karena tidak ingin membuat ibunya bersedih. Ia juga tidak berani nekad melakukan sesuatu tanpa restu dari ibunya.
Dua tahun secara berturut-turut Saskia mendaftar beasiswa universitas yang sama secara diam-diam dan kembali lulus, namun lagi-lagi ibunya dengan mata berkaca-kaca tidak merelakan anaknya jauh-jauh darinya. Akhirnya pada tahun ketiga, Saskia mendaftar S1 di Sekolah Tinggi Teknologi Nusantara Indonesia (STITEK NUSINDO) dan mengambil Jurusan Teknik Lingkungan pada 2020.
Hal itu dipilih karena ingin mengetahui lebih banyak tentang lingkungan dan selaras dengan aktivitasnya di IKAL yang mengurus internal dan eksternal lembaga.
Kali ini, keinginan kuliah tidak mendapat tentangan lagi dari ibunya, meskipun baru mengetahui jika anaknya mendaftar kuliah saat masuk ke kamar Saskia dan mendapatkan kartu tanda kelulusan sebagai mahasiswa baru di perguruan tinggi di Kota Makassar itu.
Kini, Saskia menjalani kesehariannya dengan berbagai aktivitas berbau lingkungan dan perlahan-lahan sudah mengobati kekecewaannya tidak bisa melanjutkan pendidikan di bidang penerbangan. Apalagi anak dari pasangan Muh Said dan Salmawati ini meyakini bahwa hidup yang dijalaninya saat ini adalah bagian dari skenario Sang Maha Kuasa. Jadi, dia tinggal mengambil hikmahnya.
Belajar di IKAL
Pengetahuan berorganisasi dan membuat kegiatan yang mampu mengajak orang banyak, tidak serta-merta muncul sebagai kemampuan pribadi seseorang. Namun itu perlu diasah dan ditekuni. Setidaknya itulah yang dilakukan Saskia, perempuan kelahiran Kota Makassar, 9 November 2000 itu.
Dia belajar berorganisasi dan membuat suatu kegiatan berawal dari Ikatan Keluarga Lantebung.
Lembaga swadaya masyarakat itu terbentuk pada 9 Mei 2019 oleh para generasi muda di Lantebung yang resah dengan kondisi lingkungannya yang setiap saat diintai oleh abrasi.
Untuk menguatkan organisasi itu dalam mengelola mangrove di Lantebung, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel bersama Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel dan dinas terkait melakukan pendampingan sejak 2015 dalam bentuk kampanye, advokasi dan berkolaborasi dalam penanaman bibit mangrove di Lantebung.
Termasuk ketika kawasan Mangrove Lantebung sudah viral dan diproklamirkan sebagai kawasan ekowisata yang dikelola kaum generasi muda di pengujung 2020.
Hal itu tidak terlepas dari peran organisasi yang didirikan oleh Saskia dan teman-temannya yang semula anggotanya tidak lebih dari 20 orang, namun kini organisasi itu sudah beranggotakan lebih 70 orang.
Ibarat gayung bersambut, pada awal pembentukan lembaga itu, Saskia yang mendapat amanah sebagai humas memberanikan diri menerima tawaran kerja sama berskala nasional melalui Program Hutan Merdeka I yang diprakarsai Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bersama Ketua IKAL Muh Akmal dan pengurus lainnya, mereka bahu-membahu mengelola kawasan ekowisata Lantebung dan memberdayakan masyarakat setempat. Bahkan pada April 2020 ketika harus berhadapan dengan perusahaan pengembang yang merusak tanaman mangrove dan mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari lahannya.
Aksi merusak lingkungan yang memanfaatkan tangan-tangan preman itu, berakhir di meja hijau dengan putusan Pengadilan Negeri Makassar yang memenangkan warga Lantebung (selaku pelapor) atas sebuah perusahaan (selaku terlapor). Perusahaan pengembang tersebut sempat mengajukan banding, namun ditolak oleh PN Makassar.
Sementara kesuksesan aksi tanam mangrove Program Hutan Merdeka I pada 2019 membawa organisasi itu mendapat amanah setiap tahun dan pada 21 Agustus 2022 merupakan kegiatan keempat.
Baca juga: Artikel - Bertaruh maut di jalur Sitinjau Lauik
Kesuksesan aksi massal menanam mangrove itu, menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Saskia dan teman-temannya, sekaligus menjadi cikal bakal kerja sama kemitraan di bidang lingkungan. Undangan pelatihan pengelolaan mangrove ataupun menjadi pembicara di forum-forum informal hingga formal, semakin memperkaya pengalaman dan wawasan Saskia bersama rekan sejawatnya.
Kini, buah dari hasil usaha generasi muda desa, telah mengangkat nama Lantebung sebagai ekowisata percontohan yang dikelola oleh anak muda.
Kehadiran ekowisata mangrove Lantebung ini awalnya hanya 12 hekatare dan kini sudah mencapai 15 ha, termasuk usaha pembibitan mangrove yang dikembangkan menjadi sumber pendapatan baru bersama warga setempat. Selain itu, juga muncul UMKM, baik di bidang jasa, kuliner maupun kriya, saat kawasan mangrove Lantebung sudah menjadi objek ekowisata.
Di sisi lain, para nelayan pun sudah bergairah melaut, karena hasil tangkapannya berangsur-angsur kembali normal, bahkan mendapatkan mata pencaharian baru berupa mencari kepiting dan tiram di sela-sela tanaman mangrove.
Baca juga: Artikel - Menyiapkan hutan Bowosie jadi destinasi wisata alam NTT
Tak heran jika lembaga IKAL yang membesarkan Saskia mendapat apresiasi dari Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dan Wali Kota Makassar H Ramdhan Pomanto, karena upaya generasi muda Lantebung ini telah membantu pemerintah mengembangkan kawasan hijau dan menjadi "paru-paru" kota bagi warga Makassar yang berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa.
Bahkan salah seorang anggota IKAL yakni Saskia telah diusulkan dalam penjaringan penghargaan bergengsi SATU Indonesia Award 2022 yang digelar oleh perusahaan ternama PT Astra Internasional, Tbk bersama mitra diantaranya LKBN Antara.
Baca juga: Artikel - Perubahan iklim dan bencana hidrologi
Hasil dari seleksi tahap awal, Saskia satu-satunya kandidat asal Sulawesi Selatan yang lolos untuk berkompetisi dengan peserta lainnya dari 32 provinsi di Indonesia, untuk selanjutnya melangkah ke tahap berikutnya sebagai calon penerima SATU Indonesia Awards 2022 yang pengumumannya pada medio September 2022.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saskia, perempuan "pejuang" mangrove dari Lantebung
Saskia yang hidup dari keluarga sederhana di sudut utara Kota Makassar, tepatnya di kawasan pesisir yang banyak ditumbuhi mangrove di Kampung Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar ini, menghabiskan masa kecilnya bermain di kawasan mangrove atau bakau.
Menebang pohon mangrove lalu menjadikan sebagai kayu bakar, atau menjadikan arang sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga Lantebung. Bahkan, sebagian dari warga setempat menjadikan itu sebagai mata pencaharian.
Aktivitas penebangan tersebut menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dan peran mangrove sebagai tameng bagi daratan pesisir dari gempuran ombak maupun sebagai habitat biota laut semakin menghilang.
Setelah kondisi semakin menghilangnya mangrove itu terakumulasi, pada 1977 peristiwa nahas pun terjadi. Angin laut dan banjir rob merobohkan rumah-rumah warga di Lantebung.
Peristiwa itu kemudian menjadi cerita getir bagi warga Lantebung secara turun-temurun, hingga sampai ke telinga Saskia. Bahkan, peristiwa buruk itu muncul dalam mimpinya.
Meskipun hanya pernah mendengar kisah itu, namun dia pernah mendapat mimpi buruk. Mimpi itu membawa jiwanya pada kondisi trauma.
Perempuan kelahiran 9 November 2000 ini, sama halnya dengan anak-anak sebayanya, awalnya tak banyak memahami persoalan lingkungan. Namun mimpi buruknya itu terus membayangi, sehingga di sela aktivitas sekolahnya, anak semata wayang ini terus mencari informasi, baik melalui website maupun buku bacaan tentang lingkungan, termasuk peran penting mangrove di wilayah pesisir.
Akhirnya, sedikit demi sedikit Saskia mulai tergugah untuk berbuat sesuatu setelah resah dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Ia pun bergabung dengan dua tetangganya yang lebih senior dan penerima Kalpataru, yakni Saraba, untuk mulai melakukan aksi menanam bibit mangrove di kawasan Lantebung.
Dia memulai perjuangan bagi lingkungan itu dengan prinsip “memberikan contoh adalah guru yang baik”, dibandingkan sekadar mengajak masyarakat untuk peduli pada mangrove. Saskia kemudian tampil sebagai perempuan yang getol mengadvokasi pentingnya menjaga lingkungan di kelompok pecinta lingkungan yang diberi nama Ikatan Keluarga Lantebung (IKAL) pada 2019, termasuk terus memberikan contoh dengan menanam bibit mangrove di kawasan pesisir Lantebung.
Cita-cita
Selaku penerima beasiswa semasa duduk di SMK penerbangan di Makassar, tentu Saskia ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang linier dengan pendidikannya ketika SMK. Ia pun mencoba peruntungan dengan mendaftar beasiswa S1 di Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan di Yogyakarta dan President University di Tangerang pada 2018.
Nasib baik berpihak pada Saskia. Di kedua lembaga yang menyediakan beasiswa itu, ia dinyatakan lulus, namun Salmawati (40), ibu dari Saskia, tidak merelakan anak semata wayangnya kuliah di luar Kota Makassar.
Alasan si ibu trauma kehilangan anak, menjadi benteng yang sangat kuat untuk bisa dilewati oleh Saskia. Adik dari Saskia meninggal saat usia balita, sedangkan kakaknya meninggal akibat kecelakaan saat memasuki usia 17 tahun. Akhirnya dua beasiswa itu dilewatkan, karena tidak ingin membuat ibunya bersedih. Ia juga tidak berani nekad melakukan sesuatu tanpa restu dari ibunya.
Dua tahun secara berturut-turut Saskia mendaftar beasiswa universitas yang sama secara diam-diam dan kembali lulus, namun lagi-lagi ibunya dengan mata berkaca-kaca tidak merelakan anaknya jauh-jauh darinya. Akhirnya pada tahun ketiga, Saskia mendaftar S1 di Sekolah Tinggi Teknologi Nusantara Indonesia (STITEK NUSINDO) dan mengambil Jurusan Teknik Lingkungan pada 2020.
Hal itu dipilih karena ingin mengetahui lebih banyak tentang lingkungan dan selaras dengan aktivitasnya di IKAL yang mengurus internal dan eksternal lembaga.
Kali ini, keinginan kuliah tidak mendapat tentangan lagi dari ibunya, meskipun baru mengetahui jika anaknya mendaftar kuliah saat masuk ke kamar Saskia dan mendapatkan kartu tanda kelulusan sebagai mahasiswa baru di perguruan tinggi di Kota Makassar itu.
Kini, Saskia menjalani kesehariannya dengan berbagai aktivitas berbau lingkungan dan perlahan-lahan sudah mengobati kekecewaannya tidak bisa melanjutkan pendidikan di bidang penerbangan. Apalagi anak dari pasangan Muh Said dan Salmawati ini meyakini bahwa hidup yang dijalaninya saat ini adalah bagian dari skenario Sang Maha Kuasa. Jadi, dia tinggal mengambil hikmahnya.
Belajar di IKAL
Pengetahuan berorganisasi dan membuat kegiatan yang mampu mengajak orang banyak, tidak serta-merta muncul sebagai kemampuan pribadi seseorang. Namun itu perlu diasah dan ditekuni. Setidaknya itulah yang dilakukan Saskia, perempuan kelahiran Kota Makassar, 9 November 2000 itu.
Dia belajar berorganisasi dan membuat suatu kegiatan berawal dari Ikatan Keluarga Lantebung.
Lembaga swadaya masyarakat itu terbentuk pada 9 Mei 2019 oleh para generasi muda di Lantebung yang resah dengan kondisi lingkungannya yang setiap saat diintai oleh abrasi.
Untuk menguatkan organisasi itu dalam mengelola mangrove di Lantebung, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel bersama Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel dan dinas terkait melakukan pendampingan sejak 2015 dalam bentuk kampanye, advokasi dan berkolaborasi dalam penanaman bibit mangrove di Lantebung.
Termasuk ketika kawasan Mangrove Lantebung sudah viral dan diproklamirkan sebagai kawasan ekowisata yang dikelola kaum generasi muda di pengujung 2020.
Hal itu tidak terlepas dari peran organisasi yang didirikan oleh Saskia dan teman-temannya yang semula anggotanya tidak lebih dari 20 orang, namun kini organisasi itu sudah beranggotakan lebih 70 orang.
Ibarat gayung bersambut, pada awal pembentukan lembaga itu, Saskia yang mendapat amanah sebagai humas memberanikan diri menerima tawaran kerja sama berskala nasional melalui Program Hutan Merdeka I yang diprakarsai Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bersama Ketua IKAL Muh Akmal dan pengurus lainnya, mereka bahu-membahu mengelola kawasan ekowisata Lantebung dan memberdayakan masyarakat setempat. Bahkan pada April 2020 ketika harus berhadapan dengan perusahaan pengembang yang merusak tanaman mangrove dan mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari lahannya.
Aksi merusak lingkungan yang memanfaatkan tangan-tangan preman itu, berakhir di meja hijau dengan putusan Pengadilan Negeri Makassar yang memenangkan warga Lantebung (selaku pelapor) atas sebuah perusahaan (selaku terlapor). Perusahaan pengembang tersebut sempat mengajukan banding, namun ditolak oleh PN Makassar.
Sementara kesuksesan aksi tanam mangrove Program Hutan Merdeka I pada 2019 membawa organisasi itu mendapat amanah setiap tahun dan pada 21 Agustus 2022 merupakan kegiatan keempat.
Baca juga: Artikel - Bertaruh maut di jalur Sitinjau Lauik
Kesuksesan aksi massal menanam mangrove itu, menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Saskia dan teman-temannya, sekaligus menjadi cikal bakal kerja sama kemitraan di bidang lingkungan. Undangan pelatihan pengelolaan mangrove ataupun menjadi pembicara di forum-forum informal hingga formal, semakin memperkaya pengalaman dan wawasan Saskia bersama rekan sejawatnya.
Kini, buah dari hasil usaha generasi muda desa, telah mengangkat nama Lantebung sebagai ekowisata percontohan yang dikelola oleh anak muda.
Kehadiran ekowisata mangrove Lantebung ini awalnya hanya 12 hekatare dan kini sudah mencapai 15 ha, termasuk usaha pembibitan mangrove yang dikembangkan menjadi sumber pendapatan baru bersama warga setempat. Selain itu, juga muncul UMKM, baik di bidang jasa, kuliner maupun kriya, saat kawasan mangrove Lantebung sudah menjadi objek ekowisata.
Di sisi lain, para nelayan pun sudah bergairah melaut, karena hasil tangkapannya berangsur-angsur kembali normal, bahkan mendapatkan mata pencaharian baru berupa mencari kepiting dan tiram di sela-sela tanaman mangrove.
Baca juga: Artikel - Menyiapkan hutan Bowosie jadi destinasi wisata alam NTT
Tak heran jika lembaga IKAL yang membesarkan Saskia mendapat apresiasi dari Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dan Wali Kota Makassar H Ramdhan Pomanto, karena upaya generasi muda Lantebung ini telah membantu pemerintah mengembangkan kawasan hijau dan menjadi "paru-paru" kota bagi warga Makassar yang berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa.
Bahkan salah seorang anggota IKAL yakni Saskia telah diusulkan dalam penjaringan penghargaan bergengsi SATU Indonesia Award 2022 yang digelar oleh perusahaan ternama PT Astra Internasional, Tbk bersama mitra diantaranya LKBN Antara.
Baca juga: Artikel - Perubahan iklim dan bencana hidrologi
Hasil dari seleksi tahap awal, Saskia satu-satunya kandidat asal Sulawesi Selatan yang lolos untuk berkompetisi dengan peserta lainnya dari 32 provinsi di Indonesia, untuk selanjutnya melangkah ke tahap berikutnya sebagai calon penerima SATU Indonesia Awards 2022 yang pengumumannya pada medio September 2022.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Saskia, perempuan "pejuang" mangrove dari Lantebung