Analis politik: Menyebut "Jokowi tinggal gunting pita" sebuah blunder politik

id AHY jokowi hanya tinggal gunting pita, mikhael bataona,unwira

Analis politik: Menyebut "Jokowi tinggal gunting pita" sebuah blunder politik

Pengamat politik dari Unwira Kupang Mikhael Raja Muda Bataona (ANTARA/Bernadus Tokan)

Dalam terminologi politik, serangan verbal yang tujuannya merendahkan itu disebut sebagi teknik  name calling yaitu propaganda hitam yang tujuannya merendahkan seseorang
Kota Kupang (ANTARA) - Analis politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan, menyebut "Jokowi hanya tinggal meresmikan dan menggunting pita" adalah sebuah blunder politik yang tidak perlu.  

"Pernyataan tersebut mengkonfirmasi sebuah fenomena psikopolitis yang dialami seorang politisi di mana nafsu berkuasanya sedang mengaburkan rasionalitas," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis (22/9) terkait pernyataan  Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menyebut Jokowi hanya tinggal meresmikan secara simbolis dengan menggunting pita.

Padahal dalam politik, nafsu adalah dorongan psikologis yang jika tidak difilter dengan baik, bisa mengaburkan penglihatan intelektual seseorang, katanya. 

Lebih praktisnya kata dia, adalah ketika nafsu dan amarah atau luapan perasaan seorang politisi sedang menguasainya, maka rasionalitas tidak bekerja. Dan dampak dari hal tersebut ke ruang publik adalah aroma kebencian. 

"Inilah yang  kurang elok dari serangan AHY ke Jokowi," kata Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira Kupang itu.

Artinya, menyerang Presiden Jokowi soal pembangunan infrastruktur tanpa data yang valid, akan dibaca oleh publik sebagai sebuah  propaganda hitam. Karena publik di republik ini justru melihat dan merasakan hal yang sebaliknya.

Di mana, pembangunan infrastruktur di era Jokowi sangat luar biasa. Belum pernah terjadi di era sebelumnya. Misalnya, ada jalan tol dari Banten sampai Banyuwangi di Jawa yang membuat mudik sangt lancar. Juga infrastruktur lainnya, dari jalan, bandara, bendungan hingga tol laut dan lainnya. 

Karena itu, dia justru melihat bahwa publik akan angkat topi dan salut kepada Demorkat dan AHY jika berbicara dengan data dan fakta juga jujur melihat realita lapangan. 

"Bahwa ada kekurangan dalam pemerintahan Jokowi adalah juga fakta. Tapi bukan asal serang tanpa data. Jadi ini terlihat seperti sebuah serangan politik yang kurang cerdas. Akibat kesalahan data yang diberikan para penasihat AHY. AHY lalu terjerumus menyampaikan sesuatu yang menjadi blunder politik," katanya.  

Baca juga: Pengamat sebut Jokowi memanggang parpol di atas "bara api" opini publik
Baca juga: Pengamat: Pemkot Kupang perlu tegas terapkan perda sampah


Akibatnya, menurut dia, bahwa isu tersebut bukannya sukses merendahkan (mendowngrade) Jokowi, tetapi justru sebaliknya mendowngrade Partai Demokrat dan AHY, sebab data dan jejak digital tentang proyek-proyek mangkrak di jaman SBY sangat dikuasai publik dan netizen. 

Publik punya seabrek data bahwa di jaman SBY ada proyek yang mangkrak dengan dana triliunan seperti Hambalang. Sedangkan di jaman Jokowi, pembangunan infrastrukturnya luar biasa dan sangat bermanfaat bagi publik juga aksesibilitas ekonomi yang menaikan daya saing. 

"Jadi ketika kita melihat, publik memaparkan data bahwa SBY selama 10 tahun berkuasa, tidak banyak membangun infrastruktur, baik jalan, jembatan, maupun bendungan dan bandara, kita bisa menyimpulkan bahwa berpolitik di jaman ini harus selalu mengedepankan rasionalitas. Karena publik selalu sangat kritis menilai," katanya.

Karena itu dia melihat bahwa AHY memang sedang  dikuasai oleh rasa atau emosionalitas, bukan akal sehat dan rasionalitas. Padahal seorang politisi harus selalu menggunakan akal sehat dan rasionalitasnya, baik dalam berbicara maupun bertindak, sebab tokoh publik manapun akan selalu diawasi kecerdasan emosi dan intelektualnya oleh publik. 

"Ketika AHY berbicara dengan hanya dipandu oleh perasaan dan emosionalitas, apalagi untuk menyerang Jokowi yang selama ini secara empirik sudah bekerja luar biasa untuk membangun infrastruktur maka publik akan melihat itu sebagai fitnah, dan itu berbaya, sekaligus sangat merugikan partai Demokrat dan AHY sendiri," katanya. 

Dalam terminologi politik, serangan verbal yang tujuannya merendahkan itu disebut sebagi teknik  name calling yaitu propaganda hitam yang tujuannya merendahkan seseorang. 

Dalam kasus ini yaitu Jokowi, tetapi terbukti tidak tepat dan justru menjadi blunder bagi AHY dan Demokrat karena publik melawan balik dengan membeberkan data yang berkata sebaliknya, kata Mikhael Bataona yang juga pengajar berita investigasi dan jurnalisme konflik pada Fisip Unwira Kupang itu.