Semarang (ANTARA) - Kemudahan mengakses informasi yang sahih sekarang ini ternyata tidak serta-merta melenyapkan mitos menyesatkan oleh sebagian masyarakat tentang telur.
Telur unggas yang memiliki kandungan gizi cukup lengkap, mudah didapat, dan harganya terjangkau, masih saja ada yang meyakininya sebagai bahan makanan yang memicu bisul, sakit mata, bahkan pemicu penyakit asam urat.
Karena mitos tersebut belum sepenuhnya lenyap di masyarakat, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengoreksi kekeliruan tersebut.
Kalau ada yang cerita makan telur membuat sakit mata dan bisul, itu tidak benar. Yang benar, menurut Hasto, makan telur membuat pintar.
Sebutir telur ayam rebus selain mengandung kalori dan karbohidrat, di dalamnya juga kaya akan protein, vitamin A dan B2, lemak, lemak jenuh, dan kolesterol. Kandungan nutrisi tersebut sangat diperlukan bagi pertumbuhan fisik, emosional, dan kecerdasan balita.
Telur unggas, terutama ayam, memang termasuk makanan bergizi lengkap yang relatif mudah didapat, baik dengan cara membeli maupun budi daya sendiri. Apalagi sejak zaman dulu, banyak rumah tangga yang memiliki lahan terbuka juga memelihara ayam untuk diambil telurnya.
Meretas mitos bahwa telur tidak baik bagi kesehatan ternyata bukan perkara mudah. Apalagi dikaitkan dengan kandungan kolesterol yang sering menjadi momok bagi manusia dewasa. Pola konsumsi orang tua cenderung diturunkan ke anak. Keluarga berperan dominan membentuk konsumsi anak-anak.
Telur, bila dikonsumsi sesuai kebutuhan tubuh, nutrisinya tetap bermanfaat bagi semua lapisan usia, kecuali bagi yang memiliki penyakit akut dan oleh dokter dilarang menyantap telur.
Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021 menyebutkan prevalensi tengkes atau stunting saat ini masih pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita. Prevalensi tersebut memang menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Namun, Presiden Joko Widodo berketetapan menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024. Oleh karena itu harus ada upaya konkret untuk mewujudkan target tersebut dengan cara yang mudah dilakukan oleh masyarakat.
Telur menjadi pilihan realistis untuk menekan prevalensi stunting di negeri ini.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan untuk mencapai target 14 persen, berarti setiap tahunnya perlu penurunan sekitar 3 persen.
Pemerintah masih perlu inovasi agar terjadi penurunan sekitar 3 sampai 3,5 persen per tahun, sehingga tercapai target 14 persen pada tahun 2024.
Salah satu upaya konkret untuk meretas stunting, yakni dengan menggalakkan makan telur, terutama bagi balita serta ibu hamil dan menyusui. Telur unggas merupakan bahan makanan melimpah yang mudah dan terjangkau, baik dari hasil ternak sendiri maupun membeli.
Yang perlu dilakukan adalah bagaimana membangun kesadaran keluarga, terutama ibu dan bapak, untuk memprioritaskan gizi anak. Terbentuknya generasi yang sehat fisik, emosional dan intelektual juga memberi harapan baru untuk memutus kemiskinan turunan.
Konsumsi rendah
Kebiasaan menyantap telur setiap hari sejak usia dini berperan penting mencegah stunting yang masih menjadi masalah serius bangsa ini. Keterbatasan membeli daging ruminansia atau daging ayam sebenarnya bisa dialihkan dengan asupan telur yang harganya lebih terjangkau.
Baca juga: Artikel - Melepas status darurat kesehatan di Indonesia
Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) memastikan gemar makan telur tidak hanya menyehatkan, namun efektif mencegah stunting karena telur kaya akan kandungan nutrisi. Kandungan gizi di dalamnya dapat menjadi asupan pangan tambahan yang efektif bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, agar anak-anak Indonesia terhindar dari tengkes.
Selain masih adanya mitos “miring” tentang telur, faktor lain masih rendahnya konsumsi telur per kapita di Indonesia, antara lain, juga disebabkan oleh buruknya prioritas kepala keluarga dalam membelanjakan pendapatan.
Konsumsi telur per kapita di Indonesia, menurut BPS pada 2021, sekitar 9,8 butir per bulan. Untuk memenuhi kecukupan gizi, angka tersebut relatif rendah karena berarti rata-rata orang Indonesia hanya 3 hari sekali menyantap sebutir telur.
Dari sisi pengeluaran, angka tersebut juga rendah bila dibandingkan dengan belanja untuk rokok. Dengan asumsi harga 1 kilogram (isi 17 butir) telur ayam Rp30.000 berarti harga satu butir Rp1.765 atau belanja telur hanya Rp17.765 per bulan.
Sementara itu BPS pada Maret 2020 menyebutkan pengeluaran per kapita untuk membeli rokok sekitar Rp73 ribu/bulan. Jadi, konsumsi telur hanya seperempat dari belanja sigaret yang tidak baik bagi kesehatan tersebut.
Baca juga: Artikel - Wanita dengan PCOS lebih berisiko terhadap masalah kesehatan lainnya
Kebiasaan makan kerupuk sebagai pendamping makan “besar” juga tidak mudah dihilangkan. Padahal bila belanja kerupuk bisa dialihkan ke telur, daging ruminansia, daging ayam, dan protein hewani lainnya, manfaatnya jauh lebih besar.
Selembar kerupuk saat ini harganya Rp1.000. Kalau sehari tiga kali makan selalu didampingi kerupuk berarti ada tambahan pengeluaran Rp3.000/hari atau nyaris setara dengan dua butir telur ayam ras yang lebih bergizi. Menggeser pengeluaran beli kerupuk untuk membeli susu jauh lebih bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan anak.
Mengubah pola makan lebih sehat di tengah pendapatan keluarga yang tidak berlebih memang perlu waktu. Menyodorkan kalkulasi ekonomis atas manfaat asupan yang lebih penting bagi anggota keluarga kadang memang kurang efektif untuk mengubah kebiasaan tersebut.
Pendekatan perubahan perilaku tersebut harus dimulai dari pembentukan kesadaran bersama dari keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga harus menyadari bahwa kesehatan dan pertumbuhan anak harus dijadikan prioritas terpenting ketika dihadap