Kupang (ANTARA News NTT) - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM Cahyo R Muzhar selaku anggota Satuan Tugas Montara mengatakan Indonesia terbuka pada opsi pengadilan internasional untuk menyelesaikan kasus tumpahan minyak Montara.
"Opsi tersebut bisa diambil apabila negosiasi dengan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia yang mengoperasikan pengeboran minyak lepas pantai Montara tidak menemukan jalan keluar," kata Cahyo sebagaimana dikutip Ketua Tim Advokasi Korban Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni kepada Antara di Kupang, Selasa (18/12).
Cahyo mengatakan kalau memang pembicaraan sulit diwujudkan, ya tentunya ada opsi lain. "Melalui opsi pengadilan tetap terbuka, opsi internasional tribunal juga mungkin," katanya.
"Kami tengah mengajukan permintaan ke Pemerintah Australia untuk bekerja sama membuka ruang mediasi dengan PTTEP Australasia. Proses pengadilan bukan berarti hubungan negara memburuk, hal tersebut merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan sengketa," ujarnya.
Cahyo mengatakan sangat menginginkan klarifikasi, jika dua negara punya masalah di pengadilan, bukan berarti hubungan kedua negara buruk. Itu hanya salah satu upaya penyelesaian jika dialog bilateral tidak membuahkan hasil.
Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebelumnya pernah menggugat PTTEP dan afiliasinya karena diduga mencemari perairan di Nusa Tenggara Timur akibat bocornya minyak mentah dari unit pengeboran di Montara.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), Kementerian Hukum dan HAM Cahyo R Muzhar (tengah) sedang memberikan keterangan pers terkait kasus anjungan minyak Montara yang meledak 9 tahun lalu, didamping Ferdi Tanoni (kiri). (ANTARA Foto/dok)
Besar gugatan yang diajukan pemerintah sejumlah Rp27,4 triliun yang terdiri dari dua komponen. Adapun komponen tersebut mencakup ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp23 triliun dan biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp4,4 triliun.
Namun gugatan tersebut ditarik kembali karena terdapat revisi dokumen mengenai nilai gugatan. Untuk saat ini, Satgas Montara ingin memfokuskan pada penunaian tanggung jawab dari PTTEP Australasia bagi korban tumpahan minyak.
Atas dasar itu, Indonesia meminta Pemerintah Australia turut ambil bagian dalam penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara pada 2009. Kejadian itu melibatkan perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia.
Melubernya minyak tersebut berlangsung selama 74 hari sejak 29 Agustus 2009 hingga 3 November 2009. Limbah minyak menyebar ke Laut Timor, Nusa Tenggara Timur dan mengakibatkan kerusakan lingkungan serta kerugian materi bagi masyarakat di sekitar perairan tersebut.
Sayangnya, hingga 9 tahun peristiwa kebocoran minyak terjadi, masyarakat terdampak belum menerima kompensasi sepadan dari PTTEP Australasia. Padahal, banyak kegiatan ekonomi masyarakat setempat seperti nelayan dan pertanian rumput laut mengalami kerugian atas peristiwa tersebut.
"Terdapat 13 kabupaten di NTT yang terdampak limbah tumpahan minyak. Dampak dari sisi ekonomi sangat terasa, sebelum kasus Montara terjadi penghasikan masyarakat bisa mencapai Rp10 juta sampai Rp40 juta, kini mereka banyak yang beralih profesi menjadi pemungut kayu bakar. Perubahannya sangat drastis," kata Cahyo.
Gumpalan minyak mentah yang sedang disemprot AMSA dengan dispersant, zat yang sangat berbahaya (ANTARA Foto/dok)
Dari sisi kesehatan mereka juga terdampak. "Ada penyakit kulit yang dialami penduduk terdampak. Karena dispersant disemprot ke laut dan berdampak ke laut NTT," tambah Ferdi Tanoni.
Tanoni menilai otoritas Australia memiliki tanggung jawab selaku regulator yang mengatur operasional PTTEP Australasia. Untuk itu, Indonesia mengajak Negeri Kanguru turut terlibat mencari penyelesaian sehingga PTTEP Australasia dapat bertanggung jawab penuh atas dampak yang dirasakan penduduk NTT.
"Harus ada tanggung jawab sampai tingkat tertentu dari Pemerintah Australia. Kenapa? Karena perusahaan tersebut beroperasi di Australia dan terdaftar di sana. Artinya PTTEP Australasia tunduk pada aturan Australia," kata Cahyo menegaskan.
Ia berharap Australia dapat membuat semacam satuan tugas yang nantinya dapat duduk bersama membicarakan penyelesaian kasus. "Perihal perbedaan sikap yang diperlihatkan pemerintah Australia, saya pikir dapat diselesaikan melalui dialog dan negosiasi," ujarnya.
"Boleh saja Australia berpandangan itu bukan tanggung jawab mereka. Australia tidak dapat berpartisipasi dalam penyelesaian kasus Montara tapi tentu mereka bisa membantu supaya PTTEP Australasia duduk bersama pemerintah Indonesia untuk membicarakan masalah ini," katanya.
Menurut Tanoni, Satgas Montara sejauh ini telah melakukan korespondensi dengan perwakilan Australia di Indonesia guna menyampaikan permintaan kerja sama penyelesaian. Namun, hingga kini belum ada tanggapan dari Australia.
"Baru-baru ini kami juga kirim surat ke Dubes Australia di Indonesia, Gary Quinlan. Dia dulu adalah pejabat Kemenlu Australia yang mengurusi urusan Montara. Sejak 28 November 2018 kami sudah kirim surat. Tapi, belum ada respons," katanya.
Seorang nelayan sedang menunjukkan luka ditangannya yang tak pernah dialamai sebelumnya. Penyakit ini didapat setelah anjungan minyak Montara meledak di Laut Timor pada 21 Agustus 2009. (ANTARA Foto/dok)
"Opsi tersebut bisa diambil apabila negosiasi dengan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia yang mengoperasikan pengeboran minyak lepas pantai Montara tidak menemukan jalan keluar," kata Cahyo sebagaimana dikutip Ketua Tim Advokasi Korban Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni kepada Antara di Kupang, Selasa (18/12).
Cahyo mengatakan kalau memang pembicaraan sulit diwujudkan, ya tentunya ada opsi lain. "Melalui opsi pengadilan tetap terbuka, opsi internasional tribunal juga mungkin," katanya.
"Kami tengah mengajukan permintaan ke Pemerintah Australia untuk bekerja sama membuka ruang mediasi dengan PTTEP Australasia. Proses pengadilan bukan berarti hubungan negara memburuk, hal tersebut merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan sengketa," ujarnya.
Cahyo mengatakan sangat menginginkan klarifikasi, jika dua negara punya masalah di pengadilan, bukan berarti hubungan kedua negara buruk. Itu hanya salah satu upaya penyelesaian jika dialog bilateral tidak membuahkan hasil.
Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sebelumnya pernah menggugat PTTEP dan afiliasinya karena diduga mencemari perairan di Nusa Tenggara Timur akibat bocornya minyak mentah dari unit pengeboran di Montara.
Namun gugatan tersebut ditarik kembali karena terdapat revisi dokumen mengenai nilai gugatan. Untuk saat ini, Satgas Montara ingin memfokuskan pada penunaian tanggung jawab dari PTTEP Australasia bagi korban tumpahan minyak.
Atas dasar itu, Indonesia meminta Pemerintah Australia turut ambil bagian dalam penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara pada 2009. Kejadian itu melibatkan perusahaan The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production (PTTEP) Australasia.
Melubernya minyak tersebut berlangsung selama 74 hari sejak 29 Agustus 2009 hingga 3 November 2009. Limbah minyak menyebar ke Laut Timor, Nusa Tenggara Timur dan mengakibatkan kerusakan lingkungan serta kerugian materi bagi masyarakat di sekitar perairan tersebut.
Sayangnya, hingga 9 tahun peristiwa kebocoran minyak terjadi, masyarakat terdampak belum menerima kompensasi sepadan dari PTTEP Australasia. Padahal, banyak kegiatan ekonomi masyarakat setempat seperti nelayan dan pertanian rumput laut mengalami kerugian atas peristiwa tersebut.
"Terdapat 13 kabupaten di NTT yang terdampak limbah tumpahan minyak. Dampak dari sisi ekonomi sangat terasa, sebelum kasus Montara terjadi penghasikan masyarakat bisa mencapai Rp10 juta sampai Rp40 juta, kini mereka banyak yang beralih profesi menjadi pemungut kayu bakar. Perubahannya sangat drastis," kata Cahyo.
Tanoni menilai otoritas Australia memiliki tanggung jawab selaku regulator yang mengatur operasional PTTEP Australasia. Untuk itu, Indonesia mengajak Negeri Kanguru turut terlibat mencari penyelesaian sehingga PTTEP Australasia dapat bertanggung jawab penuh atas dampak yang dirasakan penduduk NTT.
"Harus ada tanggung jawab sampai tingkat tertentu dari Pemerintah Australia. Kenapa? Karena perusahaan tersebut beroperasi di Australia dan terdaftar di sana. Artinya PTTEP Australasia tunduk pada aturan Australia," kata Cahyo menegaskan.
Ia berharap Australia dapat membuat semacam satuan tugas yang nantinya dapat duduk bersama membicarakan penyelesaian kasus. "Perihal perbedaan sikap yang diperlihatkan pemerintah Australia, saya pikir dapat diselesaikan melalui dialog dan negosiasi," ujarnya.
"Boleh saja Australia berpandangan itu bukan tanggung jawab mereka. Australia tidak dapat berpartisipasi dalam penyelesaian kasus Montara tapi tentu mereka bisa membantu supaya PTTEP Australasia duduk bersama pemerintah Indonesia untuk membicarakan masalah ini," katanya.
Menurut Tanoni, Satgas Montara sejauh ini telah melakukan korespondensi dengan perwakilan Australia di Indonesia guna menyampaikan permintaan kerja sama penyelesaian. Namun, hingga kini belum ada tanggapan dari Australia.
"Baru-baru ini kami juga kirim surat ke Dubes Australia di Indonesia, Gary Quinlan. Dia dulu adalah pejabat Kemenlu Australia yang mengurusi urusan Montara. Sejak 28 November 2018 kami sudah kirim surat. Tapi, belum ada respons," katanya.