Labuan Bajo (ANTARA) - Masyarakat Kampung Pajoreja, Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur yang mayoritas beragama Katolik terus menjaga toleransi agama dengan melestarikan tempat Wudhu yang merupakan peninggalan leluhur menjadi wisata religi.
"Tempat wudhu itu peninggalan leluhur kami dari tahun 1.700-an. Kami terus jaga sampai hari ini dan jadi wisata religi," kata Kepala Desa Ululoga, Petrus Leko ketika dihubungi dari Labuan Bajo, Senin, (3/4/2023).
Tempat Wudhu itu terletak di bawah sebuah pohon besar yang disebut warga sebagai Ae Wudhu. Di dekat air, ada batu persegi yang dinamakan Watu Noa atau tempat sholat.
Ae Wudhu dan Watu Noa ini merupakan peninggalan nenek moyang laki-laki Kampung Pajoreja yang mengambil isteri seorang perempuan muslim dari Kampung Tonggo, Kecamatan Nangaroro. Ae Wudhu dibuat oleh sang lelaki untuk isterinya agar memiliki tempat wudhu dan sholat.
"Ia (perempuan) satu-satunya yang beragama Islam saat itu sehingga ia meminta suaminya membuat tempat wudhu dan sholat," kata Petrus bercerita.
Tempat wudhu dan sholat peninggalan nenek moyang itu tidak pernah dipugar, melainkan dibiarkan alami dengan terus dibersihkan oleh pemuda desa yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Kini pemerintah desa menjadikan tempat itu sebagai salah satu destinasi wisata desa khususnya wisata religi di bawah kaki Gunung Ebulobo.
Petrus menyebut banyak wisatawan datang dan tertarik dengan sejarah tempat wudhu itu dan bagaimana masyarakat desa yang beragama Katolik mau menjaga kelestarian tempat itu.
Dia menambahkan, banyak wisatawan beragama Islam yang mengunjungi tempat itu dan mengambil air wudhu.
"Mereka datang biasanya pas hari raya, lalu mereka pakai wudhu," katanya.
Meski mayoritas beragama Katolik, Petrus menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah desa selalu menjaga keaslian tempat itu dan merawat dengan baik.
Tempat itu, katanya merupakan sebuah kekayaan religius yang dijadikan simbol toleransi antar umat beragama.
"Kami melihat ini sebagai sejarah, sehingga kami coba membangkitkan itu ke generasi berikutnya supaya sejarah tidak punah," katanya menandaskan.
Yanuarius Pili, warga dari kecamatan Nangaroro yang pernah mampir ke tempat wudhu itu memuji upaya pemerintah desa untuk melestarikan tempat itu.
Dia pun memberi saran agar narasi tentang tempat wudhu itu diperkuat dan disajikan dalam bentuk tulisan, sehingga bisa lebih banyak orang yang membacanya dan berkunjung ke lokasi itu.
"Narasi ini bisa ditulis di website desa, lalu dipromosikan oleh para pemuda. Kalau kuat di narasi, bukan tidak mungkin orang akan datang ke sana," ungkap Yanuarius.
Baca juga: Pemkab Mabar gandeng agen perjalanan promosikan desa wisata
Baca juga: Dispar Mabar: Songke banyak dipilih wisnus jadi suvenir
"Tempat wudhu itu peninggalan leluhur kami dari tahun 1.700-an. Kami terus jaga sampai hari ini dan jadi wisata religi," kata Kepala Desa Ululoga, Petrus Leko ketika dihubungi dari Labuan Bajo, Senin, (3/4/2023).
Tempat Wudhu itu terletak di bawah sebuah pohon besar yang disebut warga sebagai Ae Wudhu. Di dekat air, ada batu persegi yang dinamakan Watu Noa atau tempat sholat.
Ae Wudhu dan Watu Noa ini merupakan peninggalan nenek moyang laki-laki Kampung Pajoreja yang mengambil isteri seorang perempuan muslim dari Kampung Tonggo, Kecamatan Nangaroro. Ae Wudhu dibuat oleh sang lelaki untuk isterinya agar memiliki tempat wudhu dan sholat.
"Ia (perempuan) satu-satunya yang beragama Islam saat itu sehingga ia meminta suaminya membuat tempat wudhu dan sholat," kata Petrus bercerita.
Tempat wudhu dan sholat peninggalan nenek moyang itu tidak pernah dipugar, melainkan dibiarkan alami dengan terus dibersihkan oleh pemuda desa yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Kini pemerintah desa menjadikan tempat itu sebagai salah satu destinasi wisata desa khususnya wisata religi di bawah kaki Gunung Ebulobo.
Petrus menyebut banyak wisatawan datang dan tertarik dengan sejarah tempat wudhu itu dan bagaimana masyarakat desa yang beragama Katolik mau menjaga kelestarian tempat itu.
Dia menambahkan, banyak wisatawan beragama Islam yang mengunjungi tempat itu dan mengambil air wudhu.
"Mereka datang biasanya pas hari raya, lalu mereka pakai wudhu," katanya.
Meski mayoritas beragama Katolik, Petrus menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah desa selalu menjaga keaslian tempat itu dan merawat dengan baik.
Tempat itu, katanya merupakan sebuah kekayaan religius yang dijadikan simbol toleransi antar umat beragama.
"Kami melihat ini sebagai sejarah, sehingga kami coba membangkitkan itu ke generasi berikutnya supaya sejarah tidak punah," katanya menandaskan.
Yanuarius Pili, warga dari kecamatan Nangaroro yang pernah mampir ke tempat wudhu itu memuji upaya pemerintah desa untuk melestarikan tempat itu.
Dia pun memberi saran agar narasi tentang tempat wudhu itu diperkuat dan disajikan dalam bentuk tulisan, sehingga bisa lebih banyak orang yang membacanya dan berkunjung ke lokasi itu.
"Narasi ini bisa ditulis di website desa, lalu dipromosikan oleh para pemuda. Kalau kuat di narasi, bukan tidak mungkin orang akan datang ke sana," ungkap Yanuarius.
Baca juga: Pemkab Mabar gandeng agen perjalanan promosikan desa wisata
Baca juga: Dispar Mabar: Songke banyak dipilih wisnus jadi suvenir