Jakarta (ANTARA) - Tidak ada pembicaraan mengenai kesetaraan gender pada pemberian bilik khusus bagi perempuan dalam transportasi umum di Jakarta.
Mengapa perempuan diberi bilik khusus dalam transportasi umum di Jakarta? Mengapa ada busway khusus bagi perempuan? Apakah memang sistem transportasi umum di Jakarta lebih mengistimewakan perempuan dibandingkan laki-laki?
Menjadi perempuan dengan segala kompleksitasnya, baik di dalam dirinya atau pun di luar dirinya, adalah topik yang banyak diperbincangkan dewasa ini.
Isu kesetaraan gender antara perempuan dan pria pun mulai diadopsi ke dalam semua bidang kehidupan manusia. Berbicara tentang pekerjaan, berarti berbicara juga soal kesetaraan gender. Berbicara soal pelayanan publik, berbicara juga soal kesetaraan gender. Berbicara soal sistem transportasi umum, berbicara juga soal kesetaraan gender.
Ada beberapa pertanyaan yang sering mengiang pada pikiran publik transportasi, khususnya ketika sedang berada dalam angkutan umum.
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti, kenapa ya kira-kira ada bilik khusus bagi perempuan dalam Transjakarta dan juga dalam kereta (CRL). Kenapa wanita selalu diutamakan untuk mendapatkan tempat duduk dibandingkan dengan laki-laki? Atau pertanyaan yang lebih reflektif, mengapa laki-laki sering kali memberikan tempat duduknya bagi perempuan? Mengapa pada saat yang sama, angka pelecehan seksual juga terjadi dalam angka yang masif kepada perempuan?
Klaudia Anastasya (23), lulusan Teknik Kimia Universitas Indonesia, memiliki pendapatnya sendiri sebagai pengguna transportasi umum Jakarta. Dalam pengakuannya, ia naik kereta setiap hari. Biasanya rute yang ia tempuh itu dari Terminal UI sampai ke Terminal Cawang. Ia juga naik Transjakarta hingga enam kali dalam seminggu untuk aktivitasnya.
Suasana dalam angkutan umum bukan hal asing lagi baginya. Pemandangan seperti bagaimana wanita diperlakukan dalam angkutan umum adalah hal yang selalu ia lihat dan rasakan.
Ia mengaku sering kali diistimewakan hanya karena ia seorang wanita. Kebiasaan itu sudah menjadi tradisi dalam sistem transportasi umum atau spontanitas publik transportasi. Kalau misalnya ia tidak mendapat duduk pada bilik khusus wanita, maka ketika ia bergerak ke arah belakang, sering kali ada yang menawarinya kursi. Hal ini tentunya bukan hal baru lagi bagi publik transportasi.
Ia sebenarnya tidak begitu ingin terbiasa dengan spontanitas semacam itu. Kalau dia merasa kuat, dia akan tetap berdiri. Jadi, pemberian tempat duduk itu sebenarnya bukan tentang gender, tetapi soal mana yang kelihatan lebih kuat berdiri dan mana yang tidak kuat berdiri. Dari pembedaan tersebut, dapat secara umum digolongkan antara orang muda dan orang tua atau ibu hamil atau orang sedang sakit.
"Kalau ada orang tua yang berdiri, ya saya tawarkan tempat duduk saya. Entah orang tua itu ibu-ibu atau bapak-bapak. Saya merasa kuat untuk berdiri dan menurut saya itu etika yang pantas," ujarnya.
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki di dalam sistem transportasi umum di Jakarta. Dalam hal ini, ia kurang setuju dengan adanya pengistimewaan dalam transportasi umum, hanya karena dia seseorang perempuan.
Walaupun tak dapat dimungkiri, dirinya juga sering mendapatkan keistimewaan tersebut. Ia menduga, pemberian bilik khusus tersebut ada kaitannya dengan angka pelecehan seksual yang terjadi terhadap wanita dalam sistem transportasi umum di Jakarta.
Hal inilah yang kemudian menjadi pertanyaan baginya. Dengan budaya spontanitas pengutamaan kursi penumpang bagi perempuan, mengapa angka pelecehan seksual terhadap perempuan khusus pada transportasi umum masih ada? Bukankah itu kontradiktif?
Sisi keilmuan
Ahli transportasi dari Universitas Indonesia Ellen Tangkidu mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pembedaan perlakuan kepada lelaki dan kepada perempuan dalam sistem transportasi umum, khususnya dari sudut pandang penumpang.
Kartini memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan wanita bukan untuk membuat wanita lebih diistimewakan dalam transportasi umum. Misalnya ada wanita yang kebetulan tidak mendapat tempat duduk di dalam busway atau CRL. Dalam hal tersebut, laki-laki tidak punya tanggung jawab konstitusional untuk memberikan tempat duduknya bagi wanita tersebut.
Namun lebih dari, perlu ditekankan bahwa yang wajib mendapat keistimewaan dalam transportasi umum adalah kaum difabel. Secara internasional pun mereka mendapat tempat khusus dalam sistem transportasi. Demikian juga halnya dengan ibu hamil dan para lansia, serta ibu-ibu yang membawa anaknya. Mereka juga seharusnya mendapatkan tempat duduk di dalam busway, misalnya.
Berbicara soal pemberian bilik khusus bagi wanita di dalam busway ataupun di dalam CRL, itu bukan untuk mengistimewakan wanita dari pada laki-laki.
Tidak ada pembicaraan mengenai kesetaraan gender pada pemberian bilik khusus bagi wanita. Hal itu mesti dilihat secara historis juga.
Dalam survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2022, tercatat 3.539 perempuan dari 4.263 responden yang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, dan 23 persen di antaranya terjadi di transportasi umum termasuk sarana dan prasarana.
Hal itu sebenarnya perlu juga dilihat secara historis. Pemberian bilik khusus bagi wanita bukan untuk kesetaraan gender, melainkan dalam hal ini untuk sesuai yang lebih esensial yakni menekan angka pelecehan seksual terhadap wanita.
Meskipun sering kali pelecehan seksual terjadi juga di ruang publik lain, angka 23 persen pelecehan di transportasi umum hanya kebetulan terjadi dalam angkutan umum atau di sarana dan prasarananya.
Sebenarnya pemberian bilik khusus tidak perlu untuk dilakukan selain karena alasan menekan angka pelecehan seksual kepada wanita.
Menurun Ellen, barang kali kalau di kereta wajar diterapkan mengingat kepadatan penumpang kereta di Jakarta. Akan tetapi untuk busway, pemberian bilik khusus atau busway khusus bagi wanita sepertinya tidak perlu dilakukan.
Jadi, untuk mengurangi kepadatan dalam busway, tinggal ditambah saja jumlah busway yang ada. Tidak perlu ada pengistimewaan khusus.
Ia menyarankan wanita agar juga memiliki kemampuan untuk membela diri, khususnya bagi mereka yang tempat kerjanya jauh dari tempat tinggal. Wanita tidak bisa hanya bersandar pada alat-alat perlindungan yang diberikan pemerintah karena ancaman pelecehan bisa terjadi di mana saja.
Yang prioritas itu siapa sebenarnya?
Kepala Humas KAI Daop 1, Eva Chaorunisa, mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada prioritas perempuan dalam pelayanan transportasi yang diberikan KAI.
Namun yang diprioritaskan adalah yang pertama kaum difabel, ibu hamil, lansia, orang yang sedang sakit, dan ibu bersama anak-anaknya. Ibu hamil dan ibu bersama anak diprioritaskan bukan karena mereka perempuan, tetapi karena berkebutuhan khusus, yakni hamil dan sedang bersama anak.
Perihal memberikan kursi khusus bagi wanita secara spontan, itu adalah sebuah kebiasaan publik transportasi yang patut diapresiasi.
Akan tetapi yang diwajibkan adalah pemberian kursi khusus bagi penumpang prioritas.
Di luar negeri, kursi-kursi prioritas yang sedang kosong pun jarang sekali ditempati oleh penumpang lain. Mereka lebih melihat itu sebagai hak khusus yang hanya layak didapatkan oleh para penumpang prioritas. Kalau masih kuat berdiri, ya berdiri saja.
Yang kemudian menjadi pertanyaan publik adalah apakah dengan kebijakan yang demikian, pelecehan benar-benar bisa dikurangi? Atau kebijakan bilik/busway khusus wanita ini hanya menjadi jurang semu yang dibuat untuk menjauh wanita dari ancaman pelecehan seksual.
Pada dasarnya, aturan yang dibuat untuk menjauhkan seseorang dari perbuatan melanggar terbukti efektif untuk menekan angka pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Artinya, potensi manusia berbuat salah dipotong dengan menjauhkan objek pelanggarannya. Di sini, dimensi kebebasan manusia untuk tidak melanggar aturan semacam dikesampingkan.
Baca juga: Artikel - Potret ketidakadilan gender dalam kumcer Bulan Ziarah Kenangan
Kita semua sepakat bahwa pelecehan seksual adalah musuh bersama. Tetapi penyelesaiannya mesti menyentuh sisi kesadaran manusia, dalam hal ini lelaki.
Pemberian bilik/busway khusus bagi wanita seharusnya menjadi poin evaluasi bagi kaum lelaki, bahwa selama ini sudah banyak tindak pelecehan seksual yang dilakukan terhadap perempuan oleh laki-laki.
Baca juga: Kesetaraan Gender Indonesia Meningkat
Selama kesadaran komunal sebagai laki-laki serta kemauan untuk menjadi lebih baik tidak diinternalisasikan dalam diri kaum pria, dikhawatirkan bilik khusus perempuan hanya akan menjadi penunda sementara akan tindak pelecehan seksual.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjadi perempuan penumpang dalam angkutan umum di Jakarta
Mengapa perempuan diberi bilik khusus dalam transportasi umum di Jakarta? Mengapa ada busway khusus bagi perempuan? Apakah memang sistem transportasi umum di Jakarta lebih mengistimewakan perempuan dibandingkan laki-laki?
Menjadi perempuan dengan segala kompleksitasnya, baik di dalam dirinya atau pun di luar dirinya, adalah topik yang banyak diperbincangkan dewasa ini.
Isu kesetaraan gender antara perempuan dan pria pun mulai diadopsi ke dalam semua bidang kehidupan manusia. Berbicara tentang pekerjaan, berarti berbicara juga soal kesetaraan gender. Berbicara soal pelayanan publik, berbicara juga soal kesetaraan gender. Berbicara soal sistem transportasi umum, berbicara juga soal kesetaraan gender.
Ada beberapa pertanyaan yang sering mengiang pada pikiran publik transportasi, khususnya ketika sedang berada dalam angkutan umum.
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti, kenapa ya kira-kira ada bilik khusus bagi perempuan dalam Transjakarta dan juga dalam kereta (CRL). Kenapa wanita selalu diutamakan untuk mendapatkan tempat duduk dibandingkan dengan laki-laki? Atau pertanyaan yang lebih reflektif, mengapa laki-laki sering kali memberikan tempat duduknya bagi perempuan? Mengapa pada saat yang sama, angka pelecehan seksual juga terjadi dalam angka yang masif kepada perempuan?
Klaudia Anastasya (23), lulusan Teknik Kimia Universitas Indonesia, memiliki pendapatnya sendiri sebagai pengguna transportasi umum Jakarta. Dalam pengakuannya, ia naik kereta setiap hari. Biasanya rute yang ia tempuh itu dari Terminal UI sampai ke Terminal Cawang. Ia juga naik Transjakarta hingga enam kali dalam seminggu untuk aktivitasnya.
Suasana dalam angkutan umum bukan hal asing lagi baginya. Pemandangan seperti bagaimana wanita diperlakukan dalam angkutan umum adalah hal yang selalu ia lihat dan rasakan.
Ia mengaku sering kali diistimewakan hanya karena ia seorang wanita. Kebiasaan itu sudah menjadi tradisi dalam sistem transportasi umum atau spontanitas publik transportasi. Kalau misalnya ia tidak mendapat duduk pada bilik khusus wanita, maka ketika ia bergerak ke arah belakang, sering kali ada yang menawarinya kursi. Hal ini tentunya bukan hal baru lagi bagi publik transportasi.
Ia sebenarnya tidak begitu ingin terbiasa dengan spontanitas semacam itu. Kalau dia merasa kuat, dia akan tetap berdiri. Jadi, pemberian tempat duduk itu sebenarnya bukan tentang gender, tetapi soal mana yang kelihatan lebih kuat berdiri dan mana yang tidak kuat berdiri. Dari pembedaan tersebut, dapat secara umum digolongkan antara orang muda dan orang tua atau ibu hamil atau orang sedang sakit.
"Kalau ada orang tua yang berdiri, ya saya tawarkan tempat duduk saya. Entah orang tua itu ibu-ibu atau bapak-bapak. Saya merasa kuat untuk berdiri dan menurut saya itu etika yang pantas," ujarnya.
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara wanita dan laki-laki di dalam sistem transportasi umum di Jakarta. Dalam hal ini, ia kurang setuju dengan adanya pengistimewaan dalam transportasi umum, hanya karena dia seseorang perempuan.
Walaupun tak dapat dimungkiri, dirinya juga sering mendapatkan keistimewaan tersebut. Ia menduga, pemberian bilik khusus tersebut ada kaitannya dengan angka pelecehan seksual yang terjadi terhadap wanita dalam sistem transportasi umum di Jakarta.
Hal inilah yang kemudian menjadi pertanyaan baginya. Dengan budaya spontanitas pengutamaan kursi penumpang bagi perempuan, mengapa angka pelecehan seksual terhadap perempuan khusus pada transportasi umum masih ada? Bukankah itu kontradiktif?
Sisi keilmuan
Ahli transportasi dari Universitas Indonesia Ellen Tangkidu mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pembedaan perlakuan kepada lelaki dan kepada perempuan dalam sistem transportasi umum, khususnya dari sudut pandang penumpang.
Kartini memperjuangkan kesetaraan gender antara laki-laki dan wanita bukan untuk membuat wanita lebih diistimewakan dalam transportasi umum. Misalnya ada wanita yang kebetulan tidak mendapat tempat duduk di dalam busway atau CRL. Dalam hal tersebut, laki-laki tidak punya tanggung jawab konstitusional untuk memberikan tempat duduknya bagi wanita tersebut.
Namun lebih dari, perlu ditekankan bahwa yang wajib mendapat keistimewaan dalam transportasi umum adalah kaum difabel. Secara internasional pun mereka mendapat tempat khusus dalam sistem transportasi. Demikian juga halnya dengan ibu hamil dan para lansia, serta ibu-ibu yang membawa anaknya. Mereka juga seharusnya mendapatkan tempat duduk di dalam busway, misalnya.
Berbicara soal pemberian bilik khusus bagi wanita di dalam busway ataupun di dalam CRL, itu bukan untuk mengistimewakan wanita dari pada laki-laki.
Tidak ada pembicaraan mengenai kesetaraan gender pada pemberian bilik khusus bagi wanita. Hal itu mesti dilihat secara historis juga.
Dalam survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada tahun 2022, tercatat 3.539 perempuan dari 4.263 responden yang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, dan 23 persen di antaranya terjadi di transportasi umum termasuk sarana dan prasarana.
Hal itu sebenarnya perlu juga dilihat secara historis. Pemberian bilik khusus bagi wanita bukan untuk kesetaraan gender, melainkan dalam hal ini untuk sesuai yang lebih esensial yakni menekan angka pelecehan seksual terhadap wanita.
Meskipun sering kali pelecehan seksual terjadi juga di ruang publik lain, angka 23 persen pelecehan di transportasi umum hanya kebetulan terjadi dalam angkutan umum atau di sarana dan prasarananya.
Sebenarnya pemberian bilik khusus tidak perlu untuk dilakukan selain karena alasan menekan angka pelecehan seksual kepada wanita.
Menurun Ellen, barang kali kalau di kereta wajar diterapkan mengingat kepadatan penumpang kereta di Jakarta. Akan tetapi untuk busway, pemberian bilik khusus atau busway khusus bagi wanita sepertinya tidak perlu dilakukan.
Jadi, untuk mengurangi kepadatan dalam busway, tinggal ditambah saja jumlah busway yang ada. Tidak perlu ada pengistimewaan khusus.
Ia menyarankan wanita agar juga memiliki kemampuan untuk membela diri, khususnya bagi mereka yang tempat kerjanya jauh dari tempat tinggal. Wanita tidak bisa hanya bersandar pada alat-alat perlindungan yang diberikan pemerintah karena ancaman pelecehan bisa terjadi di mana saja.
Yang prioritas itu siapa sebenarnya?
Kepala Humas KAI Daop 1, Eva Chaorunisa, mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada prioritas perempuan dalam pelayanan transportasi yang diberikan KAI.
Namun yang diprioritaskan adalah yang pertama kaum difabel, ibu hamil, lansia, orang yang sedang sakit, dan ibu bersama anak-anaknya. Ibu hamil dan ibu bersama anak diprioritaskan bukan karena mereka perempuan, tetapi karena berkebutuhan khusus, yakni hamil dan sedang bersama anak.
Perihal memberikan kursi khusus bagi wanita secara spontan, itu adalah sebuah kebiasaan publik transportasi yang patut diapresiasi.
Akan tetapi yang diwajibkan adalah pemberian kursi khusus bagi penumpang prioritas.
Di luar negeri, kursi-kursi prioritas yang sedang kosong pun jarang sekali ditempati oleh penumpang lain. Mereka lebih melihat itu sebagai hak khusus yang hanya layak didapatkan oleh para penumpang prioritas. Kalau masih kuat berdiri, ya berdiri saja.
Yang kemudian menjadi pertanyaan publik adalah apakah dengan kebijakan yang demikian, pelecehan benar-benar bisa dikurangi? Atau kebijakan bilik/busway khusus wanita ini hanya menjadi jurang semu yang dibuat untuk menjauh wanita dari ancaman pelecehan seksual.
Pada dasarnya, aturan yang dibuat untuk menjauhkan seseorang dari perbuatan melanggar terbukti efektif untuk menekan angka pelanggaran terhadap aturan tersebut.
Artinya, potensi manusia berbuat salah dipotong dengan menjauhkan objek pelanggarannya. Di sini, dimensi kebebasan manusia untuk tidak melanggar aturan semacam dikesampingkan.
Baca juga: Artikel - Potret ketidakadilan gender dalam kumcer Bulan Ziarah Kenangan
Kita semua sepakat bahwa pelecehan seksual adalah musuh bersama. Tetapi penyelesaiannya mesti menyentuh sisi kesadaran manusia, dalam hal ini lelaki.
Pemberian bilik/busway khusus bagi wanita seharusnya menjadi poin evaluasi bagi kaum lelaki, bahwa selama ini sudah banyak tindak pelecehan seksual yang dilakukan terhadap perempuan oleh laki-laki.
Baca juga: Kesetaraan Gender Indonesia Meningkat
Selama kesadaran komunal sebagai laki-laki serta kemauan untuk menjadi lebih baik tidak diinternalisasikan dalam diri kaum pria, dikhawatirkan bilik khusus perempuan hanya akan menjadi penunda sementara akan tindak pelecehan seksual.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjadi perempuan penumpang dalam angkutan umum di Jakarta