Kupang (ANTARA) - Kelompok kerja (Pokja) penanganan tumpahan minyak di laut NTT mengharapkan dukungan peralatan early warning system (EWS) dalam penanganan kasus tumpahan minyak di sejumlah wilayah pesisir di provinsi berbasis kepulauan itu.
Kabid Pengendalian dan Perlindungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT Sulastri Rasyid kepada ANTARA di Kupang, Sabtu, (24/5/2023) mengatakan bahwa Pokja itu dibentuk berkaca dari kasus tumpahan minyak di Laut Timur pada tahun 2009 lalu.
“Kejadian meledaknya kilang minyak Montara pada Agustus 2009 lalu menjadi pelajaran berharga bagi kita, karena banyak nelayan di pulau Timor, Rote Ndao, Sumba dan beberapa pulau lainnya terdampak,” katanya.
Dampak yang dirasakan adalah hasil tangkapan ikan yang menurun drastis, lalu ratusan hektare lokasi pembudidayaan rumput laut yang rusak akibat terendam minyak Montara.
Pada saat itu, sejumlah nelayan dan petani rumput laut benar-benar merugi, namun pemerintah daerah tidak bisa berbuat apa-apa karena belum adanya pembekalan tentang EWS jika terjadi tumpahan minyak di laut.
“Kita kekurangan data untuk ganti kerugian masyarakat nelayan dan petani rumput laut karena belum paham bagaimana menangani masalah itu,” ujar dia.
Namun, setelah pada 2021 setelah adanya Badan Program Pembangunan (UNDP) PBB bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) yang didanai Global Environment Facility (GEF) mulai dibahas kembali Pokja tersebut.
Dengan adanya kerja sama DLHK dengan Pokja dan ATSEA pihaknya sudah mulai paham bagaimana mengatasi tumpahan minyak lewat EWS.
Hasilnya setiap Pokja sudah bisa bekerja maksimal mulai dari pencatatan, pendataan dan alternatif livelihoods. Tetapi hal itu baru masuk dalam tahap pembahasan saja.
“Karena untuk EWS ini belum sampai pada bantu untuk pengecekan jika terjadi tumpahan minyak. Apalagi wilayah laut NTT ini merupakan jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI),” tambah dia.
Baca juga: NTT tuan rumah pembukaan Indonesia's FOLU Net Sink 2030
Saat ini, baru wilayah Rote Ndao saja yang dijadikan sebagai proyek percontohan untuk penerapan EWS tersebut, dan dia berharap bisa berlanjut ke daerah lain.
Baca juga: DLHK: Bantuan kendaraan dari KLHK hanya digunakan di Kota kupang
Sementara itu Koordinator Program ATSEA II tingkat Kabupaten Rote Ndao Mikael Leuape mendorong agar masalah pencemaran laut oleh minyak harus menjadi prioritas pemerintah karena berkaitan dengan kehidupan banyak orang.*
Kabid Pengendalian dan Perlindungan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT Sulastri Rasyid kepada ANTARA di Kupang, Sabtu, (24/5/2023) mengatakan bahwa Pokja itu dibentuk berkaca dari kasus tumpahan minyak di Laut Timur pada tahun 2009 lalu.
“Kejadian meledaknya kilang minyak Montara pada Agustus 2009 lalu menjadi pelajaran berharga bagi kita, karena banyak nelayan di pulau Timor, Rote Ndao, Sumba dan beberapa pulau lainnya terdampak,” katanya.
Dampak yang dirasakan adalah hasil tangkapan ikan yang menurun drastis, lalu ratusan hektare lokasi pembudidayaan rumput laut yang rusak akibat terendam minyak Montara.
Pada saat itu, sejumlah nelayan dan petani rumput laut benar-benar merugi, namun pemerintah daerah tidak bisa berbuat apa-apa karena belum adanya pembekalan tentang EWS jika terjadi tumpahan minyak di laut.
“Kita kekurangan data untuk ganti kerugian masyarakat nelayan dan petani rumput laut karena belum paham bagaimana menangani masalah itu,” ujar dia.
Namun, setelah pada 2021 setelah adanya Badan Program Pembangunan (UNDP) PBB bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) yang didanai Global Environment Facility (GEF) mulai dibahas kembali Pokja tersebut.
Dengan adanya kerja sama DLHK dengan Pokja dan ATSEA pihaknya sudah mulai paham bagaimana mengatasi tumpahan minyak lewat EWS.
Hasilnya setiap Pokja sudah bisa bekerja maksimal mulai dari pencatatan, pendataan dan alternatif livelihoods. Tetapi hal itu baru masuk dalam tahap pembahasan saja.
“Karena untuk EWS ini belum sampai pada bantu untuk pengecekan jika terjadi tumpahan minyak. Apalagi wilayah laut NTT ini merupakan jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI),” tambah dia.
Baca juga: NTT tuan rumah pembukaan Indonesia's FOLU Net Sink 2030
Saat ini, baru wilayah Rote Ndao saja yang dijadikan sebagai proyek percontohan untuk penerapan EWS tersebut, dan dia berharap bisa berlanjut ke daerah lain.
Baca juga: DLHK: Bantuan kendaraan dari KLHK hanya digunakan di Kota kupang
Sementara itu Koordinator Program ATSEA II tingkat Kabupaten Rote Ndao Mikael Leuape mendorong agar masalah pencemaran laut oleh minyak harus menjadi prioritas pemerintah karena berkaitan dengan kehidupan banyak orang.*