Kupang (Antara NTT) - Kemarau panjang yang melanda sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur mengakibatkan debit air pada sejumlah sumber mata air menurun drastis, terutama di Kupang dan sekitarnya sehingga terjadi kekeringan dan krisis air bersih.
"Debit air di Kupang Nusa Tenggara Timur berkurang hingga 50 persen akibat kemarau panjang," kata Kepala Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang Juli Setiyanto, di Kupang, Kamis, terkait turunnya sejumlah mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Kupang dan sekitarnya.
Ia mengatakan penurunan debit air tersebut selain mengakibatkan krisis air bersih juga mengakibatkan areal persawahan yang biasanya diairi sumber air irigasi dan bendungan tidak diolah, seperti di Oesao, Naibonat dan Tarus Kabupaten Kupang, termasuk di Oepura Kelurahan Oepura, Kota Kupang.
"Rata-rata debit mata air di Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur dan debit air di Bendungan Tilong di Kupang Tengah Kabupaten Kupang sudah berkurang hingga sekitar 40 persen," katanya.
Kondisi tersebut katanya membuat petani di persawahan Oesao menganggur dan terpaksa mengalihakn aktivitasnya ke tanaman palawija.
Dia menyebut solusi untuk mengatasi masalah penurunan debit air yang berdampak pada penyediaan air bersih adalah mengoptimalkan sumur bor dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada di NTT.
Ketersediaan air bersih dan sanitasi lingkungan bagi keluarga di Nusa Tenggara Timur diakui masih terbatas, karena iklim yang ekstrem dan keterbatasan yang dialami dalam proses penyediaan sarana dan prasarana sehingga perlu mendapat perhatian semua pihak.
"Sebanyak enam dari 21 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih rawan atau kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari," katanya.
Enam kabupaten rawan air bersih tersebut, yakni di Kabupaten Ende, khususnya Pulau Ende, Sikka di Desa Palue, Flores Timur di Pulau Solor, Belu di Atapupu, Kabupaten Kupang di Sulamu serta Sumba Timur di Desa Aha.
Disebut sebagai daerah rawan air bersih, karena masyarakat di daerah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan air minum sesuai ketentuan, yakni dalam sehari sebanyak 30 liter/orang.
"Mereka hanya memanfaatkan sumur gali yang debit airnya sangat terbatas, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan air minum per hari," katanya
Ia mengtakan ketersediaan air di NTT dalam sebulan 354 juta m3 per bulan atau 136 m3 per detik atau setahun hanya Rp2,82 miliar m3 sehingga defisit air di NTT dalam setahun mencapai Rp2 miliar m3 lebih.
Kondisi ini katanya diperparah oleh kerusakan daerah aliran sungai (DAS) sehingga debit air terus berkurang.
Ia mengatakan hasil koordinasi dengan instansi terkait soal penurunan debit air dan krisis air bersih disepakati untuk tetap mengoptimalkan bendungan dan sarana penampung air bersih yang tersedia saat ini di NTT untuk menghadapi krisis air bersih.
"Saat ini bendungan Tilong dan Raknamo di Kabupaten Kupang, Aesesa di Mbay Kabupaten Nagekeo, Kambaniru di Sumba, bendung dan tempat penampung air lainnya yang tersebar di sejumlah daerah kepulauan ini masih berfungsi dengan baik, sehingga perlu dioptimalkan daya tampung serta fasilitas pendukung lainnya, agar tetap berfungsi maksimal," katanya.
"Debit air di Kupang Nusa Tenggara Timur berkurang hingga 50 persen akibat kemarau panjang," kata Kepala Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang Juli Setiyanto, di Kupang, Kamis, terkait turunnya sejumlah mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Kupang dan sekitarnya.
Ia mengatakan penurunan debit air tersebut selain mengakibatkan krisis air bersih juga mengakibatkan areal persawahan yang biasanya diairi sumber air irigasi dan bendungan tidak diolah, seperti di Oesao, Naibonat dan Tarus Kabupaten Kupang, termasuk di Oepura Kelurahan Oepura, Kota Kupang.
"Rata-rata debit mata air di Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur dan debit air di Bendungan Tilong di Kupang Tengah Kabupaten Kupang sudah berkurang hingga sekitar 40 persen," katanya.
Kondisi tersebut katanya membuat petani di persawahan Oesao menganggur dan terpaksa mengalihakn aktivitasnya ke tanaman palawija.
Dia menyebut solusi untuk mengatasi masalah penurunan debit air yang berdampak pada penyediaan air bersih adalah mengoptimalkan sumur bor dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada di NTT.
Ketersediaan air bersih dan sanitasi lingkungan bagi keluarga di Nusa Tenggara Timur diakui masih terbatas, karena iklim yang ekstrem dan keterbatasan yang dialami dalam proses penyediaan sarana dan prasarana sehingga perlu mendapat perhatian semua pihak.
"Sebanyak enam dari 21 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih rawan atau kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari," katanya.
Enam kabupaten rawan air bersih tersebut, yakni di Kabupaten Ende, khususnya Pulau Ende, Sikka di Desa Palue, Flores Timur di Pulau Solor, Belu di Atapupu, Kabupaten Kupang di Sulamu serta Sumba Timur di Desa Aha.
Disebut sebagai daerah rawan air bersih, karena masyarakat di daerah tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan air minum sesuai ketentuan, yakni dalam sehari sebanyak 30 liter/orang.
"Mereka hanya memanfaatkan sumur gali yang debit airnya sangat terbatas, sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan air minum per hari," katanya
Ia mengtakan ketersediaan air di NTT dalam sebulan 354 juta m3 per bulan atau 136 m3 per detik atau setahun hanya Rp2,82 miliar m3 sehingga defisit air di NTT dalam setahun mencapai Rp2 miliar m3 lebih.
Kondisi ini katanya diperparah oleh kerusakan daerah aliran sungai (DAS) sehingga debit air terus berkurang.
Ia mengatakan hasil koordinasi dengan instansi terkait soal penurunan debit air dan krisis air bersih disepakati untuk tetap mengoptimalkan bendungan dan sarana penampung air bersih yang tersedia saat ini di NTT untuk menghadapi krisis air bersih.
"Saat ini bendungan Tilong dan Raknamo di Kabupaten Kupang, Aesesa di Mbay Kabupaten Nagekeo, Kambaniru di Sumba, bendung dan tempat penampung air lainnya yang tersebar di sejumlah daerah kepulauan ini masih berfungsi dengan baik, sehingga perlu dioptimalkan daya tampung serta fasilitas pendukung lainnya, agar tetap berfungsi maksimal," katanya.