Solor (ANTARA) - Pemilik Kedai Kopi dan Taman Baca Rumah Hanasta Edo Sogen berkomitmen untuk mendukung peningkatan kapasitas para petani kopi di Kampung Lamaole, Desa Lewotanah Ole, Kecamatan Solor Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Tidak hanya sebatas promosi atau mencari pasar, tapi tanggung jawab besar dari Rumah Hanasta adalah menemani petani dan memberi edukasi pascapanen," kata Edo di Solor, Kabupaten Flores Timur, Selasa, (16/4/2024).
Jenama Kopi Lamaole pertama kali diangkat ke publik oleh Rumah Hanasta pada Festival Bale Nagi di Larantuka, 2-6 April 2024.
Saat itu ia membawa 25 bungkus Kopi Lamaole berukuran 125 gram, 18 bungkus berukuran 60 gram, dan 1 kg roasted bean. Semua itu laku terjual pada hari keempat festival.
Melihat antusias publik yang membeli Kopi Lamaole saat festival dan pemesanan yang membeludak pascafestival, Edo menyadari kehadiran kopi tersebut bukan sekadar promosi cita rasa.
Lebih dari itu, Edo menilai pentingnya memperdalam kemampuan para petani dalam pola perawatan dan proses pascapanen.
Dua hal itu menjadi penentu mutu kopi yang tentunya akan berdampak pada permintaan pasar.
Untuk mewujudkan hal itu, Rumah Hanasta telah menyiapkan konsep pemberian pelatihan kepada petani dengan menghadirkan narasumber yang mumpuni di bidang tersebut.
Ia berharap pelatihan yang diberikan itu dapat membuat petani mampu menghasilkan kopi yang berkualitas yang tentunya akan berdampak pada kesejahteraan para petani kopi.
"Secara pribadi Rumah Hanasta bangga bisa menghadirkan kopi lokal yang asli dari Solor," kata Edo dengan bangga.
Secara umum tanaman kopi di Desa Lewotanah Ole telah ada sejak tahun 1966 yang dibawa langsung dari Hokeng, Kecamatan Wulanggitang dan ditanam di kebun desa dan beberapa warga.
Selama puluhan tahun, hasil produksi kopi tidak dimanfaatkan dengan optimal, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Gusti Kewuan, seorang pemuda desa yang fokus memperkenalkan kopi dari Kampung Lamaole, Desa Lewotanah Ole, Flores Timur, NTT. (ANTARA/Dokumentasi Pribadi)
Seorang pemuda desa bernama Gusti Kewuan merasa gelisah melihat potensi desa yang tidak dimanfaatkan dengan baik.
Pada sebuah momen baik, ia dan Edo yang dulunya ada teman sekolah mulai berdiskusi tentang upaya mengangkat potensi kebun kopi itu.
Mereka pun memberanikan diri memperkenalkan kopi tersebut pada momen Festival Bale Nagi.
Baik Edo maupun Gusti menyadari tanggung jawab besar dalam menjaga kualitas dan kuantitas kopi yang telah mereka angkat.
Baca juga: Artkel - Menebar cita rasa robusta Kopi Lamaole Pulau Solor
Kepala Dusun di Desa Lewotanah Ole Fransiskus Marianus Wuri Ole menyadari butuhnya dukungan untuk pengembangan pertanian kopi di desanya.
Baca juga: Produsen perkenalkan mesin penyangrai kopi dengan teknologi canggih
Baca juga: Manggarai Barat perkuat ilmu pengolahan kopi khusus bagi petani
Ia pun mulai melakukan pendataan jumlah petani kopi beserta luas kebun kopi milik warga.
Ia juga mendukung adanya pelatihan tentang cara mengelola kebun kopi dan edukasi pascapanen agar kualitas dan kuantitas kopi milik petani tetap terjaga.
"Tidak hanya sebatas promosi atau mencari pasar, tapi tanggung jawab besar dari Rumah Hanasta adalah menemani petani dan memberi edukasi pascapanen," kata Edo di Solor, Kabupaten Flores Timur, Selasa, (16/4/2024).
Jenama Kopi Lamaole pertama kali diangkat ke publik oleh Rumah Hanasta pada Festival Bale Nagi di Larantuka, 2-6 April 2024.
Saat itu ia membawa 25 bungkus Kopi Lamaole berukuran 125 gram, 18 bungkus berukuran 60 gram, dan 1 kg roasted bean. Semua itu laku terjual pada hari keempat festival.
Melihat antusias publik yang membeli Kopi Lamaole saat festival dan pemesanan yang membeludak pascafestival, Edo menyadari kehadiran kopi tersebut bukan sekadar promosi cita rasa.
Lebih dari itu, Edo menilai pentingnya memperdalam kemampuan para petani dalam pola perawatan dan proses pascapanen.
Dua hal itu menjadi penentu mutu kopi yang tentunya akan berdampak pada permintaan pasar.
Untuk mewujudkan hal itu, Rumah Hanasta telah menyiapkan konsep pemberian pelatihan kepada petani dengan menghadirkan narasumber yang mumpuni di bidang tersebut.
Ia berharap pelatihan yang diberikan itu dapat membuat petani mampu menghasilkan kopi yang berkualitas yang tentunya akan berdampak pada kesejahteraan para petani kopi.
"Secara pribadi Rumah Hanasta bangga bisa menghadirkan kopi lokal yang asli dari Solor," kata Edo dengan bangga.
Secara umum tanaman kopi di Desa Lewotanah Ole telah ada sejak tahun 1966 yang dibawa langsung dari Hokeng, Kecamatan Wulanggitang dan ditanam di kebun desa dan beberapa warga.
Selama puluhan tahun, hasil produksi kopi tidak dimanfaatkan dengan optimal, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Seorang pemuda desa bernama Gusti Kewuan merasa gelisah melihat potensi desa yang tidak dimanfaatkan dengan baik.
Pada sebuah momen baik, ia dan Edo yang dulunya ada teman sekolah mulai berdiskusi tentang upaya mengangkat potensi kebun kopi itu.
Mereka pun memberanikan diri memperkenalkan kopi tersebut pada momen Festival Bale Nagi.
Baik Edo maupun Gusti menyadari tanggung jawab besar dalam menjaga kualitas dan kuantitas kopi yang telah mereka angkat.
Baca juga: Artkel - Menebar cita rasa robusta Kopi Lamaole Pulau Solor
Kepala Dusun di Desa Lewotanah Ole Fransiskus Marianus Wuri Ole menyadari butuhnya dukungan untuk pengembangan pertanian kopi di desanya.
Baca juga: Produsen perkenalkan mesin penyangrai kopi dengan teknologi canggih
Baca juga: Manggarai Barat perkuat ilmu pengolahan kopi khusus bagi petani
Ia pun mulai melakukan pendataan jumlah petani kopi beserta luas kebun kopi milik warga.
Ia juga mendukung adanya pelatihan tentang cara mengelola kebun kopi dan edukasi pascapanen agar kualitas dan kuantitas kopi milik petani tetap terjaga.