Jakarta (ANTARA) - Dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP) 21 di Paris tahun 2015, sebanyak 196 negara setuju bergerak bersama mengatasi masalah iklim. Mereka sepakat menjaga kenaikan suhu Bumi berada di bawah 2 derajat celsius, minimal 1,5 derajat celsius.

Akan tetapi, misi itu gagal dicapai karena pada tahun 2023, kenaikan suhu Bumi pernah sampai lebih dari 2 derajat celsius dan itu menjadi tahun terpanas Bumi. Saat itu kenaikan suhu di planet ini menyentuh angka 2,06 derajat celsius pada tanggal 11 November 2023 berdasarkan data dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa.

Laporan kesenjangan emisi tahunan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang dirilis pada 20 Oktober 2023 menunjukkan bahwa terdapat 86 hari kenaikan suhu Bumi melebihi 1,5 derajat celsius selama tahun 2023 per awal Oktober.

Meskipun angka itu bukan data kenaikan suhu rata-rata Bumi, perubahan iklim yang ekstrem mengindikasikan suhu Bumi tidak makin membaik pada abad ini. Adapun kenaikan suhu rata-rata Bumi sepanjang 2023 diperkirakan pada rentang 1,3 -- 1,4 derajat celsius.

Laporan UNEP juga mengungkapkan bahwa pemerintahan di dunia sedang tidak berada di jalur yang tepat dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Bumi bukan lagi berada di kondisi “panas” (global warming), melainkan sudah berada dalam kondisi “mendidih” (global boiling) sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres belum lama ini.

Badai, banjir, hingga peningkatan permukaan laut makin banyak dijumpai akibat perubahan iklim. PBB dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menekankan ke berbagai negara supaya menangani masalah krisis iklim ini secara radikal karena suhu Bumi terus meningkat.

Berdasarkan COP 21 di Paris, negara-negara maju akan membantu negara berkembang untuk mengatasi masalah iklim dengan  pendanaan, pengembangan dan transfer energi, dan pengembangan kapasitas negara-negara berkembang untuk melakukan aksi-aksinya.

Sejak saat itu beberapa negara menetapkan target dan melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi karbon.

Jepang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 46 persen pada tahun 2030 dan tahun 2050 mencapai netral karbon. Selandia Baru menargetkan emisi karbon sebanyak 50 persen pada tahun 2030 dan bebas emisi sebelum tahun 2050, sedangkan Inggris berambisi untuk bisa mengurangi emisi karbon sebanyak 68 persen pada tahun 2030.

Negara-negara maju harus ikut banyak bertanggung jawab atas anomali iklim ini karena mereka menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yang bersumber dari batu bara, minyak bumi, gas alam.

Berdasarkan data dari Lembaga Global Carbon Project, sepanjang tahun 2022 terdapat 36,6 gigaton karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Batu bara menjadi penyumbang karbon terbesar, yaitu sekitar 15,1 gigaton polutan atau 41 persen dari jumlah keseluruhan. Urutan kedua yaitu minyak bumi dengan besaran karbon 12,1 gigaton, lalu gas alam dengan besaran karbon 7,9 gigaton, dan terakhir adalah industri semen yang menyumbang 1,5 gigaton karbon.

Adapun negara penyumbang karbon terbesar adalah Tiongkok (11,4 gigaton), Amerika Serikat (5,1 gigaton), India (2,9 gigaton), dan Uni Eropa (2,8 gigaton).

The 28th Conference of the Parties (COP 28) of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diselenggarakan pada 30 November -- 12 Desember di Uni Emirat Arab menekankan penghapusan bahan bakar fosil yang mendesak dan peningkatan upaya mengakhiri deforestasi dengan memprioritaskan hak-hak kelompok dan komunitas rentan, masyarakat adat, masyarakat iklim, dan para pembela iklim.

Gerakan dari seluruh pemangku kepentingan menguat terutama dari kelompok multifaith dan untuk pertama kalinya yakni dalam COP28 ada paviliun khusus untuk agama dan kepercayaan yakni Faith Pavilion. Selama 12 hari COP28 di Dubai, program Faith Pavilion diselenggarakan yang bertujuan untuk bisa berfungsi sebagai media penyelesaian masalah, kemitraan, dan berbagai usulan rekomendasi yang bersifat holistik untuk meningkatkan keadilan lingkungan.

Faith Pavilion merupakan event multi-faith yang pertama kali dilakukan. Faith Pavilion ini mempertemukan perwakilan agama, masyarakat adat, pemimpin politik, pemuda, dan masyarakat sipil lainnya.

Program ini memfasilitasi dialog antargenerasi dan antaragama dalam meningkatkan peran agama/kepercayaan spiritual di bidang gerakan iklim serta mengadvokasi solusi holistik untuk melindungi Bumi dan iklim dalam jangka panjang.

Faith Paviliun ini memberikan peluang, utamanya, pada tokoh-tokoh agama untuk mengambil keputusan tindakan iklim yang cepat dan efektif. Ini menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya melibatkan agama dan kepercayaan dalam upaya mengatasi masalah krisis iklim.

Gerakan penyelamatan iklim berbasis spirit agama atau kepercayaan penting dilakukan untuk memperketat pengawasan terhadap praktik-praktik yang merugikan kestabilan iklim. Komunitas keagamaan dan kepercayaan akan sangat efektif dalam melakukan usaha pendidikan terhadap komunitasnya masing-masing terkait krisis iklim karena mereka adalah kelompok yang juga sangat terdampak karena krisis ini.

Organisasi keagamaan punya otoritas yang kuat dalam mengkritik praktik-praktik yang melenceng dari ajaran agama atau kepercayaan yang dianut. Para pemimpin atau tokoh agama berperan sebagai penjaga moral, mentor akhlak, dan katalisator perubahan. Institusi agama sejauh ini terbukti punya pengaruh besar, juga kekuatan finansial yang besar sehingga mereka berpotensi untuk dimanfaatkan dalam kerja sama terkait aksi-aksi meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Paus Fransiskus dan Iman Besar Al Azhar, Mesir, Ahmed Al-Tayeb, menandatangani pernyataan antaragama (interfaith) untuk mendukung aksi iklim. Penandatanganan diumumkan saat peresmian Paviliun Iman di COP28, Abu Dhabi.

Dokumen tersebut juga ditandatangani oleh para pemimpin agama dari seluruh dunia untuk menunjukkan komitmen mereka yang mewakili komunitas agama untuk mengambil tindakan cepat dan tegas demi mengatasi darurat iklim.

Mereka bekerja sama di panggung global karena ingin memberikan inspirasi tujuan-tujuan ambisius dalam menyerukan komitmen konkret terhadap perubahan iklim. Terdapat lebih dari 50 organisasi keagamaan yang bergabung dalam komunitas tersebut.

Agama juga mempunyai pengaruh kolektif yang mencakup banyak orang, terutama penganutnya, sehingga pengaruh agama inilah yang digunakan komunitas ini untuk memberikan inspirasi konkret, memajukan keadilan lingkungan, atau aksi-aksi beralih ke energi bersih.

Prinsip keadilan dalam transisi energi diharapkan tidak menimbulkan kerugian bagi siapa pun dan memupuk perdamaian dengan semua makhluk, mendesak aparat pemerintah, para kepala negara, dan para pebisnis untuk melakukan percepatan transisi energi, transisi ke model kehidupan sirkular yang selaras dengan alam, mengadopsi energi ramah lingkungan secara cepat. Dalam setiap agama, ada berbagai pijakan yang bisa dijadikan landasan dalam melakukan aksi-aksi iklim, khususnya transisi energi.

Dalam agama Islam, misalnya, memanfaatkan bahan fosil, hukum asalnya adalah boleh, tetapi bila penggunaan bahan bakar fosil ini mendatangkan keburukan--baik karena penambangan atau proses kegunaannya--bagi orang banyak, merusak lingkungan, dan memberikan dampak buruk bagi generasi sesudahnya, maka hukum menggunakan bahan bakar fosil menjadi tidak boleh. Keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, menjadi alasan hukum menggunakan energi fosil menjadi tidak boleh sehingga, beralih ke energi hijau merupakan sebuah keharusan bila ditinjau dari hukum Islam ini.

Demikian juga dalam perspektif Katolik yang berpandangan bahwa Bumi adalah rumah bersama (domus communis) yang harus dijaga. Manusia tidak berhak memboroskan dan merusak alam serta sumber sumbernya dengan alasan apapun. Sejalan dengan perspektif Katolik, Gereja Protestan, berdasarkan HKBP tahun 1996, memutuskan ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan, yang telah dieksploitasi umat manusia atas nama pembangunan dan mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan, energi hijau, energi angin.

Pandangan ini juga ada dalam agama Hindu, dalam bahasa Sansakerta berbunyi Vasudhaiva Kutumbhakam, yang artinya “seluruh dunia adalah satu keluarga”. Agama Hindu punya ajaran tentang lima unsur penting yang membentuk lingkungan yaitu Panca Maha Bhuta: Pertiwi (unsur padat/Bumi), Apah (unsur cair/air), Teja (unsur cahaya/api), Bayu (unsur udara), dan Akasa (angkasa/unsur ruang). Lima unsur ini saling berhubungan dan bergantung  sehingga ia harus dijaga dengan baik. Konsekuensinya, transisi energi bersih perlu dilakukan untuk menjaga kelima unsur itu tetap seimbang.

Adapun dalam agama Buddha, ekosistem dipandang sebagai sesuatu yang interdependence dan integratif dalam tatanan ekologis yang tidak boleh dieksploitasi. Manusia tidak boleh menganggap alam sebagai objek inferior dan entitas mati, tetapi alam perlu dilihat secara proaktif yang membuat keseimbangan semesta raya.

Etika Buddhis menekankan pada usaha aktif menggunakan sumber daya alam yang terbatas ini dengan bijaksana. Perilaku menjaga alam menjadi salah satu fondasi spiritual dan etika bagi penganut Buddha. Spirit agama ini mendukung transisi energi dari energi kotor ke energi bersih.

Pandangan Khonghucu, tepatnya dalam Kitab Zhong Yong, Nabi memberi tantangan bagi kita sebagai rakyat untuk dapat hidup dalam Tengah Sempurna, “Sungguh sempurna hidup di dalam Tengah Sempurna; sayang sudah lama jarang di antara rakyat yang dapat melaksanakannya!” (Zhong Yong II: 1).

Hidup di dalam Tengah Sempurna adalah melandasi setiap perilaku kita dengan kebajikan yang benih-benihnya sudah dianugerahkan Tian kepada kita, yakni cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, dan iebijaksanaan, serta menjunjung sikap dapat dipercaya.

Dalam kaitan dengan mendukung kegiatan transisi energi, umat Khonghucu sebaiknya mengedepankan kegiatan konservasi energi dan melandasi kegiatan tersebut dengan kesadaran untuk mengembangkan benih-benih kebajikan.

Posisi agama dalam hal ini adalah sebagai pendukung kuat karena aktor utamanya adalah pemerintah dan negara-negara di dunia. Agama dengan spirit yang dikandung di dalamnya menjadi dukungan yang sangat penting dalam menjalankan aksi-aksi iklim serta transisi energi secara berkeadilan dan merata karena sebagian besar umat manusia mengaku berafiliasi dengan agama.

“Perintah agama” punya tempat yang besar di hati pemeluknya sehingga spirit itu bisa menjadi pendorong yang sangat kuat bagi mereka untuk bergerak bersama-sama melakukan perubahan dan mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.

Oleh karena itu, alih-alih mengelola tambang yang justru akan menimbulkan banyak mudarat, lebih baik kelompok religius menginisiasi dan membangun model-model transisi energi yang berkeadilan demi kelestarian alam dan keberlangsungan generasi.

*) Hening Purwati Parlan adalah Koordinator GreenFaith Indonesia, Wakil Ketua MLH PP ‘Aisyiyah

Baca juga: Opini - Merawat Bumi, tanah, dan air ala Kung fu Panda

Baca juga: Opini - Keberagaman sebagai jalan kesejahteraan







 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Transisi energi berkeadilan dalam perspektif spiritualitas keagamaan

Pewarta : Hening Purwati Parlan*)
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024