Kupang (ANTARA News NTT) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr Ahmad Atang, MSi menilai pilihan calon legislatif untuk menggunakan pola kampanye terbatas lebih efektif ketimbang rapat umum dengan mobilisasi massa dalam jumlah besar.
"Setiap caleg punya pilihan untuk melakukan kampanye. Di tengah politik ekonomi biaya tinggi seperti sekarang, maka para caleg cenderung memilih pola kampanye yang tidak membutuhkan biaya besar, namun efektif dalam menggalang dukungan," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (15/2).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan tidak adanya kampanye terbuka yang dilakukan para caleg dalam menghadapi Pemilu 2019, padahal pelaksanaan pesta demokrasi tinggal hanya menghitung hari.
Para calon legislator hanya sebatas memasang iklan dan baliho sekadar untuk kampanye diri secara terselubung, dan hal itu tampak hampir di semua ruas jalan umum di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Menurut Ahmad Atang, pola kampanye terbatas dengan memperkuat jaringan politik kekerabatan dan kekeluargaan, kampanye door to door dipandang oleh para caleg lebih efektif dibandingkan dengan rapat umum dengan memobilisasi massa dalam jumlah besar.
Disamping tidak efektif dalam membangun dukungan, massa yang hadir dalam kampanye, umumnya masih mengambang atau belum menentukan pilihan politik.
Baca juga: Kaum milenial sangat akrab dengan politik digital
"Kampanye rapat umum tidak menjadi pilihan para caleg, karena membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar, dan massa yang hadir umumnya masih mengambang, sebagai akibat dari model demokrasi kita yang bergeser dari demokrasi institusi ke demokrasi individu," katanya.
Karena itu, katanya, pemilu merupakan kontestasi individu, maka yang bergerak untuk menggalang dukungan adalah individu sebagai caleg. Dengan demikian, mobilisasi massa yang berbasis individu selalu tidak menguntungkan bagi para caleg.
Dia menambahkan, dalam kampanye terbatas, disamping para caleg lebih mudah melakukan interaksi dan komunikasi politik dengan konstituen, relasi antara caleg dengan massa lebih mudah terjalin sehingga pertanggungjawaban politik selalu terjaga.
Baca juga: Pemilih milenial sangat strategis dalam konteks politik 2019
Baca juga: Generasi milenial NTT diharapkan berpartisipasi dalam Pemilu 2019
"Setiap caleg punya pilihan untuk melakukan kampanye. Di tengah politik ekonomi biaya tinggi seperti sekarang, maka para caleg cenderung memilih pola kampanye yang tidak membutuhkan biaya besar, namun efektif dalam menggalang dukungan," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (15/2).
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan tidak adanya kampanye terbuka yang dilakukan para caleg dalam menghadapi Pemilu 2019, padahal pelaksanaan pesta demokrasi tinggal hanya menghitung hari.
Para calon legislator hanya sebatas memasang iklan dan baliho sekadar untuk kampanye diri secara terselubung, dan hal itu tampak hampir di semua ruas jalan umum di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Menurut Ahmad Atang, pola kampanye terbatas dengan memperkuat jaringan politik kekerabatan dan kekeluargaan, kampanye door to door dipandang oleh para caleg lebih efektif dibandingkan dengan rapat umum dengan memobilisasi massa dalam jumlah besar.
Disamping tidak efektif dalam membangun dukungan, massa yang hadir dalam kampanye, umumnya masih mengambang atau belum menentukan pilihan politik.
Baca juga: Kaum milenial sangat akrab dengan politik digital
"Kampanye rapat umum tidak menjadi pilihan para caleg, karena membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar, dan massa yang hadir umumnya masih mengambang, sebagai akibat dari model demokrasi kita yang bergeser dari demokrasi institusi ke demokrasi individu," katanya.
Karena itu, katanya, pemilu merupakan kontestasi individu, maka yang bergerak untuk menggalang dukungan adalah individu sebagai caleg. Dengan demikian, mobilisasi massa yang berbasis individu selalu tidak menguntungkan bagi para caleg.
Dia menambahkan, dalam kampanye terbatas, disamping para caleg lebih mudah melakukan interaksi dan komunikasi politik dengan konstituen, relasi antara caleg dengan massa lebih mudah terjalin sehingga pertanggungjawaban politik selalu terjaga.
Baca juga: Pemilih milenial sangat strategis dalam konteks politik 2019
Baca juga: Generasi milenial NTT diharapkan berpartisipasi dalam Pemilu 2019